17 - New Life

2.2K 316 44
                                    

Saat ketulusan menyembuhkan luka, disitu ia sadar bahwa berjuang mati-matian untuk orang yang membenci tak akan menemukan akhir. Sebanyak apapun berkorban, pada akhirnya hanya luka yang akan datang menghampiri.

Sembilan puluh persen hidupnya dipenuhi luka, air mata dan rasa sakit. Satu pertiganya habis untuk mencari penawar untuk penyakit sulit tidur nya, dua bagian lainnya hanya berusaha menerima takdir.

Lalu saat sepuluh persen dari sisa kehidupannya mendominasi, segala luka yang sejak lama melekat itu luruh begitu saja. Mudah, kata kuncinya hanya menyerah untuk menang. Cinta itu anugrah, bukan? Kenapa karena cinta ia harus merasa sesakit ini? Ini bukan tetang perjalanan cinta rumit antara Galih dan Ratna, ini cinta sederhana yang sewajarnya di miliki oleh sebuah keluarga. Tapi lagi-lagi ia di paksa untuk tak terlibat dalam cinta sederhana itu.

Maka saat Ibu dan Jimin mengulurkan tangannya, memberi pelukan terhangat sepanjang masa, memberi kata indah nan menenangkan, hati siapa yang tak goyah? Yoongi tidak bodoh untuk membuang kesempatan itu dengan cuma-cuma. Jika 90% hidup nya telah di penuhi luka, kini biarkan ia menikmati 10% kebahagiaannya bersama mereka.

Teringat jelas pertemuan terakhirnya bersama Ibu dan Ayah, tatap mereka masih sama—penuh kebencian, aura mereka tak pernah berbeda—dingin menghanyutkan. Saat itu hanya ada dirinya, Ibu dan Ayah di salah satu taman dekat rumah, entah untuk alasan apa Jungkook tak ikut menemuinya. Malam itu menjadi malam paling panjang dihidupnya, lelah mengatakan terluka tapi luka terhebat ia rasakan dimalam itu saat Ibu dan Ayah memberi apa yang ia inginkan—kronologis ia membunuh adiknya, sebab demi Tuhan, Yoongi masih tak mengerti bagaimana bisa ia menjadi monster gila seperti itu.

Sejak awal kandungan ku lemah. Saat itu kau masih berumur tiga tahun, aku mengingatnya dengan jelas karena pada usia itu kau memberiku banyak tekanan, mental dan juga fisik. Siang itu kau tak henti merengek, tak mengerti pada kondisiku yang tengah kesulitan, menahan penat juga emosi.

Aku masuk ke kamar, meninggalkanmu bermain diruang tengah. Berjuta kali ku katakan, jangan bermain air karena itu membahayakan. Dan tanpa pengawasanku, kau bermain air, dengan shampoo favoritm, tepat di depan kamarku.

Pada saat itu aku hanya ingin sedikit saja beristirahat, merebahkan tubuh yang kian melemah namun jeritanmu tak mengizinkanku. Kau menangis begitu kencang, membuatku bangkit begitu saja, membuka pintu lalu jatuh mengenaskan.

Aku menangis, saat punggungku mengantam lantai begitu kuat dan darah keluar begitu banyak. Lalu kau dengan tidak tahu malunya ikut menangis dan menekan perut ku kuat, menjadikan rahimku sebagai tumpuan. Aku menjerit kesakitan dan kau tanpa bisa diandalkan ikut menangis bersamaku.

Kau, membuatnya mati hari itu. Dan aku membencimu atas alasan itu.

Detik pertama ia mendengar, tak ada yang bisa dicerna kepalanya, apalagi bila harus diingat. Empat belas tahun lalu dan Yoongi terlalu kecil bila harus mengingat peristiwa itu. Langkahnya hilang arah, matanya bergerak tak karuan. Ibu dan Jimin menjadi satu-satunya harapan. Ia pulang dengan kondisi begitu menyedihkan.

Tangis memenuhi wajah, usai pintu kamar terbuka, tubuhnya luruh begitu saja. Ibu dan Jimin disana, dengan bulir obat yang berceceran. Tatapnya penuh tanya namun tak ada kata yang mampu terucap. Untuk pertama kalinya, Yoongi menangis dengan bebas, membiarkan Ibu dan Jimin merengkuhnya. "Mianhae.."

"Apa yang terjadi padamu, Yoon?"

Tak ada frasa yang mampu mendeskripsikan, tentang betapa hancur hidupnya. Kini, apalagi yang akan terjadi? Saat Ibu dan Jimin mengetahui segalanya, bukankah semua akan berakhir?

Namun semua diluar dugaan, Ibu mendekapnya erat, menghapus bulir dari mata merah dengan urat yang tercetak jelas. "Kau bisa mengatakannya pada kami, apapun.. kami akan menerimamu sepenuhnya."

AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang