16.Silaturahmi

926 116 5
                                    

Hai-hai... Tetap jaga kesehatan. Stay di rumah sambil baca update an terbaru dari Nadia dan Al. Semoga puasanya lancar dan berkah yaaa.

Ayah sudah rapi dengan koko putih dan sarung berwarna hijaunya. Ibu memakai gamis berwarna abu-abu. Aku memakai gamis polos. Tidak terlalu mencolok. Berwarna krem. Pagi ini kami akan bertandang ke Cilacap. Kota yang di lintasi pantai selatan itu adalah rumah Abah, Umi dan Gus Al. Lalu berpindah ke rumah Abah Karim. Aku jadi ingat chat yang Gus Al kirim beberapa hari lalu. Ah sudahlah.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Mas dani yang menyetir. Aku duduk di bangku belakang bersama Shahila. Ibu dan Mbak Rara di bangku kedua. Perjalanan di tempuh sekitar tiga jam. Kami sudah berada di Emplak. Sebuah desa yang jalannya itu berkelok-kelok. Seperti di pegunungan. Jalan ini termasuk jalan yang di waspadai. Karena di sebelah kiri jalan adalah jurang.

Aku sangat suka melintasi jalan ini. Menguji adrenalin. Aku melihat Mba Rara dari tadi merem terus. Dia takut. Kalau Shahila, dia malah menjerit senang saat tiba-tiba dari arah depan yang menikung ada sebuah mobil.

"Nduk! Barang bawaannya udah semua, kan?" Ayah menoleh kebelakang.

"Sudah, Yah." Aku menyuapi Shahila dengan puding. Dia sangat lahap. Kata Mbak Rara biar nggak tidur. Kalau tidur repot soalnya. Ada acara nangis dan mengamuk.

"Semoga beliau-beliau sedang di rumah." Ayah berkata sambil menatap jalanan yang lumayan ramai.

"Kalau sedang keluar bagaimana, Yah?"

"Ya ke rumah Mas Karim. Lalu kita besok ke rumah Pak kiyai Furqon."

Ayah menjawab dengan mantap. Bagi kami meminta restu pada guru adalah kewajiban. Guru adalah orang tua kedua. Pembimbing dalam psikis. Jika di ibaratkan sebuah pulpen. Guru adalah tinta, dan orang tua adalah wadahnya. Awalnya aku menolak pemahaman seperti ini. Namun ternyata memang logis. Guru lah yang mengajarkanku banyak hal. Terutama cara menghormati orang tua.

"Terus ini kita kemana dulu, Yah?" Mbak Rara yang bertanya. Dia sudah tidak tegang lagi.

"Ke rumah Pak kiyai Furqon dulu. Ya kan, Dan?" Mas Dani masih asyik saja menyetir. Sambil melantunkan lagu islami.

"Yoi, Ayah." Mas Dani hanya menoleh sekilas.

"Nad! Kamu kenal sama anaknya, Pak kiyai Furqon. Katanya tampan?"

Deg. Tahu darimana Mbak Rara tentang Gus Al. Dan dia bilang tadi, tampan? Aku melirik Mas Dani yang berhenti menyanyi. Sepertinya Mas Dani mendengar ucapan Mbak Rara.

"Cuma tahu sih, Mbak. Kayaknya dia masih di rumah deh, Mbak."

"Beneran tampan, Nad?" Mbak Rara penasaran. Matanya berbinar senang. Saudara laki-lakiku yang sedang menyetir malah sedang mengeluarkan aroma menyeramkan.

"Yah. Lumayan. Mirip sama Choi si won." Mbak Rara menganga tidak percaya.

"Kayak orang korea, dong?"

"Nggak banget sih. Cuma Gus Al terlihat sedikit lebih tua." Mbak Rara manggut-manggut. Spertinya dia sedang membayangkan Choi Si Won beranjak tua. Lucu sekali.

Mas Dani berdehem. Mbak Rara dan aku saling pandang. Dia baru sadar kalau suaminya mendengar obrolan mereka. Mbak Rara menatapku dengan memohon. Aku paham situasinya.

"Tapi kalau sama Mas Dani, masih kalah kok, Mbak." Mas Dani melirikku. Dia sudah paham kalau aku sering bersekongkol dengan istrinya ini.

"Oh ya jelas. Pinter kan Mbak milihnya."

Matanya berkedip berkali-kali. Kami masih berhadapan. Jadi Mas Dani tidak bisa melihat ekspresi istrinya yang seperti kena sawan. Mobil sudah melintasi area kota Cilacap. Lima menit lagi sampai. Aku menata kembali barang-barang yang akan kami bawa. Hanya buah tangan. Sudah adatnya kalau berkunjung ke rumah orang mesti membawa sesuatu.

TEMAN SOSMED (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang