Air dan Api

644 74 8
                                    

Hari-hari menjelang wisuda itu memang benar-benar merepotkan. Hampir setiap hari aku harus datang ke kampus untuk menyiapkan ini dan itu. Segala persiapan untuk wisuda mulai dari mengisi berkas data diri untuk kelengkapan ijazah, foto untuk ijazah, tanda tangan dan masih banyak lagi hal-hal yang harus aku jalani.

Untung saja Yuta selalu ada untuk menemani, mengantar dan menjemputku tiap kali aku diharuskan untuk pergi ke kampus. Meskipun aku tau dia benar-benar sibuk dengan coffee shop nya, belum lagi menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan rencana pernikahan kami.

Namun hari ini sedikit berbeda, aku sendirian, ya memang sengaja aku menolak tawaran Yuta untuk mengantarku ke kampus karena aku tau hari ini dia ada meeting dengan seseorang yang rencana nya akan membantu Yuta untuk membuka cabang yang baru untuk coffee shop miliknya. Meskipun Yuta membantah dan mengatakan jika dia tidak terlalu sibuk, tetapi tetap saja aku tidak ingin merepotkan dia kali ini.

Aku berjalan keluar area kampus setelah melaksanakan sesi foto untuk keperluan ijazahku, juga menenteng satu paper bag yang cukup besar berisikan seperangkat baju toga untuk dipakai saat acara wisuda nanti.

Terik matahari sangat mengganggu penglihatanku. Aku hanya bisa menyipitkan mata sepanjang jalan untuk melihat keadaan sekitar sampai pada akhirnya aku menemukan sosok yang tidak terlalu asing bagiku untuk akhir-akhir ini.

"Kang? Lagi ngapain?"

Dia terperanjat sedikit kaget melihat kedatanganku yang mungkin dirasa tiba-tiba muncul dibelakang punggungnya.
Sudah kali ke empat aku bertemu dengan dia yang sudah tidak mau aku panggil bapak lagi.

"Eh Sarah, ini saya mau ketemu adik saya tapi dia udah pergi, katanya main sama temen-temennya."

Dia tidak terlihat seperti sedang bekerja, karena dia tidak mengenakan seragam kerjanya. Dia hanya mengenakan celana jeans dan kaos hitam polos, juga sekantong plastik yang ada di tangan kirinya.

Aku tersadar jika dia mengatakan hal serupa seperti pertama kali kami bertemu di kampus, dia bilang akan bertemu dengan adiknya. Hal itu membuatku berfikir dan kini ada segudang tanya di dalam pikiranku, namun aku urung untuk menanyakannya.

.

"Si Yuta gak jemput?" Mulutnya kini mulai bersuara setelah sekitar 5 menit hanya saling diam.

"Sebenernya sih dia mau jemput, malah mau anter juga waktu tadi pagi, tapi aku tolak soalnya aku tau dia lagi sibuk."

Kang Doni hanya mengangguk sebagai jawaban lalu kembali fokus pada kemudinya.

Aku berada satu mobil dengan Kang Doni, sebenarnya aku tidak mau, tapi terik matahari memaksaku untuk menyetujui ajakan Kang Doni untuk bersedia diantar pulang. Jujur aku takut Yuta mengetahui hal ini, apalagi akhir-akhir ini Yuta sering sekali bersikap tidak seperti biasanya, dia jadi sering cemburu bahkan tak beralasan.

Padahal selama kami berhubungan, Yuta tidak pernah bersikap seposesif sekarang. Dia selalu percaya padaku, asalkan aku harus mengabarinya. Itu saja.

"Ini mau di anter langsung ke rumah kamu atau kemana?" Tanya Kang Doni membuyarkan lamunanku. Aku mengarahkan wajahku padanya sepersekian detik sampai pada akhirnya aku sadar kalau Kang Doni sedang menatapku juga.

"Oh, hm, kalo boleh sih anter ke kantor temen aku Kang."

"Dimana?"

"Deket kok." Aku menunjuk ke jalan mengarahkan Kang Doni menuju kantor nya Kak Julia.

"Kang—"

"Hmm?" Dia menoleh.

"Aku boleh nanya gak?"

101 [ YUTA ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang