21 - Gila

2K 315 72
                                    

Pintu kamarnya terbuka, derap langkah mendekat, netra jelaga berpendar menatap langit malam. Usapan hangat pada punggung tangan mengembalikan kesadarannya. "Ibu?"

Ibu tersenyum, tangannya beralih mengusap rambut hitam Yoongi. "Belum tidur? Perlu di temani?"

Senyumnya mampu menghantarkan kebahagiaan, tatapan lembutnya selalu berhasil membuat dadanya menghangat. Yoongi ikut tersenyum, lalu menggeleng ringan. "Aku baik-baik saja."

Ibu menarik satu kursi hanya untuk bisa duduk bersampingan dengan Yoongi, menemani malam sepi Yoongi. "Jimin baru selesai menangis," ucap Ibu damai berbeda dengan Yoongi yang langsung menolehkan wajahnya. "Menangis? Kenapa?" tanyanya penuh kekhawatiran.

Ibu tertawa kecil. "Lucu, katanya karena kau mengabaikannya hari ini. Karena semua rencana hari ini berantakan tanpa sebab, dan kau sama sekali tak memberikan pelukan untuknya. Jimin manja sekali, ya," ucap Ibu membuat perasaan bersalah Yoongi bertumpuk. Air mata Jimin adalah kelemahannya saat ini, sebisa mungkin Yoongi selalu melakukan banyak cara agar Jiminnya tak menangis. Dan hari ini, Yoongi telak melupakan janji—tak membuatnya menangis, hanya karena kehadiran sosok lama yang tersimpan rapi dalam satu sudut hati.

"Mengabaikannya? Demi Tuhan aku tak melakukannya, bu! Aku harus melihatnya," ucap Yoongi sedikit gusar, sejenak melupakan resah yang sejak siang menguasai dirinya.

Ibu menepuk punggung Yoongi beberapa kali. "Ibu sudah menenangkannya. Tak usah khawatir."

Yoongi mengusap wajahnya frustasi. "Tapi aku membuat nya menangis, bu. Maafkan aku tak bisa menjaga janjiku."

Sang Ibu terkekeh. "Yoongi.. bagaimana perasaanmu tinggal bersama kami? Apa kau bahagia?" tanya Ibu tiba-tiba membuat dahi Yoongi berkerut sempurna.

"Kenapa ibu bertanya seperti itu? Ku kira tanpa ku katakan ibu sudah tahu jawabannya," jawab Yoongi.

"Ibu tidak ingin berspekulasi, ibu ingin mendengar jawaban mu, Yoongi," pintanya penuh harap.

Yoongi memandang sang Ibu, siapapun dapat menyimpulkan arti sorot tatap itu, penuh syukur, beribu cinta dan kasih sayang. "Bu, bertemu dengan mu dan Jimin adalah satu anugrah yang Tuhan berikan untukku. Berulang kali aku merasa tidak pantas bisa hidup bersama denganmu dan Jimin. Aku benar-benar bahagia. Kenapa bertanya seperti itu? Ada sesuatu yang menganggu pikiranmu?" tanya Yoongi dengan nada menuntut meminta penjelasan.

"Tidak. Hanya saja..."

"Ada apa bu?"

Sejenak Ibu melepas pandangan dari netra orang asing yang kini telah menjadi bagian dari keluarga kecilnya. "Bagi Jimin memiliki saudara adalah hal yang sangat mustahil. Ibu tak ingin menikah lagi setelah kepergian Ayah Jimin, jadi anak itu mengerti dan tak menuntut banyak. Bertahun-tahun kami hidup hanya berdua, melakukan banyak hal berdua, Ibu bukannya tidak tahu, setiap pulang sekolah ia selalu merenggut karena tak ada sosok ayah atau pun kakak yang bisa menjemputnya, atau sekedar bermain dengannya. Jadi, kehadiran mu membawa kebahagiaan untuk Jimin. Saat kau tidur, kau tidak tahu betapa besar perjuangan Ibu untuk mendengarkan harapannya di setiap malam. Bu, Yoongi hyung tak akan pergi kan? Yoongi hyung akan tinggal dengan kami? Sejak saat itu, ibu memiliki harapan yang sama. Kita telah menghabiskan banyak waktu bersama mu, Yoongi."

Jantung nya berdegup kencang, mengolah informasi yang Ibu berikan, mencari tahu kemana arah pembicaraan Ibu.

"Ibu dan Jimin sama-sama merasakan hal asing tentangmu hari ini, Yoongi. Rasanya, seperti melihat mu enam tahun lalu. Ibu mengerti alasan mengapa tangis Jimin tak mudah dikendalikan hari ini. Kami sama-sama takut kehilangan mu. Pemuda itu, apakah ada sesuatu antara mu dengannya?"

AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang