eps 9

4 2 0
                                    

Seperti biasanya. Leon mengantar Intan sampai di halaman rumahnya. Leon tidak pergi dan tetap berdiri sambil melihat ke arah kamar Intan. Setelah lampu kamar Intan menyala, dia baru melangkah pulang.

"Tan.. kamu sudah pulang?". Tanya ibu Intan sambil memasuki kamar putrinya.

"Bu, kemarilah". Intan menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya duduk.

Ibu Intan duduk di samping Intan sambil mengelus rambut anaknya. "Kenapa?"

"Bu.. aku mengetahui hal besar Bu. Tapi aku tidak bisa mengatakan itu padanya"

"Apa?"

"Leon adalah putra teman ayah. Dia putra pak Hendra Setiawan". Mata Intan berbinar.

Ibu Intan tersenyum. "Ibu sudah tau sejak awal dia datang ke rumah"

"Bagaimana ibu tau?"

"Ibu bertemu dengan pak Han"

"Ibu mengenalnya?"

Ibu intan menarik napas panjang kemudian menatap foto ayah Intan yang tergantung di dinding kamar Intan. "Dia sopir pribadi keluarga Hendra Setiawan. Dai sudah bekerja dengan pak Hendra sejak pak Hendra belum menikah"

"Ibu, ceritakan semuanya. Aku ingin tahu Bu"

"Dulu, ibu mengenal ayahmu berkat pak Hendra. Dia teman kampus ibu. Dia berkata mau mengenalkan ibu dengan teman baiknya sejak SMA. Dari situ ibu mengenal ayahmu. Ibu juga mengenal pak Han, beliau sering mengantar pak Hendra pergi ke kampus". Ibu Intan tersenyum di akhir Kalimatnya.

Intan mengerjapkan matanya seakan ingin tahu semua kisahnya.

"Pak Han pernah bilang kalau dia akan terus mengabdi pada keluarga itu. Dia mau menjadi satu-satunya sopir pribadi Leon. Kemanapun Leon pergi, harus dia yang mengantar". Ibu Intan menarik napas panjang. "Namun, keinginannya sirna saat tragedi itu terjadi. Malam itu... Ayahmu pergi untuk memeriksa TKP. Ayahmu hakim yang jujur dan bertanggung jawab. Dia tidak pernah menyuruh seseorang untuk memeriksa TKP. Dia selalu pergi ke TKP sendiri. Dia menangani kasus pelecehan dan pembunuhan seorang wanita waktu itu. Sebelumnya kasus itu adalah kasus lama yang sudah ditangani pak Hendra namun belum menemukan pelakunya". Mata ibu Intan mulai tergenangi air mata.

Intan mengusap-usap punggung ibunya.

"Ayahmu pulang pukul dua dini hari. Dia pulang bersama pak Han. Pak Hendra yang mengutus pak Han untuk mengantarnya pulang. Keesokan harinya ayahmu menerima telepon kalau ada sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti di TKP. Dia berangkat pagi-pagi sekali. Pukul enam dia sudah bersiap dengan setelah jas berwarna hitam. Tak lupa, dia membawa jubah kebanggaannya. Ayahmu pergi ke TKP. Ibu tidak pernah menyadari kalau itulah hari terakhir ayahmu mencium kening ibu sebelum berangkat kerja". Setetes air mata jatuh dan membasahi pipi ibu Intan. Suaranya mulai gemetar. Dia seakan merasakan apa yang dirasakannya dua belas tahun lalu. "Ayahmu pergi sampai larut malam. Tepat jam dua belas malam, ayahmu menelpon ibu. Dia mendapat telepon dari seseorang yang dia tidak tau. Dia bilang seorang peramal mengatakan kalau bahaya mengancam orang yang paling dibutuhkan ayahmu. Ayahmu tidak percaya awalnya, tapi dia merasa gelisah. Dia tidak tau siapa yang dalam bahaya, aku atau pak Hendra. Dia pulang ke rumah. Namun, pukul tiga pagi dia baru sadar. Mungkin saja yang dimaksud adalah pak Hendra. Mungkin itu telepon ancaman dari pelaku pembunuh yang kasusnya ditangani ayahmu. Dia menyuruh pak Han menjaga ibu dan pergi ke rumah pak Hendra". Ibu menghentikan ceritanya. Dia mulai terisak. "Ayahmu terlambat. Rumah pak Hendra kebakaran. Dia menerobos masuk untuk menyelamatkan siapapun yang bisa diselamatkan. Mama Leon sudah meninggal waktu itu.  Dia hanya menemukan pak Hendra yang kakinya tertindih kayu yang terbakar. Kamu tahu, dia menyuruh ayahmu menolong Leon yang pingsan di kamarnya. Ayahmu bergegas menggendong Leon keluar dari rumah yang terbakar itu. Namun, waktunya tidak cukup untuk menyelamatkan pak Hendra. Sebelum ayahmu masuk kembali, pak Hendra sudah di angkat dengan kantong plastik yang membungkus tubuhnya. Hanya Leon yang terselamatkan".

FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang