23. Om-nya Lala

921 120 9
                                    


Pada siang ke 23 bulan suci.. Semoga wabah yang sedang ada di negara kita segera hilang. Selamat membaca. Big trims buat Kak Zizah yang selalu support. Juga buat mentor dan teman-teman PWO..

 

Pagi yang cerah. Aku sedang menemani Shahila berjemur. Sebenarnya bukan murni berjemur sih. Karena yang kami lakukan adalah bersepeda di jalan depan rumah. Halaman rumah Ayah memang lumayan luas. Sehingga kami tidak perlu jauh-jauh ke lapangan.

"Ty Nadia, jangan di sini terus dong. Lala bosan." Semenjak hari itu Shahila selalu menyebut dirinya Lala. Dia juga akan ngambek saat ada yang memanggilnya Shahila.

"Jangan panggil, Ty, La! Panggil Aunty Nadia." Aku merasa seperti Ibu kalau dia memanggilku dengan sebutan Ty. Kayak Uti-panggilan untuk neneknya.

"Kan Aunty yang suruh Lala manggil gitu." Shahila mengerucutkan bibirnya. Tidak terima aku memprotesnya.

"Iya. Tapi jangan di putus-putus dong, Lala cantik. Lala jadi kayak manggil Uti." Aku masih mengayuh sepedaku. Memutari halaman depan rumah. Spertinya kalau dihitung sudah ada enam kali putaran.

"Iya deh. Aunty Nadia. Tapi sekarang kita jalan ke depannya. Turun ke jalanan. Lala bosen muter-muter di sini terus," katanya sambil menarik kaos besar yang aku pegang.

"Oke. Bersiap, Tuan putri." Aku mengarahkan setir sepedaku ke jalanan. Tapi belum mengayuhnya. Menunggu instruksi Shahila.

"Jalan, Aunty Supir!" Katanyan dengan nada bersemangat. Aku sedikit tidak terima dipanggil dengan 'Aunty Supir'. Tapi apalah daya. Asal keponakan cantikku ini bahagia.

Kami bergerak menuju lapangan. Letaknya tidak jauh dari rumah. Tadinya aku berpikir akan membawa Shahila ke pantai. Tapi itu terlalu jauh jika dengan sepeda dan untuk ukuran anak sekecil Shahila. Kami berhenti saat melihat lapangan di depan ku terbilang ramai. Sepertinya akan ada acara.

Ada sebuah panggung terpasang di lapangan. Di hiasi dengan kain-kain panjang berwarna. Ada beberapa alat musik juga yang berada di atas panggung. Di sisi kanan panggung ada sebah tenda yang kira-kira cukup untuk diisi dua puluh orang.

Di setiap pojok lapangan terdapat stand-stand makanan dan minuman yang beraneka ragam. Ada beberapa stand yang sudah terisi. Tapi sebagian besar masih kosong. Sepertinya akan ada konser musik.

"Aunty, itu ada apa? Kenapa ada banyak bendera?" tanya Shahila sambil menunjuk ke pinggir lapangan. Aku mengikuti arah pandangnya. Benar saja banyak bendera berkibar. Mungkin itu bentuk penyambutaan bagi grup band yang akan tampil.

"Oh, itu." Aku tersenyum. Shahila semakin penasaran karena aku berhenti berkata, "di lapangan ini mau ada konser musik." Kami sudah duduk di tepi lapangan. Di sebelah stand yang masih kosong. Beristirahat sejenak. Kakiku lumayan pegal beberapa menit ini mengayuh sepeda.

"Konser musik itu apa?" tanyanya dengan wajah polos. Aku lupa sedang berinteraksi dengan anak umur lima tahun.

"Ada acara musik. Nanti ada yang nyanyi di panggung sana."

Tanganku menunjuk ke arah panggung. Dari arah yang aku tunjuk muncul seseorang yang selama ini menghilang. Gus Al. Kenapa dia di sana? Dia sedang berdiri di depan pangung bersama beberapa orang. Aku menarik telunjukku.

Aku melihat Shahila yang sedang manggut-manggut. Mungkin sedang mencerna informasi yang baru saja ia dapat. Aku membiarkannya. Mengambil ponsel dan mengabadikannya. Mengabaikan apakah yang aku lihat itu benar-benar Gua Al atau bukan. Aku akan mempostingnya. Kali aja ada yang tahu konser apa itu.

TEMAN SOSMED (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang