mohon maaf kalau ada kesalahan dalam penulisan 🙏🏻
jangan lupa Vote dan komennya❤️
Selamat membaca:)✨***
Setelah siap, ia melajukan motornya memasuki jalanan besar Kota Jakarta. Rasanya, waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Tapi bukannya malah bagus kalau Tuhan memperlambat waktu saat aku sedang bersamanya? Artinya, Tuhan ingin aku merasakan kebahagiaan sedikit lebih lama.
Tiba di Stasiun Pasar Senen, sebuah tempat yang akan menjadi perpisahan. Walaupun ia sudah menjanjikan untuk pulang, tapi yang namanya perpisahan tetap saja terasa menyakitkan. Apalagi, dua hari kemarin, ia sukses membuat aku merasakan rasanya berada di dalam zona nyaman.
Aku terdiam, hingga sebuah tangan menggenggam tanganku lembut. "Zii, kenapa? Kok sedih gitu?" tanyanya.
Sial, sebegitu gampangnya kah dia membaca raut wajahku? Atau memang dari raut wajahku yang terlalu menunjukkan kesedihan? Aku berusaha untuk tersenyum seolah tak ada apa-apa.
"Gapapa kok Za, aku biasa aja," jawabku.
"Serius gapapa?"
Aku berusaha meyakinkan dia kalau aku memang baik-baik saja, dan ia percaya. Syukurlah.
Reza masih menggenggam tanganku, menarikku agar mengikuti langkahnya memasuki stasiun. Dari kejauhan, aku melihat teman-temanku berkumpul. Aku berusaha melepas genggamannya, tapi sayang, bukannya terlepas ia malah makin erat menggenggam tanganku. Aku menunduk malu.
"Za, tangan lo usil amat," ledek Bima.
"Gapapa," jawabnya singkat.
Yang lain hanya menggelengkan kepala melihat perlakuan Reza yang sudah membuat mukaku merah seperti kepiting rebus. Bahkan aku tak berani menampakkan wajahku sekarang.
"Lo cantik kalau lagi malu malu gini, lucu." Bisiknya.
BLUSH! Seketika mukaku terasa panas, kalau tidak di depan umum mungkin aku sudah teriak saat ini juga.
Kami duduk di sebuah café yang berada di luar stasiun, berbincang sebentar membicarakan segala hal. Kalau sedang bersama mereka, pasti selalu saja ada bahan obrolan untuk di perbincangkan.
"Eh Zii, lo udah ngechek urutan seleksi di website sekolah blm?" tanya Naya.
"Belum Nay, kan seleksinya juga baru dimulai hari ini," jawabku.
"Kalo gue sih udah pesimis duluan, dengan nilai segitu nekat masuk ke SMA Negeri favorit, Jakarta lagi." ujar Anis.
Hmm, bukannya sombong, aku saja yang nilainya diatas Anis masih pesimis untuk bisa lolos seleksi, apalagi Anis. Kalau Naya sih sepertinya udah pasti akan lolos dengan nilai yang bisa terbilang cukup tinggi.
"Coba gue cek urutannya dulu deh," pungkas Naya.
Naya membuka ponselnya dan mengechek satu persatu nama. "Zii, kayaknya lo bakalan lolos deh, soalnya gue liat nama lo di urutan 82 dari 290 orang yang aman. Kalau Anis, ada di nomer 150," jelasnya.
Aku mendengar penjelasan Naya seketika berfikir, delapan puluh dua? Itu saja baru mulai, sedangkan seleksi ini masih ada tiga hari lagi. Pasti akan menurun selang beberapa hari atau bahkan beberapa jam dan mungkin menit. Tapi semoga saja aku berakhir di nomer sebelum 290. Aku menopang daguku di atas meja. Ternyata cukup membuat pusing dengan memikirkan seleksi untuk masuk sekolah ini.
"Optimis aja Zii, gue yakin kalau lo bisa masuk ke sekolah itu," ujar Reza.
Aku tersenyum mendengar ucapannya itu dan sedikit timbul rasa optimis juga semangat dari dalam diriku. Reza saja bisa yakin kalau aku bisa lolos seleksi, kenapa aku tidak. Tak lama, kami mendengar pemberitahuan bahwa para penumpang yeng memiliki tiket kereta dengan tujuan Bandung di harapkan untuk segera chek-in tiket.
KAMU SEDANG MEMBACA
REZAZII
Roman pour AdolescentsKetika aku dan kamu di persatukan di waktu yang berbeda. Dengan keadaan yang serba di paksakan agar terlihat baik baik saja. Jadi bagaimana, ketika ada dua insan manusia yang selalu berlomba-lomba untuk saling menyakiti? Dengan ego yang selalu di be...