Perisitiwa dua hari lalu membuatku menghindari Gus Al. Aku masih sakit hati atas ucapannya. Setelah dua hari ini pula, Gus Al melakukan banyak hal yang entah apa tujuannya, intinya dia selalu memintaku membuatkan aneka masakan yang kebanyakan ribet. Seperti sekarang ini, dia memintaku membuat opor ayam. Ya Tuhan. Aku memang bisa memasak, tapi sebatas masakan rumahan biasa yang berupa tumis kangkung atau balado terong. Miris sekali.
Dia juga meminta Mbak Ulfi yang membersihkan kamarnya, membuatku berdiri sendirian di dapur. Aku membawa ponsel kesayangan ke dapur ini, meletakkannya di depanku. Youtube. Satu-satunya yang bisa menolongku dengan cepat saat ini. Kebetulan Umi dan Abah sedang ada keperluan di luar, jadi aku bisa dengan leluasa menggunakan dapurnya.
Dua jam berlalu. Semangkuk opor ayam sudah tersaji. Baunya memang harum, tapi aku tidak yakin dengan rasanya. Bodo amatlah. Eh, tapi kalau nanti nggak enak, pasti dia marah, terus tambah minta masakin yang aneh-aneh. Ya Tuhan. Aku membawa semangkuk opor menuju ke meja makan. Meletakkannya di sebelah nasi putih yang masih hangat. Sarapan tadi pagi masih tersisa.
"Mbak, udah?" tanya Mbak Ulfi sambil membawa sapu dan alat pel. Dia baru saja selesai membersihkan kamar Abah dan Umi.
"Sudah, Mbak," jawabku sambil menunjukkan makanan dengan daguku. Mbak Ulfi mendekat, mengamati penampakan opor ayam yang bertengger rapi di atas mangkuk. Seolah menilai. Ibu jarinya di letakkan di pipi sebelah kanan, dan jari telunjuk di sebelah kiri. Bisa drama juga Mbak Ulfi. Haha.
"Menurut penampakan, sudah bagus. Tapi unt-." Aku menutup mulutnya dengan tanganku. Refleks. Karena tiba-tiba Gus Al sudah berdiri di belakang Mbak Ulfi. Aku menarik bahu teman se kamarku ini dari dapur. Bahkan sampai lupa tidak mempersilahkan Gus Al untuk makan. Sampai di dapur aku melepaskan tangan dari mulut Mbak Ulfi, "maaf, refleks," kataku sambil nyengir kuda.
Mbak Ulfi menatapku dengan tatapan melotot. Dia akan marah sepertinya.
"Apa-apaan sih, nutup mulut segala?" aku masih tersenyum. "Kamu tahu nggak bibir aku pedes ini, kamu pasti belum cuci tangan tadi ya?" katanya menuduhku. Apa iya sih, rasanya sudah. Mataku terbelalak saat melihat di tanganku masih terdapat warna merah dan biji cabai. Mampuslah.
"Mbak. sini dibilas!" aku menawarinya. Mbak Ulfi menghindar saat melihatku hendak menngandeng tangannya. Dia melotot lagi. Horor juga ini orang kalau marah. Tapi aku tahu, Mbak Ulfi baik. Reflekku saja yang mencelakakan.
Kami sedang menyantap sarapan kami. Semenjak masuk pesantren, aku selalu sarapan di atas jam 8. Sarapan terlalu pagi tidak seenak saat makan ketika sudah lapar. Nah kebetulan partner hidupku sekarang adalah Mbak Ulfi, orang yang sejenis denganku. Klop deh. Kami tidak makan opor tadi, tapi memakan menu pagi. Tumis buncis dan lele goreng.
"Nad." Sekarang dia memanggilku dengan nama, karena dia lebih dewasa satu tahun dariku. Aku juga yang meminta, agar kami semakin akrab.
"Iya, Mbak." Aku menjawab sambil menata makanan yang akan terjun bebas ke lambungku.
"Kamu kasih berapa cabai tadi opornya?" tanyanya dengan nada serius. Tapi tetap sambil makan. Tidak sopan sekali kami ya. Padahal sudah berkali-kali diingatkan untuk diam saat makan. Namanya juga khilaf.
"Lima," jawabku santai sambil menikmati makananku.
"Kamu serius, Nad?" tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk. Tak berniat bicara sedikitpun.
"Gus Al nggak suka pedes Nad, dia bahkan bisa langsung diare kalau makan cabe satu saja!" jelasnya dengan wajah serius. Aku langsung tersedak. Satu saja diare? Nah tadi lima. Apa kabar dia? Kasihan sekali. Aku benar-benar tidak tahu. Kupikir karena ini opor, lima cabai tak akan bermasalah. Nah ini malah menimbulkan masalah. Masalah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
SpiritualSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...