"Tidak perlu merasa sendiri. Semesta turut menjadi saksi kisah hidupmu."
Aku melipat mukenaku. Pagi ini harusnya aku sudah bersiap-siap. Mengahadap ke meja rias sambil mendengar ceramah Mbak Rara. Harusnya kebaya putih yang dua hari aku coba sekarang terpasang indah di badanku. Harusnya wajahku dipenuhi polesan make up Mbak Rara yang sukses bikin aku risih saat memakainya.
Harusnya sudah terdengar riuh di dapur. Harusnya kursi-kursi tamu dalam tenda sudah terjejer rapi. Harusnya hidangan-hidangan itu sudah tersaji di meja dalam tenda. Harusnya kamar ini akan ditempati tidak hanya olehku. Harusnya dia tidak pergi.
Air mataku menetes perlahan. Ini sudah kesekian kalinya aku menangis. Aku tahu aku belum mencintainya. Aku tahu baru dua kali bertemu dengannya, pertama saat lamaran dan yang kedua saat pemakaman. Tapi aku merasakan kehilangan. Kehilangan sesuatu yang hampir menjadi milikku.
Katakan saja aku cengeng. Namun adakah yang menyalahkan kesedihanku? Aku akan menikah dan pada hari yang telah ditetapkan, dia pergi. Pergi untuk selamanya. Pergi untuk tidak kembali. Aku merasa dunia sangat kejam.
Ting! Ting! Ting!
Ponselku berbunyi. Siapa yang menelponku di saat seperti ini. Rahma? Aku bahkan lupa mengabarinya.
"Assalamualaikum." Suaraku memang agak serak setelah menangis tadi. Kemarin dan semalam.
"Waalaikumussalam. Nad! Bukain pintu dong. Aku udah di depan rumah kamu nih." Aku menganga mendengar suaranya. Pukul setengah enam pagi?
"Serius?" Aku dulu sering dikerjai oleh makhluk satu ini. Makanya aku tidak yakin dengan ucapannya. Pagi buta pula.
"Buka jendela kamar kamu!" Aku sontak berlari ke jendela. Rahma sedang melambai dari luar.
"Nggak kurang pagi, Mbak bertamunya?" Dia hanya nyengir lebar.
"Aku suruh lewat sini, Nad?" tanyanya tanpa dosa. Aku mematikan telpon. Berjalan menuju ruang tamu. Harusnya aku membuka pintu ruang tamu dari tadi. Kamarku memang bersebelahan dengan ruang tamu.
"Yuk, masuk!" Dia membawa sebuah paperbag dan tas selempang. Ada sekantong makanan ringan yang berada di tangan kirinya.
"Bapak Ibu dimana?" Tanyanya sambil mengedarkan pandangan. Kami berjalan beriringan. Aku membawakan kantong plastiknya. Dia langsung mencebikkan bibir. Paham maksudku.
"Masih di dalam. Kamu namunya kepagian."
Kami sudah sampai di kamar. Rahma merebahkan tubuhnya begitu saja di atas kasur. Aku membuka kantong plastik berisi makanan ringan itu. Memakannya sambil duduk bersila menghadapnya.
"Naik apa?" Aku tidak melihat kendaraan apapun di depan tadi. Makanya aku bertanya.
"Jalan kaki." Jawabnya santai. Dia kemudian duduk.
"Menurutmu jarak Cilacap-Pangandaran kayak pom bensin sama toiletnya."
"Aku naik kereta sampai ke Banjar. Terus di anter sama Paman. Karena dia burur-buru jadi langsung balik." Dia menjelaskannya sambil mecomot keripik yang sedang aku makan.
"Nggak sepagi ini juga kali. Kasian pamanmu." Tega banget kan si Rahma minta anterin pamannya pas pagi buta gini.
"Orang paman itu paman tukang ojek. Bukan pamanku. Wkwkwk." Dasar tukang prank.
"Tapi acaranya nggak jadi." Aku memejamkan mata sekilas. Mencari kekuatan.
"Udah tahu."
Dia santai sekali menjawabnya. Padahal aku sudah menyiapkan rekaman jawaban untuk meladeni ribuan pertanyaannya. Aku mendongak menatapnya. Meminta penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
SpiritualSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...