Hai-hai, Authors double update nih... Silahkan dilanjut..
Satu minggu yang lalu semaan tiga puluh juz dilakukan. Aku tidak henti-hentinya menangis. Bukan karena bersedih, tapi karena terharu atas nikmat yang aku peroleh. Suatu hal yang anggap mustahil di usiaku yang menginjak dua puluh lima tahun. Katanya usia segitu sudah agak sulit untuk urusan menghafal, nyatanya niat baik memang selalu dipermudah.
Aku mengambil sebuah paperbag, di dalamnya ada sebuah gaun berwarna biru muda. Pemberian dari seseorang yang bahkan tak pernah aku kenal secara nyata. Bisa dibilang dia teman sosial mediaku setelah Gus Al. Dua tahun sudah berlalu, nyatanya dia tidak datang. Bukannya aku berharap sih, bahkan setiap hari aku ketakutan karena ucapannya yang aku anggap seperti ancaman.
"Pakai yang mana ya?" di sebelah gaun ini juga ada sebuah gaun berwarna krem polos, pemberian Ibu.
Aku masih saja menimbang-nimbang. Tapi dilihat dari keanggunannya, masih cocok yang biru muda. Ah, tapi tidak enak dengan ibu. Ibu juga pasti akan bertanya tentang gaun biru itu jika aku memakainya.
"Nad, udah bel-?" pertanyaannya terhenti karena melihatku yang masih belum rapi. Aku hanya menoleh kearahnya, sebelah tanganku menarik gaun biru itu agar tidak dilihat oleh Mbak Rara. "Kok belum apa-apa sih? Bentar lagi kan rombongan keluarga calon adik ipar kakak bakalan sampai."
Mbak Rara selalu paling repot kalau urusan penampilan. Ini masih pukul setengah tujuh. Masih ada satu jam lagi untuk bersiap.
"Masih lama ini, Mbak." Aku mengibaskan tanganku ke udara. Membuat Mbak Rara tambah melotot ke arahku. "Iya, aku cepetan ini," aku langsung berdiri membawa handuk yang memang sudah aku bawa di pundakku. Berlalu cepat sebelum Mbak Rara memasang tanduknya.
"Nad, itu apa?" gaun biru yang tadi aku sembunyikan jatuh begitu saja di lantai. Aku langsung sambil membawa dua gaun yang aku pegang ke kamar mandi. Tahu deh nanti gimana, kalau dijelaskan sekarang jelas nggak akan selesai.
Sepuluh menit berlalu. Aku memang tidak biasa mandi lama. Asalkan sudah pakai sabun, menyikat gigi dan wudhu sudah selesai ritual mandiku. Pintu aku buka perlahan, takut Mbak Rara masih menunggu untuk meminta penjelasan. Sepi. Alhamdulillah.
"Kenapa tadi lari?" dugaanku salah. Mbak Rara malah sedang berdiri di balik pintu kamar mandi.
"Panggilan alam, Mbak." Aku memberikan senyum terbaikku. Sayangnya Mbak Rara tetap berkacak pinggang menatapku.
"Alasan klasik. Sekarang Mbak tanya, bukannya gaun yang dibelikan Ibu warnanya krem ya?" katanya sambil memicingkan mata.
"Iya, Mbak." Aku menjawab santai tanpa dosa.
"Lalu yang warna biru tadi?" tanya Mbak Rara.
"Dikasih temen, Mbak." Aku berdiri memunggungi Mbak Rara.
"Siapa temen yang mau kasih gaun sebagus itu?" pertanyaannya membuatku menelan ludah. Iya juga sih.
"Ya ada lah, Mbak. Ini khusus dikasih buat aku pakai pas lamaran." Mbak Rara membelalakkan matanya.
"Bagaimana bisa?" tanyanya dengan nada tidak percaya.
"Bisa, ini nyatanya." Aku sudah berbalik menghadapnya.
"Terus kamu mau pakai?"
"Iya, lagian mubadzir kalau nggak dipakai." Aku mengedikkan bahu. Mencoba bersikap santai, padahal aku takut kalau kalau si Alfa satang mengacaukan acaraku. Eh, tapi nggak mungkin, mana dia tahu aku mau lamaran,.
"Ya sudah. Cepat pakai! Yang penting kamu harus cantik malam ini. Dia berlalu meninggalkanku.
Alfa di mana? aku jadi penasaran ingin ketemu. Bukannya apa-apa. Kenapa dia nggak bener-bener datang pas dua tahun ini. Aku sadar dia aneh, bertemu saja belum pernah. Tapi semua yang dia lakukan padaku membuatku merasa istimewa. Sudah itu saja sih. Lupakanlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
SpiritualSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...