eps 3

17 2 0
                                    

Seorang laki-laki bertubuh atletis turun dari mobil hitamnya membuat seluruh karyawan yang kebetulan sedang lewat segera menunduk. Dia Leon Handi Wijaya. Ya, kalian benar.. dia saudara Afang Handi Wijaya. Dia adalah kakak Fang. Dia bukan kakak kandungnya, tapi mereka sudah hidup bersama dari Leon berusia 6 tahun. Saat itu kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kebakaran. Insiden tersebut bukanlah insiden yang tak disengaja. Menurut berita, kedua orangtuanya sengaja dibunuh oleh seseorang yang dianggap teman dekat orang tuanya.

"Selamat pagi tuan". Ucap salah seorang karyawan dengan senyuman ramah.

Seperti biasanya, Leon tidak membalas sapaan itu. Dia lebih memilih seakan tak bisa melihat orang yang menyapanya tadi.

"Ayah". Panggil Leon pada seorang laki-laki yang berusia empat puluh lima tahun yang sedang duduk di kursi kerjanya.

"Oh, kamu sudah datang. Ayah sebenarnya ingin membicarakannya di rumah, tapi ayah tidak bisa melakukannya. Selain karena alasan kamu yang terlalu sibuk dengan pendidikanmu, itu juga kare.."

"Ayah katakan saja intinya". Potong Leon pada ayahnya.

"Baiklah, kamu selalu tidak sabaran". Ayah Leon tersenyum. Garis-garis keriput di wajahnya terlihat sekarang. " Ayah mau kamu memegang bagian penting pada perusahaan ini. Kamu sangat pandai dalam hal furniture, jadi ayah percaya padamu. Ayah mau kamu jadi direktur utama saat kamu lulus kuliah. Yah, ayah tau kalau itu sangat tidak mungkin untuk dijalani. Apalagi kamu juga mau ambil S2 di Jerman setelah lulus S1. Bisakah kamu menjalankannya?".

"Bisa". Jawab Leon dengan nada mantap.

Ayahnya tersenyum. Sebenarnya ayahnya sudah menduga jawaban dari Leon. Dia anak yang pandai, dia masuk universitas saat usianya masih lima belas tahun. Dia juga mengambil jalur akselerasi dan bisa lulus skripsi di semester ke enam. Dia hanya butuh waktu tiga tahun untuk mendapatkan gelar S1. Genius bukan?

"Tapi hanya untuk sementara. Saat aku sudah pergi ke Jerman untuk ambil S2, aku ingin ayah melepasku dengan baik tanpa beban. Aku mau menjadi direktur utama hanya dalam beberapa bulan saja". Jelas Leon.

"Baiklah, ayah setuju. Mulai besok kamu bisa masuk kerja. Ayah akan membuat sambutan untukmu"

"Tidak perlu". Jawab Leon sambil menggelengkan kepalanya. "Aku mau datang seperti biasa tanpa sambutan. Itu merepotkan bagiku"

Sama seperti biasanya, kalian juga sudah bisa tahu sekarang bagaimana sifat Leon. Dia laki-laki yang ambisius, dingin, dan serius dengan segala hal.

Sementara itu...

Pepohonan rindang benar-benar berguna siang ini. Angin semilir juga tak kalah bergunanya. Dia, Intan, tengah duduk di bawah pohon trembesi di halaman sekolah. Sesekali dia memijit pergelangan kakinya yang baru saja cidera karena terjatuh saat bermain bola basket.

"Nih, kompres dulu pakek es". Ucap Mira sambil menyodorkan sebuah es kepada temannya yang meringis kesakitan.

Intan mengambil es yang diberikan Mira dan segera meletakkannya di atas pergelangan kakinya. Kakinya memerah. Kulit putihnya memperlihatkan dengan jelas betapa merahnya kakinya.

"Lo sih, kalau dikasih tau pemanasan yang bener dulu sebelum main basket ga pernah nurut. Sekarang rasain tuh kaki Lo bengkak".

"Diem Lo, Napa jadi kayak nenek-nenek Lo nya?". Ucap Intan sewot.

Mira tertawa melihat bibir manyun Intan ketika mengomel.

"Terus, Lo ntar sore ga bisa berangkat kerja dong?".

"Harus bisa lah. Kalau gue nggak kerja dan minta ijin, apa kata kak Andre? Masa sih baru dua hari masuk gue udah minta ijin aja".

"Lha ntuh kaki bengkak gitu. Emang bisa jalan Lo nya?".

FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang