Halo, Dear. Masih semangatkan sampai hari ke 25 puasa. Happy reading..
@Crystallbook2020Sudah sebulan aku menetap di rumah. Setelah hari itu aku lebih banyak diam. Aku bukan menutup diri dari keluarga. Hanya takut jika obrolanku akan mengarah ke kejadian sebulan yang lalu. Tidak ada yang mengusik masa laluku. Tidak ada yang memintaku untuk kembali membuka hati. Mereka tahu aku masih belum siap. Aku tidak trauma. Aku hanya takut. Takut kejadian seperti itu akan terulang kembali.
"Nadia. Rabu depan tepat empat puluh hari." Perkataan Ayah cuma berhenti sampai di situ. Aku tahu maksudnya.
"Nadia akan ke makam, Yah." Potongku cepat. Ayah mengangguk. "Ayah, aku ingin melanjutkan hafalanku. Ayah dan Ibu sudah setuju kemarin, kan?" Aku ingin ke sana. Melanjutkan mimpi yang tertunda.
"Baiklah. Besok Ayah antar." Aku tidak mau.
"Nadia berangkat sendiri saja. Naik bus saja, Yah." Aku memohon. Ayah terlihat akan tidak setuju untuk usulku yang ini.
"Kamu berani?" Aku mengangguk cepat, "seorang perempuan tidak boleh bepergian sendiri. Terlalu berbahaya. Dan juga meski kamu pernah tinggal di sana. Tetap saja Ayah harus meminta izin kembali." Benar juga kata Ayah. Aku bukan mau nginep di rumah pamanku. Ini mondok loh. Mencari ilmu.
"Ya udah deh, anter."Aku menunduk lesu. Perkataan Ayah memang benar.
Aku sedang menyiapkan baju-bajuku. Tidak banyak. Hanya satu handbag yang berisi sekitar lima pasang baju. Ayah tidak jadi mengantarku besok. Tapi sore ini. Kami akan mengendarai mobil yang biasa dipakai Mas Dani. Otomatis Mas Dani ikut. Dia sopirnya.
Aku keluar dari kamar. Membawa handbag dan sebuah sling bag di bahu kiriku. Ayah sudah bersiap. Dia berdiri menungguku di depan rumah. Mas Dani sudah duduk manis di kursi kemudi.
"Nadia berangkat, Bu." Aku menyalami tangannya. Ibu memelukku. Aku merasa kalau Ibu sepertinya berat melepaskanku.
"Sering telpon, Nduk!" Aku tersenyum. Merasa seperti akan bepergian jauh. Seperti akan merantau ke negeri orang saja. Mana bisa telpon terus. Di pesantren telpon dibatasi.
"Ibu mau ikut?" Aku sengaja menggodanya.
"Sekalian dipindah saja rumahnya." Ibu malah meladeni guyonanku. Aku tertawa.
"Pamit ya, Bu. Assalamualaikum." Aku berjalan menuju ke pintu depan. Menghampiri Ayah yang masih setia menungguku di sana. Ibu tidak ikut karena sedang flu. Sudah ada Mas Dani dan Ayah. Tidak apa-apa.
"Cuma bawa ini?" Ayah menunjuk handbag yang aku tenteng di tangan kiriku. Aku mengangguk.
"Apa bawa semuanya saja?" Aku mengedip-kedipkan mataku. Ayah hanya geleng-geleng melihatnya. Jangan sampai dia berpikir anaknya sudah gila karena tak jadi menikah.
"Lemarinya saja itu. Mas mu yang suruh angkat." Mobil yang belum dinyalakan membuat telinga Mas Dani mendengarkan sebagian perbincangan kami. Hanya sebagian saja. Dia menoleh. Merasa namanya disebut-sebut.
"Kenapa, yah? Dani suruh ngapain?" tanyanya dengan wahjah serius. Aku dan Ayah langsung tertawa yang membuat Mas Dani memandang kami dengan ekspresi bingung.
"Kamu suruh angkat lemarinya Nadia. Yang kayu itu. Katanya mau dibawa ke Pesantren." Mas Dani melirikku tajam. Aku menggelengkan kepala.
"Bukan aku, Mas. Itu ide Ayah."
Mas Dani gantian memandang Ayah. Namun Ayah malah memasang wajah biasa saja. Seperti tidak tahu. Mas Dani menghembuskan nafas kasar. Dia jengah dipermainkan oleh aku dan Ayah. Aku beranjak masuk ke mobil. Ayah menahanku yang akan duduk dibelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
SpiritualSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...