18. Insiden

948 117 6
                                    

Selamat Menjalankan Ibadah Puasa. Semangat terus. Berikan bintang buat semangat penulis yaaaa...

Aku mengamati kamarku. Meneliti tiap hiasan yang sudah menempel rapi di dinding. Warna-warna bunga membuat kamarku yang memang bercat putih nampak hidup. Aku memang tidak pernah mengganti warna kamarku dengan cat lain. Bagiku putih itu indah. Putih itu mewah. Putih itu istimewa.

Sudah cukup. Sani memang berbakat sekali untuk urusan seni. Hias menghias dia ratunya. Aku beranjak ke ruang tamu. Melihat beberpa tetangga yang membantu tukang tenda memasang tenda di depan rumahku.

Rasanya belum lama aku berangkat ke pesantren. Pertama kali berangkat kuliah. Pertama kali belajar kitab salaf. Semuanya masih terpampang jelas dalam ingatanku. Kini tenda sudah berdiri. Tirai-tirai mulai dipasang. Sebuah panggung sedang dihias dengan aneka janur dan bunga-bunga. Aku akan duduk di sana. Bersama dengan seseorang yang akan kusebut suami.

Ah senangnya. Meskipun aku belum mencintai, aku akan berusaha untuk tetap melakukannya. Menjadi istri yang baik. Aku sudah tidak sabar untuk menyiapkan kopi di pagi hari. Menyiapkan pakaian untuk bekerja. Menyalami tangannya saat kami selesai sholat. Romantis sekali.

"Nadia! Ikut Bude, yuk!" Bude Siti menarikku menuju ruang televisi. Ada banyak orang di sana. Keluarga dari Ibu dan dari Bapak juga sudah berkumpul.

"Sini. Nadia. Kamu jarang di rumah, kan? Mumpung sekarang bisa ngumpul, sini ngobrol. Besok juga sudah tidak sempat." Mas Rizki, sepupuku melambai padaku. Umurnya tiga tahun di atasku.

"Iya, Nadia. Calon pengantin. Sini biar dikasih wejangan sama Pakde Arif." Bude Siti menambahkan.

Aku tersenyum. Lalu duduk di sebelah Bude Siti.

"Betahkan di sini, Bude, Pakde, dan yang lain?" Aku satu persatu menghadap mereka.

"Betah, Nad. Lingkungannya ramah juga. Sama kayak di rumah Paman." Paman Sodik tersenyum. Dia mengambil keripik singkong yang ada di depannya.

"Pengen jalan ke pantai, Nad. Pengen lihat PANGANDARAN SUNSET. Katanya kalau malem bagus banget yaa." Mas Rizki ikut nimbrung. Dia menunjukkan chat temannya yang memamerkan keindahan pantai Pangandaran pada malam hari.

"Mas Rizki. Sunset sore kan, Mas? Pas matahari tenggelam. Kenapa ke sananya pas malem sih?" Sani tiba-tiba duduk di sebelah Mas Rizki. Aku hendak menjawab. Namun Mas Rizki sudah mengeluarkan suara duluan.

"Mesti ini anak kurang piknik. Mas ya tahu kalau sunset itu sore. Tapi di sana itu kalau malem malah lebih bagus pemandangannya. View tamannya itu, eksotis banget." Mas Rizki menjelaskan dengan ekspresi yang terlihat serius.

"Lah, ya nggak. Pokoknya sunset ya sore. Kalau malem namanya PANGANDARAN NIGHT." Mas Rizki sudah hampir menarik hidung Sani sebelum sebuah suara menginterupsi candaan kami. Aku bahkan belum menjawab pertanyaan Mas Rizki.

"Ganti chanel PVRI. Ada berita kecelakaan." Mas Dani dengan nafas ngos-ngosan menarik remote yang sedang dipegang oleh Mas Rizki.

"Udah biasa kali, Dan. Kamu kenapa ngos-ngosan gitu sih?"

"Diem semua!" Mas Dani tidak menjawab. Dia malah meminta semua yang ada untuk diam. Kami memusatkan perhatian pada presenter televisi yang sedang berbicara.

'SEBUAH KECELAKAAN MOBIL YANG MENYEBABKAN PENGEMUDI DI LARIKAN KE RUMAH SAKIT.'

Aku masih belum paham maksud berita itu. Aku juga tidak bisa melihat korban itu. Dia sudah dibawa ambulance. Mas Dani melihatku. Air mukanya pucat. Dia kenapa sih?

"Dek." Mas Dani memanggilku. Matanya sudah berkaca-kaca.

"Iya, Mas. Mas kenapa mau nangis?" Aku mulai khawatir. Pasalnya Mas Dani tidak pernah menangis kecuali waktu kami kecil.

TEMAN SOSMED (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang