20. Pantai

919 120 0
                                    

"Terkadang sesuatu yang dianggap sepele, bernilai tinggi bagi orang lain."

Kebiasaanku saat ini adalah mengunjungi laut. Bagiku laut adalah tempat ternyaman. Hembusan anginnya sangat menenangkan. Suara deburan ombaknya seperti nyanyian merdu. Hamparan birunya membuat seluruh sesak di dadaku seolah melebur. Langit membentang di atasnya seolah menyatu bersama pahatan sempurna sang maha kuasa.

Aku mengayuh sepedaku. Ya aku ke sini naik sepeda agar lebih lama. Aku membutuhkan refreshing. Lebih tepatnya sendiri. Meskipun pantai terdiri dari banyak orang. Aku tetap merasa sendiri karena tak ada yang aku kenal.

Aku berhenti di bibir pantai. Menatap ke laut lepas yang sedang digoyangkan oleh angin. Membuat gulungan beriak yang bernama ombak. Aku ingin berteriak. Namun harga diriku masih di ambang kewarasan untuk melakukannya.

Ting!

Sebuah chat masuk. Kontak baru. Kontak ini juga yang sering mengirimiku pesan-pesan lucu. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Aku juga tidak pernah menanggapinya. Bagiku mungkin hanya spam. Aku tidak duduk atau berdiri melamun. Aku membawa kertas putih polos yang akan ku gunakan untuk menggambar. Menggambar ya bukan melukis. Aku masih belum sepandai itu

Gambar klasik yang selalu dibuat oleh anak SD ketika diminta untuk menggambar pemandangan oleh gurunya. Bahkan dari dulu hingga sekarang aku masih suka melakukannya. Aku merasa ada di sana. Aku merasa sedang menatap mahakarya Tuhan.

"Hai." Seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku. Spontan membautku kaget dan bergeser.

"Eh, kamu ngapain di sini?" Dia baru saja mengintip karya abstrakku.

"Main. Aku bosan di rumah," katanya sambil merebut kertas bergambar yang sedang aku pegang." Aku tidak suka laki-laki ini. Dia hobi sekali duduk dekat perempuan.

"Oh. Sini balikin." Aku tida mencoba meraihnya. Kemungkinan besar bersentuhan tangan membuatku hanya bersuara saja.

"Masih suka menggambar?" Katanya sambil melihat gambar yang aku buat. Dia mengangkatnya tinggi agar aku tidak merebutnya.

"Nggak sih, cuma iseng." Aku malas meladeninya.

"Nad. Jalan-jalan, yuk!" tuh kan baru sebentar saja sudah mengusik ketenanganku.

"Nggak mau. Males jalan." Aku menatap laut sambil memasang muka bete. Bukan bete manja ya, tapi bete beneran.

"Mau digendong?" tanyanya sambil tersenyum. Pertanyaan macam apa itu?

"Ish. Nggak banget sih."

Aku memang selalu jutek saat menghadapinya. Aku hanya tidak mau terjerumus lagi dalam kubangan rayuannya seperti saat SMA dulu. Dia juga masih betah-betah saja aku cuekin.

"Oke. Kalau nggak mau nggak apa-apa. Tapi gambar kamu aku simpen. Aku bawa pulang." Senyumnya mengembang. Ini nggak bisa dibiarkan. Bukan masalah sama gambarnya sih. Hanya saja aku benar-benar tidak ingin ada urusan lagi dengan makhluk ini.

"Gambar jelek gitu." Aku mencoba mengendurkan keinginannya, siapa tahu berhasil.

"Memang. Aku tahu. Tapi aku suka." Ini laki-laki emang lemes banget kalau urusan merayu. Aku masih kokoh kok pertahanannya.

"Mending aku pulang." Aku sudah bilangkan tidak mau berlama-lama apalagi sampai ada urusan dengan laki-laki ini. Aku membereskan pensil warna yang tadi aku sebar ke pasir. Memungutinya satu persatu.

"Eh, ini. Tapi nggak usah cepet pulang gitu!" Firman menyerahkan selembar kertas bergambar yang tadi di pegangnya, "aku cuma pengen ngehibur kamu." Dia memasag senyum simpatik. Aku sudah pernah bilang, kan' aku tidak suka di kasihani.

TEMAN SOSMED (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang