C H A P T E R 5

3.4K 465 4
                                    

Jihoon menelan ludah, apa yang akan Soonyoung lakukan sekarang? Hari ini ia baru saja melihat dunia sebuah organisasi mafia. Pengkhianatan dan pemberontakan seakan hanya permainan. Lihatlah bagaimana Soonyoung dengan mudah melepaskan tembakan, merenggut nyawa seakan hal itu begitu murah. Bagaimana dengan dirinya? Apakah Soonyoung akan melakukan hal serupa?

"Siapa yang merencanakan ini?" Tanyanya datar, "Aku." Jawab Jihoon dan Yeji bersamaan, sontak membuat alis Soonyoung bertaut bingung. "Aku yang merencanakan ini" Sahut Yeji cepat dan tegas, mengabaikan Jihoon yang menatapnya nanar. "Atas keinginanku." Sahutnya kemudian. Ia tidak mau Soonyoung menganggap semua ini kesalahan Yeji. DOR! Begitu cepat dan Jihoon bahkan tak melihat Soonyoung mengangkat pistolnya. Satu peluru meluncur cepat dan sukses menembus kulit bahu Yeji. Jihoon baru sadar dengan apa yang terjadi ketika melihat Yeji yang tersungkur sembari meringis.

"Itu karena pengkhianatanmu." Ujar Soonyoung pelan, berjalan mendekati Yeji. "Sudah kukatakan padamu bahwa aku sudah menunggunya selama enam tahun dan kau dengan mudahnya ingin melepaskannya?" Ucapnya dengan nada rendah, tanda bahwa pemuda itu sedang menahan emosinya. Yeji menatap Soonyoung tajam, "akupun juga sudah mengatakan padamu, bukan seperti ini caranya! Kau hanya menekan perasaan orang yang kau—" Ucapan Yeji terhenti manakala Soonyoung telah menodongkan pistol kearahnya, namun sedetik setelahnya gadis itu menyeringai, "kenapa? Kau lupa caranya menaruh jemari di pelatuk? Atau kau kehabisan peluru?"

"Dan kau merindukan Ayah? Atau penasaran dengan wajah Ibu? Aku bisa membantumu menemui mereka." Sahut Soonyoung dengan telunjuk yang siap menarik pelatuk, sukses membuat Yeji terdiam. "Pergi ke kamarmu sekarang, aku akan segera menemuimu disana." Imbuh Soonyoung, lantas memasukkan pistolnya ke dalam jas, Yeji berdecak sebelum akhirnya menurti kata sang kakak, pergi meninggalkan kamar tersebut.

"Seingatku, aku memintamu untuk memikirkan pilihan mana yang kau pikir baik untukmu. Aku tidak menyuruhmu untuk memikirkan bagaimana cara agar kau bisa kabur dariku." Ucap Soonyoung, kini ia merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan Jihoon yang membeku. Pemuda itu menghela napasnya dalam diam, bingung harus menjawab apa sedang Soonyoung dengan sabar menunggunya. "A- aku pikir kabur adalah pilihan terbaik." Jihoon melirik Soonyoung sekilas. "Aku hanya ingin keluar, aku hanya ingin pulang. Aku tidak ingin menikah denganmu karena kau bahkan tak mencintaiku. Aku pun tak ingin dihukum karena tuduhan yang tidak kuperbuat." Cicitnya sembari menunduk dalam.

Soonyoung menghela napas dalam sebelum meraih lengan Jihoon pelan, "ikut denganku." Ucapnya. Jihoon hanya diam membisu, mengikuti setiap langkah Soonyoung sembari menatap tangan besar Soonyoung yang menangkup tangannya. Terasa hangat dan Jihoon tak mengerti mengapa ia tidak merasa takut atau khawatir, ia hanya merasakan nyamannya genggaman tangan Soonyoung. Soonyoung membawanya turn ke lantai dua, melewati jalan kecil yang menghimpit di dinding, mengelilingi kolam renang. Dari jalan tersebut, Jihoon bahkan dapat melihat balkon kamarnya.

Pemuda bermata sipit itu berhenti di depan sebuah pintu dan Jihoon sadar sepenuhnya bahwa pintu tersebut merupakan pintu yang dilewati Soonyoung pagi tadi. Di dalamnya adalah sebuah kamar bernuansa dark, minim lampu dengan lukisan menyeramkan, juga lemari kaca besar yang penuh dengan belati, pedang, pistol, serta senapan. Selain itu, ruangan ini terlihat normal dengan kasur, sofa juga televisi.

Tapi Soonyoung tidak berhenti dan terus menariknya menuju sebuah pintu dalam kamar tersebut. Mata Jihoon melebar ketika Soonyoung membuka pintu kamar tersebut, menampilkan sebuah kamar dengan warna pastel, peach dan putih ditambah rak yang penuh dengan novel.

"Ini kamarmu yang baru karena aku tahu kau tak ingin tidur di kamarmu sebelumnya. Yang diluar adalah kamarku, jadi aku sendiri yang akan mengawasi dan menjagamu." Jelas Soonyoung pelan. Jihoon baru saja akan berlari kearah rak novel sebelum matanya terpaku pada gurat kelelahan di wajah tampan Soonyoung. Jihoon tertegun, pemuda dingin itu pasti amat teramat kecewa karena pengkhianatan yang terjadi hari ini. Soonyoung hendak beranjak sebelum tangan mungil Jihoon menahannya, pemuda itu berbalik guna dapat mendengar Jihoon melirih, "maaf.'

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang