09 - Meet

3.1K 402 50
                                    

Genggaman tangan kian mengerat, saling menyalurkan kekuatan. Sebanyak apapun ketenangan yang diberikan sang suami, tak mampu menahan isak tangis sang istri. Hatinya terluka, jiwanya terkoyak. Merasa menjadi Ibu yang paling hina.

"Sudah, kita telah malakukan yang terbaik. Tak ada yang salah, semua sudah digariskan seperti ini," ucap sang suami menenangkan. "Kita hanya perlu melanjutkan hidup. Kau, aku dan Jungkook—putra manis kita."

"Andai saat itu aku tak membiarkan Yoongi bermain air di depan pintu. Andai saat itu aku bisa berjalan lebih berhati-hati, kau tak akan pergi sebelum menyecap indahnya dunia. Maafkan Ibu, sayang."

***

Malam ini hujan deras, mengguyur tubuh kurus Yoongi. Mata nya menjadi kabur, bulir bening yang tertampung meluruh bersama air hujan, remuknya jiwa tak mampu teraba namun begitu jelas terlihat. Getar bahu karena isaknya, jerit pilu menyesakkan dada, tak ayal membuatnya terlihat begitu rapuh.

Setiap langkah membawa seribu kenangan, menghasilkan pemakluman tak bermoral atas segala perlakuan yang mereka berikan. Pantas saja tak pernah ada cinta dari sorot tatap mereka, bagi mereka aku hanyalah pembunuh tak tahu malu. Yang masih saja mengemis cinta padahal aku telah melenyapkan buah cinta mereka.

Tapi.. berdosakah jika aku sedikit egois? Untuk mengatakan bahwa aku juga anak mereka. Mengapa mereka begitu kesakitan saat kehilangan satu anak lainnya namun baik-baik saja saat kehilanganku? Bahkan mereka mengirim ku pergi, untuk hidup sendiri. Bukankah aku pun memiliki kesempatan yang sama? Untuk menerima tangis mereka disaat-saat kepergianku. Bukan tatap lega nan bahagia yang terlukis menyayat hatiku yang rapuh.

Yoongi menyusuri trotoar jalanan, bentangan air di bawah sana seakan menyuruhnya berhenti, berpikir sejenak, mengkaji ulang semua yang terjadi padanya malam ini.

Pantaskah aku menerima semua hukuman ini?

Langkahnya terhenti, kelam netranya menatap dalam genangan air di bawah sana, mencoba mencari jawaban.

Lalu tangannya berusaha merogoh ponsel di saku celananya, menghubungi satu-satunya orang yang akan selalu terpikirkan kala frustasi mengambil alih dirinya.

Seokjin dialing..

"Hyung.." lirihnya sesaat setelah Seokjin mengangkat panggilan.

"Oh? Yoongi, ada apa menghubungi ku selarut ini?"

"Hyung.." panggilnya lagi.

"Hm? Ada apa? Aku disini.."

Rambutnya tersibak sebab hembus angin begitu kuat, matanya terpejam lelah, membiarkan air mata luruh membawa sakitnya yang meradang. "Hyung.. apa aku pantas mendapat semua rasa sakit ini? Mereka bilang ini hukuman untukku.." ujar nya lirih, berusaha keras menahan rasa sakit di tenggorokan juga satu sudut di bagian hatinya.

"Kau terlalu berharga untuk mendapatan rasa sakit itu, Yoongi-ya," jawab Seokjin tulus.

"Katanya aku telah membunuh adikku, 14 tahun lalu, hyung," ungkap nya dengan suara bergetar.

Tubuh Seokjin menengang dibalik sambungan, otaknya berjalan dengan cepat. Anak 3 tahun? Yang benar saja.

"Hyung.. mereka bilang aku telah membunuh adikku.. Aku bahkan tak mengingatnya sama sekali."

"Kau dimana sekarang?" tanya Seokjin langsung, tak biasanya Yoongi bercerita hal sepenting ini melalui sambungan telepon, ia pasti akan datang ke rumahnya. Selalu.

"Hyung.. bagaimana? Aku telah pergi dari rumah ku, ibu dan ayah meminta ku pergi. Ah, masihkah bisa aku menyebutnya Ibu dan Ayah? M-mereka membuangku, hyung," cicitnya penuh duka.

AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang