Ting! Sebuah chat whatsapp membuyarkan kegiatanku. Menatap langit-langit kamar. Aku bukan tipe orang yang suka menghayal. Hanya sering memikirkan masa lalu saja. Memutar kembali memori lama yang hampir mengendap. Chat dari Mbak Ulfi. Dia bilang akan kembali lagi ke pesantren sore ini.
Aku bisa bernafas lega. Teman baikku di sini akan kembali. Meskipun setelah ini kami akan berpisah. Setidaknya aku tidak pergi tanpa pesan. Aku masih punya waktu untuk menjelaskan. Aku masih bisa memberikan ucapan sampai jumpa padanya.
Lusa aku akan pulang. Menutup lembaran kisahku di sini. Mengubur sebagian mimpi yang tak pernah mampu aku ceritakan. Meski sampai saat ini aku masih berharap agar menjadi kenyataan. Gus Al dan Al-Quran. Aku mengambil sebuah kertas karton. Menuliskan sebuah nama yang dulu selalu kusebut setelah akhir salamku. Bintang.
Drtt..drrtttt..drttt. Aku menoleh. Panggilan video Mbak Ulfi.
"Iya, Mbak."Aku melambai. Tangan kananku memasang earphone.
"Salam dulu! Nad." Aku memang sering lupa mengucap salam. Padahal salam adalah doa. Doa keselamatan. Doa adalah kebahagiaan.
"Eh, iya. Assalamualaikum," suaraku sengaja aku buat lembut sekali.
"Waalaikumussalam. Nah gitu. Lagi ngapain kamu?" tanyanya. Ponsel aku letakkan di depanku. Bersandar pada dinding. Aku tengkurap sambil menggoreskan ujung pensl di atas kertas karton.
"Menggambar, Mbak." Aku menatapnya sekilas. "Mbak jadi ke sini, kan?" tanyaku penasaran. Jarak rumah Mbak Ulfi dengan pesantren lumayan jauh. Memakan waktu sekitar dua jam.
"Jadi," jawabnya singkat. "Deketin dong ponselnya! Pengen lihat gambarmu." Dia berusaha mendekatkan ponselnya ke wajahnya. Penasaran?
"Bukan gambarku, Mbak. Gambaran yang aku buat." Aku membenarkan ucapanya.
"Lah. Sama aja kamu." Aku mengarahakan ponselku mendekat, agar Mbak Ulfi bisa melihatnya.
"Mbak, berangkat jam berapa ke sininya?" tanyaku penasaran. Bisa-bisanya dia masih asyik video call.
"Paling jam 2, Nad. Kenapa?" Dia menjauhkan wajahnya dari layar ponsel. Jam 2? dan sekarang sudah jam setengah 2. Bisa kesorean nanti sampainya.
"Jangan ngasal deh, Mbak! Nanti Mbak kesorean sampai sininya." Dia hanya tersenyum. Aku sudah akan membrikan ceramah yang panjang. Dia menukar kamera ponselnya menjadi menghadap belakang. Ya Tuhan. Itu pintu masuk pesantren. Berarti Mbak Ulfi sudah di depan pintu gerbang.
"Aku udah sampai, Nadia." Dia berkata sambil nyengir, "Bye." Dia menutup panggilan tanpa dosa. Aku masih akan berteriak. Aku beranjak keluar kamar. Meninggalkan kertas karton dan teman-temannya begitu saja.
Kami tidak berpelukan seperti di film. Hanya berjabat tangan dan menjerit sambil melompat-lompat. Barang bawaannya banyak sekali. Seperti mau pindahan rumah. Dasar perempuan.
"Gimana rasanya Aku tinggal? pasti menyenangkan." Aku sedang membantunya merapihkan baju-baju yang baru saja dia bawa.
"Pusing, Mbak. Gus Al banyak maunya," kataku mengingat saat Gus Al minta dibuatkan nasi goreng Magelang, opor ayam dan ulahnya mengerjaiku kemarin.
"Ah, masa?" tanyanya tidak percaya. "Mungkin karena kamu gampang diusilin, jadi Gus Al minta yang aneh-aneh sama kamu." Dia menoleh kearahku, lalu tersenyum senang.
"Sudahlah. Males ngomongin dia." Aku bohong. Aku selalu senang menyebutkan kelakuan Gus Al. Mengingat namanya saja selalu membuatku tersenyum.
"Halah. Gayamu, Nad. Nanti suka lo!" Dia berkata sambil menepuk pundakku agak keras. Aku mencoba menghindar. Tapi gagal. Ini sakit loh ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
SpiritualSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...