18 - Semesta sedang bercanda

2.2K 342 84
                                    

Aroma laut tercium cukup kuat dari tempat bersandarnya saat ini—cafe minimalis yang memiliki macam kopi favoritnya.

Jika biasanya ia hanya duduk sendiri ditemani sekaleng soda atau segelas kopi hangat, kini pria Seoul datang mengunjunginya, tak banyak bicara namun memberi afeksi nyata. Satu cup ice coffee setengah tandas, mungkin karena terik matahari yang tak sedikitpun santai.

"Tidak berniat mengunjungi ku di Seoul?" tanya Seokjin membuka percakapan.

"Terlalu jauh untuk anak muda sepertimu, itu yang selalu kau katakan saat aku memutuskan kuliah disini. Yeah, alasan yang sama kenapa aku tak mengunjungi mu di Seoul," jawabnya ringan seraya menyeruput soda.

Seokjin mendesah berat. "Lama tak jumpa, bagaimana kondisi mu sekarang? Baik-baik saja?"

Saat pertanyaan itu terlontar, Jungkook jelas tahu kemana arah pertanyaan itu bermuara. Alih-alih menjawabnya dengan benar, Jungkook malah menunjukkan deretan gigi kelinci dengan gurat mata serupa bulan sabit. "Kau tampan, sayang mata mu tak normal. Jelas-jelas aku sehat begini, berat badan ku naik, tenang saja bukan karena lemak, otot-otot ku sudah bertambah," jawab Jungkook dengan tangan yang sibuk menepuk bisep kokoh nya.

"Hati mu maksud ku. Jelas saja jika tubuh mu. Tak akan kau dapatkan semua medali yang bertumpuk dirumah ku jika tubuh mu tak sekekar itu."

Jungkook mengedikkan bahunya. "Tak tahu, seperti mati rasa. Tak begitu sedih, namun saat mengingatnya tiba-tiba air mata ku keluar begitu saja. Hati ku tak lagi sakit, tapi tak jarang waktuku habis karena memikirkannya. Kesimpulannya, aku menerima kepergiannya, tapi tak bisa melepasnya dalam memori ku. Bagaimana pun dia kakakku, dimana pun ia berada, ku yakin aku masih menjadi bagian dari orang yang tinggal di hatinya."

Saat mengatakan itu, Jungkook benar-benar lurus, tak ada nada bergetar atau pun tatapan sendu. Tapi mengapa malah Seokjin menatapnya dengan mata terbalut cairan tipis? Membuat Jungkook mendesah kecil. "Kau merindukannya ya?"

Seokjin mengalihkan pandangannya, lalu kembali berusaha meneguk ice coffee nya yang sudah tandas. "Aku mengkhawatirkan mu, bodoh."

Jungkook mengulas senyum tulus. "Terimakasih, tapi tak usah khawatir. Aku sudah tak seburuk dulu. Lihatlah, kini aku tumbuh dengan baik, kan? Menjadi mahasiswa kebanggaan kampus dan memiliki banyak penggemar. Bahkan kehilangan uang jajan pun tak akan mati kelaparan, loker ku selalu penuh dengan berbagai makanan," guraunya menghapus sendu yang tercipta.

"Tetap saja. Kembali ke Seoul, ya? Tinggal denganku, aku juga masih hidup sendiri. Aku ingin mengawasi mu setiap saat. Jarak yang jauh seperti ini menyulitkan ku, sungguh."

Jungkook terkekeh. "Tak mau, berada disini setidaknya aku bisa menghentikan tingkah gila ku. Aku tak bisa menjamin kembali sehat jika aku pulang ke Seoul, hyung. Disini aku merasa lebih hidup. Kau kalau butuh teman, carilah pasangan. Sampai kapan mau melajang," ejeknya di akhir kalimat, mengundang pukulan telak Seokjin pada bahunya. "Sial."

Jungkook menopang dagu dengan sisa tawanya, melempar tatap pada jalanan yang terbentang luas, tak memuat banyak kendaraan, lenggang sekali, enak dipandang. "Hhh—aku rindu Yoongi hyung sekali sebenarnya. Masih berharap ia kembali selama apapun pergi," lirihnya hampir tak terdengar.

"Dalam 6 tahun, berapa banyak luka yang sudah berhasil terobati? Berapa lama lagi aku harus menanti? Berapa banyak medali yang harus ku miliki?" gumamnya kecil, berusaha menerawang masa depan.

"Hyung, aku tak aneh kan saat bilang aku menerima kepergiaannya namun masih mengharap ia kembali? Rasanya angan itu tak bisa pupus tersapu waktu, kecuali kalau aku sudah mati mungkin."

AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang