"aku mencintainya.. lalu untuk apa aku membunuhnya?". Tanya Arial pada Intan.
Intan menghela napas. Dia semakin tidak paham dengan semuanya. Arial juga tidak mau menceritakannya dengan rinci.
"Aku.. memang marah padanya saat itu, tapi aku tidak membunuhnya". Lanjut Arial.
Intan menyandarkan kepalanya di kursi yang dia duduki. "Ceritakan rincinya. Atau kalau tidak coba berikan pengakuan kamu membunuhnya. Setidaknya kamu akan mendapatkan sanksi yang lebih ringan". Jelas Intan tanpa menatap wajah kliennya. Leon benar, dia membuat darah tinggi saja.
"Apa yang harus ku akui? Aku tidak membunuhnya. Tapi...". Arial menatap Intan dalam-dalam.
Intan mengerjapkan matanya kemudian membenahi posisi duduknya dan memperhatikan Arial.
"Aku akan melakukannya". Arial tersenyum di akhir Kalimatnya.
"Emm..". Intan mulai kikuk. Dia seakan melihat kalau bukan Arial yang membunuh ketika Arial memperlihatkan ketulusan di ekspresi wajahnya kali ini. "Kalau bukan kamu yang membunuhnya.. tolong berikan aku petunjuknya, aku akan bantu dengan seluruh kemampuanku"
"Tidak, kamu tidak perlu melakukannya". Arial tersenyum lagi di akhir Kalimatnya. Dia menundukkan pandangannya.
Ruangan berukuran 3×3m itu terlihat lengang. Cat dinding berwarna gelap membuat ruangan itu terasa menyeramkan. Selain itu, di ruangan itu hanya ada dua kursi dan satu meja.
Arial menghela nafas.
"Tidak.. sekarang aku yakin kamu bukan pembunuhnya". Ucap Intan dengan yakin sambil menatap Arial yang duduk di hadapannya.
Arial melihat Intan perlahan. "Tolong jangan lanjutkan kasus ini dan jadikan aku sebagai pelakunya". Pinta Arial.
"Tidak, meskipun aku hanya seorang pengacara biasa aku tidak akan pernah mau merasa bersalah seumur hidupku hanya karena membiarkan seseorang yang tidak bersalah menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara. Tidak.. tidak pernah.. dan tidak mungkin..". Bantah Intan kemudian mengemasi beberapa dokumen di hadapannya. "Kita sudahi pertemuan ini. Siapkan dirimu untuk persidangan besok dan.. selamat siang..". Intan menundukkan kepalanya di akhir Kalimatnya kemudian beranjak keluar.
"Tolong, jangan lanjutkan!!". Teriak Arial berulang kali, namun tidak digubris Intan.
'kenapa? Kenapa dia berniat melindungi pelaku sesungguhnya? Kenapa niatannya bisa berubah begitu cepat? Apa yang sebenarnya terjadi?'. Batin Intan sambil menatap dirinya sendiri di kaca yang dia pegang. Dia bertanya pada dirinya sendiri. Intan kemudian mengambil ponselnya untuk menelpon kak Fikri.
"Halo kak?". Ucap Intan setelah mendengar suara kak Fikri dari teleponnya. "Bisa bertemu lagi di tempat kejadian kak?". Tanya Intan.
"Bisa, kebetulan ini aku juga akan segera pulang kerja". Jawab kak Fikri.
Intan menatap langit dari kaca mobilnya. "Iya, aku tidak sadar kalau hari sudah gelap". Ucap Intan sambil tersenyum. Dia terlalu sibuk bekerja sampai tidak menyadari sudah malam.
Setelah berbincang, Intan memutus sambungan telepon dan segera pergi ke tempat kejadian.
Intan tiba di sana pukul delapan malam. Dia turun dari mobilnya dan berjalan hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya berhenti saat melihat wanita yang menyerangnya kemarin tengah berbincang-bincang dengan seorang pedagang nasi keliling. Mereka tampak akrab. Intan memutuskan untuk mendekat tapi tidak untuk bergabung. Dia hanya curiga dengan wanita itu. Intan tak mendengar banyak, dia hanya mendengar mereka berbincang selayaknya pembeli dan penjual yang melakukan transaksi jual beli. Intan menghampiri pedagang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future
Roman d'amourTentang mata yang tak mampu melihat apa yang terjadi di masa lampau dan masa depan. Tentang tangan yang tak mampu menggenggam dirinya di masa lampau dan masa depan. Tentang kaki yang tak mampu melangkah sesuka hati ke masa lampau dan masa depan. Dan...