"Seringkali yang datang adalah dia yang tidak pernah kita harapkan."
Aku terbangun saat jam beker kamarku berbunyi. Nyaring sekali. Dulu saat masih SMA aku selalu memencet tombol off saat jam beker berbentuk doraemon ini berbunyi. Menutup wajahku dengan bantal dan kembali berkelana ke alam mimpi.
Aku beranjak menuju kamar mandi. Meskipun rumah orang tuaku tidak cukup besar, tapi di setiap kamar sudah tersedia kamar mandi. Lumayan. Hemat waktu. Aku cepat mengambil air untuk wudhu. Membasuh wajah dan anggota wajib lainnya. Lalu berdiri dan bersimpuh menghadap kiblat.
Sepertiga malam adalah waktu paling syahdu untuk menyendiri. Suasana yang hening membuatku bisa menumpahkan segala isi 'brangkas' hatiku. Mengeluarkan semuanya. Luruh bersama airmata yang dengan sendirinya mengalir menyusuri pipiku.
"Tenangkan hatiku, Ya Allah."
Aku membuka jendela kamar. Menatap langit yang sedang dihiasi sebuah lingkaran berwarna kuning. Purnama. Aku duduk menghadap jendela. Menengadah ke langit. Aku tidak akan bisa tidur setelah sholat malam.
Ting! Ting! Ting!
Entah siapa yang dengan percaya dirinya menelpon lewat tengah malam seperti ini. Sudah hampir pagi malah. Aku mengabaikannya. Tidak punya sopan sekali. Sayangnya si penelpon memang punya jiwa pantang menyerah. Dia mengulanginya sampai aku benar-benar jengah dan mengangkatnya. Ingat ya ini jam setengah empat pagi. Aku mentap layar ponselku. Sedikit kaget karena si penelpon adalah dia yang kemarin menelponku di pantai.
"Ya." Aku memang selalu begitu saat menjawab telpon dari kontak baru atau nomor yang tidak aku kenal. Malas berbasa-basi.
"Kebiasaan sekali. Ucapkan salam!" Manusia ini masih belum lelah membahas perihal salam. Oke, aku memang salah tidak mengucapkannya.
"Waalaikumussalam."
"Ternyata kamu tidak bisa membedakan mana untuk menyapa dan maa untuk menjawab." Kenapa sih aku pakai salah ucap segala. Bosan bahas salam-salam terus. Apa orang ini tidak punya topik pembicaraan lain?
"Assalamualaikum. Ada apa? Ini tengah malam ya, Pak. Kenapa mesti telpon jam segini sih?" Aku tidak tahu kenapa awalnya bisa mengundangnya dengan sebutan 'Pak'. Hanya refleks saja.
"Waalaikumussalam. Hanya memastikan kamu bangun malam atau tidak." Santai sekali suaranya. Aku seperti anak kecil yang dititipkan di Tempat Penitipan Anak, diatur jadwalnya.
"Terimakasih. Tapi tidak perlu." Enak saja dia seolah-olah aku ini benar-benar anaknya.
"Menurut saya perlu. Mengingatkan sesama muslim untuk hal baik adalah ibadah." Dia selalu punya alasan.
"Tapi apa yang anda lakukan mengganggu saya, Pak." Aku benar, kan? Menelpon seseorang di waktu seperti ini.
"Benarkah? Kamu bukannya sedang duduk, kan? Tidak sedang tidur atau makan?" Aku melihat keluar jendela. Mungkin saja orang ini sedang mengamatiku dari luar. Sepi. Tidak ada siapapun.
"Kok Bapak tahu saya sedang duduk?" Aku was-was menunggu jawabannya. Siapa tahu dia akan mengaku jika sedang mengintaiku.
"Nebak." Wuuh.. Aku kira dia benar-benar mengintaiku. Aku akan menanggapinya, tapi dia sudah mendahului ucapanku. "Besok kamu ke pantai, kan?" tahu dari mana dia?
"Nggak."
"Bohong. Bukannya kamu sering ke pantai." Tahu dari mana sih dia?
"Bapak sok tahu." Aku benar akan darah tinggi kalau terus-terusan mendebat orang ini.
"Saya tahu kamu pasti ingin tahu siapa saya, kan? Temui saya besok di pantai." Selain sok tahu. Orang ini punya tingkat kepercayaan diri tingkat tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN SOSMED (COMPLETE)
SpiritualSatu tahun berlalu setelah Nadia menemukan satu akun Facebook dengan face yg tampan. Berulang kali chat dan akhirnya saling kenal, walaupun Bintang sangat dingin. Hingga satu hari Nadia men-chat dan dibalas dengan kata kasar. Setelah itu dia berjan...