29. Permintaan

983 130 1
                                    

Masih bersemangat menuntaskan tugas di bulan suci. Selamat membacaa.. Tap bintangnya yaaa...

Crystallbookswriteronlinecamp

...

Rumah bercat putih ini terlihat sepi. Tidak banyak figura yang tergantung di dinding. Hanya ada beberapa foto ulama yang bertengger cantik di sana. Aku, Umi dan Gus Al sudah berada di rumah Abi Karim dan Umi Salma. Mereka sedang keluar rumah, jadi kami harus menunggunya.

Aku duduk bersebelahan dengan Umi. Sedang Gus Al berada di sofa sebelahnya lagi. Di rumah ini tidak ada dua ruang tamu seperti di rumah Abah Furqon. Seorang khadimah baru saja masuk setelah menyuguhkan minuman untuk kami bertiga.

"Mbak, kamu sudah siap?" Umi akan memanggilku seperti ini jika sedang mode serius.

"Eh, Umi. Ada apa?" Aku sedikit kaget karena dari tadi sibuk mengamati desain rumah. Warna putih memang sangat indah bagiku.

"Kamu sudah siap?" Apa maksudnya?

"Untuk apa ya, Umi? Saya nggak paham." Umi tersenyum lembut menatapku.

"Jumat besok semaan tiga puluh juz-mu kan?" Ternyata itu. Aku merutuki kebodohanku karena hampir berpikir yang lain.

"Ah, iya Mi. InsyaAllah siap." Entah kenapa aku merasa dari tadi diperhatikan. Aku mendongak. Penasaran. Tuh kan, mata kami bertemu. Gus Al sedang menatapku.

"Setelah itu kamu mau kemana? Pulang?" Pertanyaan sederhana tapi sulit dijawab bagi santri yang sudah menyelesaikan pembelajarannya.

"Belum tahu, Mi."

"Tinggal di sana saja, nggak usah pulang." Aku mendongak menatap Umi. Apa maksudnya tinggal di sana?

"Maksudnya, Mi?" Aku sudah berpikir yang tidak-tidak ini.

"Mau mengabdikan diri di sana? Nemenin Umi ngajar anak-anak?" Pertanyaannya membuatku tambah bingung. Anak-anak?

"Anak-anak siapa, Mi?"

"Abah sama Al sedang mengusahakan untuk membangun SMP." Umi tersenyum menghadapku.

"Oh, tapi Nadia belum punya pengalaman, Mi. Pernahnya ngajar cuma pas praktek pengalaman lapangan." Aku masih ingat betapa nervous-nya dulu.

"Nggak apa-apa. Belum sekarang, kan. Mungkin satu tahun lagi." Aku mengangguk.

"Kalau kamu tinggal di rumah Umi, mau?" aku langsung mendongak menatapnya.

"Kan Nadia tinggal di pesantren sama aja tinggal di rumah Umi." Aku melebarkan senyumku. Mencoba untuk bersikap biasa saja. Padahal sebenarnya aku menangkap maksud lain, namun aku tepis. Takut salah terka.

"Ya beda itu."

Umi diam sejenak, meminum teh manis yang sudah di siapkan oleh Mbak Khadimah. Aku melirik ke arah Gus Al yang masih sibuk bermain dengan ponselnya. Sepertinya serius sekali sih dia.

"Bedanya apa, Mi?" Aku penasaran dengan jawaban Umi.

"Bedanya status kamu." Jawab Umi santai.

"Kok bisa, Mi?"

"Ya, bisa. Kamu mau jadi bagian dari keluarga Umi?"

Aku mulai gelisah. Aku kembali melirik Gus Al. Dia masih sama saja. Menatap ponselnya tanpa menoleh ke manapun. Umi menatap lembut ke arahku.

"Nadia belum paham, Mi."

Jujur saja aku senang, tapi masih takut kalau salah terka. Setahuku anak laki-laki Umi hanya Gus Al saja. Jika benar, otomatis Umi sedang memintaku untuknya. Tapi bisa jadi bukan untuk Gus Al, misal untuk keponakannya. Itu juga masih terhitung jadi bagian dari keluarga.

TEMAN SOSMED (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang