14 - Pengkhianat

2.9K 356 39
                                    

Tubuh ringkihnya berlari melawan angin, membawa harap yang membumbung tinggi. Tak peduli pada suhu udara yang kian merendah, tak peduli pada raga yang kian melemah, hanya satu hal yang berputar dikepalanya. Hyung, tunggu aku sebentar. Sebentar saja, aku akan menjemputmu. Kali ini jangan lari dari ku, aku membutuhkanmu. Tiga bulan.. tiga bulan telah kulalui, hyung jangan hukum aku lebih lama.

Hanya tinggal beberapa rumah saja, Jungkook bisa bertemu dengan Seokjin. Bersyukur, malam itu Yoongi tak lupa menunjukkan rumah Seokjin. Napasnya tertahan untuk beberapa saat, mengendalikan detak jantung yang semakin menggila. Suaranya nyaris hilang, hingga dengan satu kekuatan kata mampu terucap dari bibirnya yang menggelap. "P-permisi.. Permisi," ucapnya lantang sembari mengetuk daun pintu beberapa kali terkesan sedikit tak sabaran.

"Permisi, apakah ada seseorang di dalam?" Jungkook bertanya gusar, tak lagi bisa bersabar.

Derap kaki yang tercipta membuat jantungnya bertalu kacau, harap-harap cemas siapa yang akan ia temui sesaat setelah daun pintu terbuka.

Ceklek..

Pemuda tampan yang jauh lebih tinggi dari nya membuka pintu, memberikan raut terkejut kala pertama kali melihat seseorang dihadapannya. "J-Jungkook? Min Jungkook?" tanya Seokjin spontan.

Jungkook mengangguk. "Ada Yoongi hyung disini?" tanyanya langsung, tak lagi terpikir attitude bertamu yang selama ini selalu Ibu ajarkan. Kepalanya tak sempat menatap raut terkejut Seokjin sebab sejak pertama pintu itu dibuka, Jungkook berusaha mencari keberadaan Yoongi didalamnya.

"Yoongi hyung! Aku disini! Aku menjemputmu! Bisakah kau keluar? Aku sudah merindukan mu!" Teriak Jungkook tak tahu malu, membiarkan air mata membanjiri seluruh tubuhnya, ia bahkan tak peduli bila lantai rumah Seokjin dipenuhi air matanya.

Jantung Seokjin nyaris berhenti, tangisnya pecah menarik Jungkook kedalam peluknya. Apa yang harus kuucapkan pada pemuda ini?

Demi Tuhan bukan ini yang Jungkook harapkan—peluk penuh kehancuran, bukan ini yang Jungkook inginkan.

Jungkook berusaha melepas pelukan erat Seokjin. Matanya bergetar, pun dengan tangan yang kini meremas ujung pakaian Seokjin. "Hyung ku ada di dalam kan?" suara parau itu, tak ada yang bisa Seokjin lakukan selain menarik kembali Jungkook ke dalam pelukannya. "Mianhae.. mianhae," rapalnya berulang.

Tangis kencang Seokjin, permintaan maafnya, pelukan eratnya, membawa pertanyaan besar bagi Jungkook, sekuat tenaga ia kembali berusaha melepas pelukan Seokjin, namun tak sedikitpun Seokjin izinkan. Pelukannya terlalu erat, Jungkook bahkan bisa merasakan seberapa kencang jantung Seokjin bertalu. "Y-yoongi hyung d-dimana? Kau ke-kenapa menangis?" cicitnya diliputi perasaan takut.

Seokjin hampir saja limbung jika bukan karena Jungkook yang masih mampu menyangganya. "D-dimana hyungku?" Jungkook tak henti mempertanyakan keberadaan Yoongi. Kau pasti bergurau, hyung. Dimana lagi aku harus mencarimu?

Seokjin melepas peluknya, menatap anak kecil dihadapannya penuh rasa iba. Netra sendunya bercampur dengan getar ketakutan, membagi tangis pilu dan sesak di dada. "M-masuklah," hanya itu kata yang mampu terucap dari bibir Seokjin, si psikolog yang kini tak bisa berdiri tangguh diatas profesinya.

Jungkook mengedarkan pandangan, demi Tuhan ia tak mau mengulur waktu. Ia hanya ingin segera bertemu dengan Yoonginya dan memberikan pelukan tererat, mengatakan semua baik-baik saja dan Jungkook akan selalu membersamainya, sampai kapan pun.

Namun seperti orang bodoh, ia sedang terduduk gusar, menunggu Seokjin menyiapkan teh yang sama sekali tak dibutuhkannya. Aku hanya membutuhkan Yoongi hyung.

AnswerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang