19 - Rindu yang menyesakkan

2.2K 344 83
                                    

"Jungkook!"

Saat nama itu terlontar begitu nyata, jantungnya terhempas sejauh ribuan kilo meter, nyaris mati tak ingin berdetak untuk selanjutnya bertrampolin begitu hebat. Seketika tangannya bergetar, entah sejak kapan menampung keringat yang tak bisa ia kendalikan.

Matanya membeku, tak sedikitpun punya nyali untuk bergerak, takut menangkap sosok yang tertinggal jauh dalam kenangan kelamnya. Dalam skenario terburuk sekalipun, Yoongi tak pernah menyangka akan bertemu dengan Jungkook di hadapan Jimin dan Ibu.

Detak jantungnya melambat seiring langkah yang terdengar sayup, Yoongi menyembunyikan tangannya, khawatir sang Ibu akan melihat perubahan dirinya begitu jelas.

"Hyung, perkenalkan ini Jungkook, teman yang sering ku ceritakan!"

Otaknya total tak bisa bekerja, mati tak berfungsi. Lidah nya kelu, seiris dengan senyumnya yang membeku. Ingin menyapa, terlalu bingung untuk memperkenalkan siapa dirinya. Tak ingin menyakiti Jimin dan Ibu yang enam tahun belakangan telah bersama dengannya, menemani setiap malam sepi nya, mengisi ruang hati nya.

Aku telah memutuskan untuk meninggalkan masa laluku dan bahagia dengan kehidupan ku saat ini. Jungkook telah memiliki Ibu dan Ayah. Aku juga ingin memiliki sosok itu, biarkan aku menyelamatkan hatiku, kali ini saja.

"Perkenalkan, aku Yoongi. Kakak Jimin."

Jungkook terhuyung, jika bukan karena Jimin yang memiliki gerak refleks begitu sempurna, mungkin Jungkook sudah tersungkur saking lemasnya ia. Jabatan tangan itu terasa begitu singkat, tak sedikitpun mampu membayar rasa rindu pada sang kakak.

Jungkook tersenyum kaku, mengucapkan terimakasih berulang pada Jimin yang telah menyelamatkan harga dirinya di hadapan Yoongi. Matanya berlari tak ingin bertemu netra Yoongi, sesak.

"J-jim, maaf. S-sebenar nya, aku datang untuk mengatakan tak bisa bergabung kali ini. M-maaf karena tak menepati janji ku. T-tapi aku sedang merasa kurang sehat. Nikmati waktu kalian," ucapnya terbata begitu kepayahan, menahan remang tubuh yang menusuk relung jiwa. Suaranya nyaris menghilang, menahan getar yang tak ingin ia umbar, pada siapapun terlebih pria yang kini mengaku sebagai kakak dari temannya.

Jungkook menepuk bahu Jimin ringan kemudian berlalu tanpa berpamitan, memaksa langkah untuk segera pergi meninggalkan sakitnya, kalau ia boleh meminta ia ingin tiba-tiba menghilang, sebab ia tak lagi sanggup menahan segala kecewa dan air mata.

Yoongi menatap punggung Jungkook tak percaya, adiknya telah tumbuh menjadi pria tampan. Ibu dan Ayah membesarkannya dengan baik, Jungkook pasti menerima banyak cinta. Syukurlah, Yoongi bahagia jika kepergiannya memberikan kenyamanan pada keluarga nya. Jungkook tumbuh dengan baik, kini saatnya kau berhenti merasa bersalah telah meninggalkannya, Yoongi. Adikmu baik-baik saja, bisik nya berulang.

Wajar saja bila Jungkook terkejut melihat nya, ia pun sama terkejutnya. Sedikit terluka tak masalah, Yoongi juga sudah menerima banyak luka, Yoongi hanya tak ingin menyia-nyiakan orang-orang berharga nya saat ini, Jimin dan Ibu kini menjadi prioritasnya.

Yoongi bukannya tak tahu bagaimana tatap rindu penuh luka itu menyambutnya, Yoongi jelas mengerti seberapa besar Jungkook ingin memeluknya hanya dari getaran tangannya. Hanya saja, kini semua telah berubah, enam tahun telah terlewati. Kenangan manis dan pahit silih berganti. Yoongi tak ingin menambah luka pada siapapun. Jungkook bisa hidup tanpa nya, tapi Yoongi sangsi bisa hidup tanpa Ibu dan Jimin nya.

Tubuh tegap itu menghilang dibalik dinding raksasa, meluruh bersama harga diri yang hancur berserakan, setiap sendi tubuhnya merasa sakit sebab luka pada hatinya kini tak lagi mampu tertolong.

Dahi nya bersatu dengan aspal, menangis terseguk hingga goresan kasar mulai menghiasi dahi nya. Semua meninggalkan ku, kenapa kau lakukan ini pada ku, hyung?

***

Seokjin menatap sendu Jungkook yang terbaring di atas kasur. Dengan mata tertutup namun masih saja memproduksi air mata. Usapan halus ia berikan untuk menenangkan Jungkook.

Berapa banyak luka yang harus mereka terima?

