eps 19

1 2 0
                                    

Intan mengangkat tangannya ke atas kepala untuk menghalangi sinar matahari yang menyilaukan matanya. Cuacanya sangat terik meskipun waktu masih menunjukkan pukul delapan pagi.

"Dia bersalah..". Ucap Intan menekuk ibu jarinya. "Dia tak bersalah..". Lanjut Intan kali ini sambil menekuk jari telunjuknya seakan meramal sesuatu melalui hitungan jari tangannya.

"Apa yang kau lakukan?". Tanya Fang membuat Intan menghentikan kegiatannya.

Intan memiringkan kepalanya, seakan bertanya kenapa Fang bisa tau kalau dia di sini? Di pantai ini?

Fang menarik napas dalam-dalam sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Aku banyak tau setelah datang ke rumahmu. Aku bertemu ibumu di sana, ibumu bilang kamu tidak pulang tadi malam.. ibumu khawatir, jadi dia beritahu aku kalau kamu pergi ke tempat sepesialmu". Jelas Fang tanpa menatap Intan melainkan menatap ombak yang menyeret beberapa butir pasir berwarna kecoklatan.

Intan mengangguk. "Dulu ada yang bilang padaku kalau tempat ini adalah tempat sepesial baginya..". Intan tersenyum karena ingat kejadian itu. "Sayangnya, kita sebagai manusia tidak pernah bisa menjalani takdir sesuka hati kita. Aku tidak mampu menggenggamnya di masa lalu maupun sekarang...". Lanjut Intan diakhiri dengan helaan nafas. Rasanya sesak di dada ketika tidak sengaja mengingatnya.

Fang menoleh, tanpa Intan bilang Fang sudah tau siapa yang dimaksud oleh Intan dalam percakapan ini. "Tentang mata yang tak mampu melihat apa yang terjadi di masa lampau dan masa depan. Tentang tangan yang tak mampu menggenggam dirinya di masa lampau dan masa depan. Tentang kaki yang tak mampu melangkah sesuka hati ke masa lampau dan masa depan..". Fang menundukkan kepalanya di akhir Kalimatnya sambil tersenyum.

Intan menatapnya dalam-dalam lalu tersenyum.

"Kakak memang terlihat seperti batu, dia terlihat dingin dan kaku. Namun, itu semua tergantung sudut pandangnya, kakak juga manusia, dia bisa menjadi lemah. Ibu bilang dia bunga yang baik, namun berduri. Kakak bersikap begitu hanya untuk melindungi dirinya. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain". Jelas Fang.

"Hmmm...". Intan menghela nafas. "Bertahun-tahun aku pura-pura sibuk agar tidak peduli dengan perasaanku. Bertahun-tahun itu juga aku berusaha keras untuk mengusir perasaanku. Namun, kamu tau Fang?..". Tanya Intan sambil menatap Fang dalam-dalam.

Fang memundurkan kepalanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajah polos Fang seperti anak kecil yang polos ketika ditanyai sesuatu.

"Hanya sekali saja aku bertemu dengannya dan bertatap muka..". Ucap Intan sambil mengacungkan jari telunjuknya dan mengingat kejadian di ruang interogasi. "Usahaku bertahun-tahun hancur". Lanjut Intan diiringi dengan ekspresi sedih yang tergambar jelas di wajahnya. "Aku coba menguatkan diri lagi dan menganggap semuanya sudah hilang. Aku berusaha keras seperti membangun kembali tembok yang sudah roboh menggunakan puing-puing yang tersisa... Tapi apa? Dia mengalahkan ku di sidang kemarin, aku makin tak karuan.. aku bisa saja gila". Ucap Intan kesal.

Fang memanyunkan bibirnya, ikutan kesal. Dia mengangguk-anggukan kepalanya.

"Napa sih Abang Lo pakek acara pulang kampung.. resek tau gak?". Omel Intan yang sudah sangat kesal.

"Lahhh. Napa jadi gua yang salah? Trus Napa logat kita brubah gini yak?". Tanya Fang balik.

Intan tersenyum mendengar suara Fang yang lucu ketika mengucapkan logat itu.

Fang ikutan tersenyum kemudian mendekap bahu Intan. "Lain kali kalau banyak pikiran, ga usah pakek acara ga pulang gini. Telfon aja, aku pasti dateng". Ucap Fang.

Intan menganggukkan kepalanya.

Untuk sesaat mereka menikmati keindahan di pantai. Melihat ombak yang menghantam karang, melihat beberapa burung yang sesekali terbang kemudian hinggap di ranting pohon.

FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang