Part 10

99.2K 12.8K 652
                                    

Begitu sampai di rumahnya. Vellice dengan terhuyung memasuki rumah dibantu oleh Pak Taksinya.

"Terimakasih pak" ucap Vellice karena sopir itu membantu Vellice hingga depan kamarnya.

"Sebentar ya pak, saya ambil uang" Vellice memasuki kamar mengambil uang yang ada di atas meja. Ia berjalan dengan meraih sandaran kasur ataupun tiang untuk membantunya agar tidak terjatuh.

"Perlu saya nyalakan lampunya non?" ucap Pak Supir.

"Tidak perlu pak, terimakasih" ucap Vellice. Begitu sopir itu menutup pintu rumah, Vellice kembali memasuki kamarnya. Ia tidak bodoh untuk membiarkan orang asing berkeliaran di rumahnya tanpa pengawasan.

"Pusing banget sih" gerutu Vellice. Ia kini hanya bisa berbaring di kasurnya. Nafasnya masih tak teratur. Ia merasa seperti habis lari maraton. Begitu menyesakkan.

Vellice memejamkan matanya. Berusaha menghilangkan rasa sakit yang ia rasa.

Hari sudah malam. Semua lampu masih mati. Hanya lampu tidur di atas nakas yang menyala.

Air mata tanpa dapat dicegah mengalir dimatanya.

Bukan keinginannya untuk menghindar. Bukan untuk mencari perhatian. Tapi, ia masih terlalu bingung jika diminta menjelaskan hal kemarin. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia juga takut disalahkan. Dia bukanlah tokoh Vellice yang diberi sifat kuat. Bagai orang tak memiliki hati.

Ingin berteriak pada semua orang disini "Hei! Kalian itu cuma tokoh buatan! Bukan manusia asli!" batinnya.

"Bukannya gue cuma demam" gumamnya dengan suara serak, matanya melihat tangannya yang terdapat bercak darah setelah ia tempelkan ke hidung.

Ia semakin kesulitan bernafas dengan darah mengalir di hidungnya. Kepalanya serasa ingin pecah. Mengapa sesakit ini hanya untuk sakit demam?

Ia meraba kantung celananya berusaha mencari handphonenya. Tetapi ia baru tersadar, ini bukan pakaiannya. Berarti handphone nya tertinggal di apartment Arlan.

Tatapan matanya meredup. Perlahan mata itu tertutup. Dengan nafas tersengal-sengal. Seketika, dalam kegelapan ia seperti melihat mamanya. Lalu sahabat sahabatnya yang mungkin sangat mengkhawatirkan dirinya.

Saat ia memikirkan hidupnya terdengar suara sirine ambulan. Berapa kali pun ia menyangkal kalau tidak ingin ke rumah sakit. Diam diam ia menghela nafas lega. Ia takut akan kematian.

Pintu rumahnya dibuka dengan kasar. Mereka langsung naik menuju kamar Vellice.

"Disitu, tolong selamatkan dia" ucap seorang laki laki paruh baya. Dia adalah sopir taksi tadi.

Mereka memberi pertolongan pertama pada Vellice. Setelah itu membawa Vellice menuju rumah sakit.

***

Vellice membuka matanya. Ini hari kedua ia berada di rumah sakit. Ia sudah merasa lebih baik. Dalam dirinya ia berjanji akan membalas kebaikan bapak itu. Biaya rumah sakit pasti mahal. Vellice menghela nafas, memikirkan nasib bapak itu. Pasti sangat sulit baginya untuk membayar biaya rumah sakit.

"Siang, ini makan siang anda" ucap seorang perawat sambil tersenyum kepada Vellice.

"Terimakasih" sahut Vellice.

"Emm, masih tidak ada yang ingin dihubungi? Keluarga ataupun teman?" tanya perawat itu.

Vellice menggeleng sambil tersenyum. "Tidak perlu, besok saya sudah bisa pulang" ucap Vellice.

"Bukannya masih 3 hari lagi?" tanya perawat itu.

"Tidak, besok malam saya pulang" ucap Vellice sambil tersenyum. Tentu saja ia harus melewati perdebatan dengan dokter yang menanganinya.

Antagonist Girl (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang