Satu hari kemudian Mbak Ulfi benar-benar pulang. Dia meminta salah seorang santri putri bernama Roya untuk menggantikannya. Aku sudah mengenalnya sebelum ini, karena kami sholat berjamaah di tempat yang sama. Hanya tidak terlalu akrab. Roya bisa dibilang lebih mahir dalam hal memasak dibanding denganku. Begitu kata Mbak Ulfi. Seperti saat ini, Gus Al meminta dibuatkan nasi goreng Magelang. Aku? Jelas tidak bisa. Aku serahkan kepada Roya.
"Sudah selesai, Ya?" tanyaku padanya saat dia meletakkan sepiring nasi goreng berwarna hijau itu.
"Sudah, Mbak." Aku meletakkan penutup makanan di atasnya.
"Ayo, kita makan di kamarku saja!" ajakku sambil membawa dua wadah berisi nasi dan sayur. Dia tetap bergeming.
"Mbak, itu nasi gorengnya gimana? ditinggalin gitu aja?" tanyanya yang masih tetap berdiri di depan meja makan. Pasti dia takut nasinya dingin sebelum Gus Al datang memakannya.
"Nggak apa-apa. Nanti Gus Al bakal ke sini setelah kita keluar," kataku sambil tersenyum. menatapnya. Dia memang seperti itu. Kata Umi, Gus Al tidak akan berada di dapur saat ada santri di sana. Kecuali tragedi opor ayam. Itu pengecualian.
Dia masih terlihat ragu antara keluar atau diam saja. Aku berjalan saja. Tenyata dia mengikuti. Kami sampai di kamar dan aku mulai menyantap makananku dengan semangat. Tiba-tiba dia hendak berdiri. Aku hanya menatapnya bingung. Kenapa anak ini?
"Mbak Nad, Aku ke kamar mandi sebentar," katanya sambil berlalu tanpa menunggu jawabanku. Kenapa dia berjalan menuju pintu gerbang? Kan kamar mandi di samping dapur santri. Aneh. Aku tidak berniat mencari tahu. Mendingan makan.
Sampai jam dua belas Roya tidak kembali. Apa dia tidak lapar? Mungkin puasa. Itu hanya tebakan. Aku memang tak pernah ambil pusing dengan hidup seseorang. Selama dia bukan bagian penting dari hidupku. Aku tidak berhak tahu juga kan. Aku bergegas menyiapkan diri untuk mengikuti sholat dhuhur berjamaah, lalu mengikuti setoran hafalan Al-Quran.
Ponselku berdering saat aku hendak berangkat menuju mushola. Siapa sih jam segini telepon? Abah? Mana mungkin. Layar di ponselku menunjukkan kontak Abah. Ada apa? Aku langsung mengangkatnya.
"Waalaikumussalam,"
"-"
"Dimana, Bah, tempatnya?"
"-"
"Oh, iya Abah. Nadia siapkan semuanya."
"-"
"Waalaikumussalam," hatiku rasanya runtuh. Umi masuk rumah sakit. Aku tidak tahu Umi punya penyakit apa. Yang jelas aku harus menyiapkan keperluan Umi dan berangkat ke rumah sakit sekarang juga.
Drttt..drrtt. Lagi?
'Gus Al'
Ada apa lagi ini?
"-".
Aku bahkan belum sempat menjawab dan Gus Al sudah mematikan sembungan telepon. Benar-benar. Dia memberiku waktu selama sepuluh menit dan aku naik mobil berdua dengannya? Tidak salahkah? Lupakan. Bukan itu yang harus aku pikirkan sekarang. Menyiapkan pakaian Umi dan baju ganti untuk Abah. Itu yang terpenting.
Mobil melaju dengan tenang setenang suasana mobil ini. Sunyi sekali malah. Aku benci kondisi seperti ini. Canggung.
"Mending dengerin musik, Bin- eh, Al." Aku bahkan lupa tidak menggunakan kata 'Gus'. Refleks. Gus Al langsung menoleh ke arahku. Aku sempat melihat senyum miringnya. Tampan sekali.
"Masih boleh panggil Bintang, kok." Dia mengucapkannya sambil terus fokus menatap jalanan. Kenapa sih pake acara salah sebut nama.
"Kenapa diem saja? Sudah lupakah?" Kenapa suaranya jadi lembut sih. Ingat Nadia, kamu sudah di jodohkan. Nggak boleh baper. Aku membenarkan posisi dudukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
DuchoweSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...