Air matanya meluncur cepat, melihat bagaimana malangnya nasib Yoongi dan Jungkook. Untuk alasan apapun, Seokjin tak bisa menyalahkan keputusan Yoongi karena telah menemukan kehidupan barunya dan melepas masa lalu sepenuhnya. Dibanding siapapun, ia yang paling tahu kondisi Yoongi saat itu.

Tapi melihat Jungkook enam tahun ini, membuat hatinya hancur mengenaskan. Jungkook berjuang untuk kesembuhannya, mencoba bangkit dari keterpurukannya, diam-diam menyimpan harapan bisa kembali bertemu dengan kakaknya. Namun lagi-lagi yang ia terima hanya sebuah luka lainnya.

Teringat jelas dalam memori bagaimana malam itu ia hampir tak bernyawa saat mendengar asumsi Seokjin yang mengira Yoongi sudah mati, lalu Yegyeom membuka semua rahasianya hanya untuk melihat Jungkook hidup tanpa jiwanya, terpuruk dalam angannya, terluka dalam setiap hembus napasnya.

Seokjin mengacak rambutnya frustasi, merasa kecewa pada semesta yang tak henti mempermainkan mereka. Menatap Jungkook dengan untaian doa yang selalu ia ucapkan.

Jungkook, berbahagialah.. Dengan ataupun tanpa kehadirannya. Kau berhak bahagia, kau tak semestinya menderita.

Saat kesadarannya kembali, rasanya Jungkook ingin kembali tidur saja. Sebab satu jam terlelap sama sekali tak membawa luka itu pergi. Bayangan Yoongi seolah berdiri tepat di pelupuk matanya, tak ingin pergi—ingin menyiksanya lebih lama.

Pada akhirnya Jungkook memutuskan untuk membuka mata, mengulas senyum pada Seokjin yang masih berada di sampingnya. "Hyung belum pulang?"

"Masih ingin menemani mu," jawabnya singkat.

Jungkook mencoba bangkit, sesekali menyentuh dahi yang terbalut perban. "Tak perlu, aku baik-baik saja. Kau sudah bicara dengan Yoongi hyung?"

Seokjin menggeleng. "Belum. Bagaimana perasaanmu saat ini?"

Jungkook terkekeh. "Jangan melakukan konseling dadakan, datanglah saat aku meminta."

"Aku bicara sebagai teman dekat mu Jungkook, bukan sebagai dokter mu."

Jungkook menghela napas lelah. "Bagaimana mungkin. Bisa saja aku bicara pada mu sebagai teman dekatku, tapi kau pasti menjadikan informasi itu sebagai parameter kesehatan jiwa ku. Fakta bahwa teman dekat ku merangkap sebagai dokter ku membuatku benar-benar merasa kesepian, hyung."

Seokjin meremas tangan Jungkook, menyalurkan kekuatan. "Tidak, aku tidak akan melakukannya. Satu tahun ini aku sudah memutuskan untuk berhenti menjadi dokter mu, hanya untuk membuatmu menyadari kau memiliki seseorang disamping mu. Aku teman mu, ingatlah itu, Jungkook."

Desahan itu terdengar memilukan, matanya memburam, begitupun perasaannya. "Biarkan aku sendiri, aku tak ingin mengumbar kelemahan ku terlalu banyak pada siapapun. Pada akhirnya aku hanya memiliki diri sendiri, tak ada yang benar-benar ingin berdiri di samping ku. Semuanya pergi meninggalkanku, ibu.. ayah dan Yoongi hyung, dan mungkin kau juga suatu saat nanti."

***

Kunjungan kali ini menjadi yang terburuk bagi Jimin, sebab Yoongi seperti menjadi orang lain. Tak mendengar curhatannya, tak menimpali ucapannya tak pula memberi afeksi untuknya, seolah Yoongi berada jauh dalam jangkauannya.

Jika diperbolehkan, rasanya Jimin ingin membongkar isi kepala Yoongi, untuk mengetahui alasan mengapa tubuhnya begitu tegang dan matanya kembali kelam.

"Hyung kau baik-baik saja? Ibu memaksamu untuk datang mengunjungiku ya?"

Bahkan untuk pertanyaan itupun Yoongi tak bisa mendengarnya dengan baik, membuat Ibu dan Jimin sama-sama tak mengerti.

Kini perasaan Yoongi benar-benar kacau, ia yakin atas pilihannya, ia ta pernah menyesal dengan keputusannya, karena bersama mereka ia merasa benar-benar di cintai. Tapi mengapa sejak Jungkook pergi membawa luka yang ia torehkan, isi kepalanya hanya di penuhi oleh jutaan pertanyaan tentang adik kecil nya?

Bagaimana kabar nya? Bagaimana hari-hari nya? Mengapa ia harus kuliah di Busan saat ada orang tua nya di Seoul? Siapa saja temannya? Apa kabar Ibu dan Ayah?

Selama enam tahun, Yoongi mampu menahan segala tanya tentang keluarganya, tapi mengapa sesaat setelah bertemu Jungkook rasanya pertanyaan itu tak lagi mampu ia tampung.

Yoongi merasa ini adalah hari terburuk, sebab ia tak lagi bisa membohongi perasaannya—Aku merindukan adik kecil ku.

AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang