C H A P T E R 16

2.1K 307 5
                                    

Jihoon hanya dapat terdiam, membiarkan otaknya berpikir mengenai pesan menyeramkan itu. Tatapan kosongnya sama sekali tidak menggambarkan bahwa di dalam pikirannya banyak sekali pertanyaan, apakah ini pembalasan dendam dari musuh Soonyoung? "Menurutmu Soonyoung yang membunuh mereka?"

"Kau tahu, organisasi sudah dinonaktifkan sejak pagi tadi." Ujar Jisoo. "Bisa saja dia menyuruh bawahannya sejak kemarin, atau kemarinnya lagi." Jisoo menggeleng, menyalahkan pendapat pemuda mungil itu, "perintah Soonyoung itu mutlak, sekali dia mengatakan berhenti atau bahkan bubar, semua misi juga harus dihentikan saat itu juga."

Kini pemuda itu menelan salivanya, "dia memiliki banyak koneksi, bukan? Bagaimana jika dia menyewa pembu—"

"Jihoon."

"Dengarkan aku." Ucap yang lebih tua dengan lembut. Ia paham, Jihoon sedang tidak dapat berpikir jernih. Ia baru saja mengetahui orangtuanya terbunuh dengan sadis dan Jisoo perlu untuk membicarakan dengan jelas untuk meminimalisir kesalahpahaman, walaupun ia juga tidak tahu siapa pelakunya sebenarnya. Jihoon sudah menatapnya dengan mata berkaca dan Jisoo menghela napas, "aku tidak tahu."

"Yang aku tahu, bagi Soonyoung, kau adalah urusan pribadinya, ia tidak pernah membicarakan rencananya dalam rapat organisasi kecuali ketika kau menjadi tersangka. Hal yang bisa dan harus kau lakukan saat ini adalah menanyakan hal ini langsung padanya." Jelas Jisoo. Jihoon menunduk, terdiam dan Jisoo hanya dapat mengelus surai coklat pemuda bermata blue ocean itu. "Cobalah untuk berpikiran positif pada Soonyoung."

"Maafkan aku, aku tidak bisa disini lebih lama. Aku harus segera ke rumah baruku untuk menyiapkan beberapa hal." Jisoo berdiri tatkala mendapat anggukan dari Jihoon, "terlepas dari pelakunya Soonyoung atau bukan, aku sangat yakin bahwa amplop itu memang dikirimkan untukmu." Ujar Jisoo membuat Jihoon melirik amplop dengan nama penerima Soonyoung itu, mengabaikan Jisoo yang sudah pergi meninggalkannya.

"Maafkan aku." Gumamnya pelan.

Jihoon masih terjaga ketika Soonyoung pulang pada pukul satu dini hari, pemuda bermata sipit itu hanya dapat mengernyit bingung ketika lelaki mungil itu menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. "Kau belum tidur?" tanyanya. Tadinya ia datang untuk memeriksa apakah Jihoon sudah tertidur atau belum, melihatnya masih terjaga pasti sesuatu sudah terjadi.

"Kau sudah melihat berita utama hari ini?" tanya Jihoon pelan. Soonyoung mengangguk, tentu saja. Semua media bahkan karyawannya di kantor membicarakan betapa anehnya kasus tersebut. Orangtua Jihoon benar-benar hilang bak ditelan bumi, tidak ada bukti apapun termasuk CCTV. Jihoon tersenyum tipis, "kau tahu? Mereka dibunuh dengan sadis." Ucapnya dan Soonyoung kembali mengangguk. Ya, ia tahu.

Sangat tahu.

Setetes air mata turun mengaliri pipi putihnya. "Kau merasa sedih?" tanya pemuda sipit di hadapannya yang kini tertawa kecil. Jihoon mengangguk, tentu saja ia bersedih, orangtuanya sudah meninggal, tapi kenapa Soonyoung justru tertawa? Jihoon mendelik, merasa risih mendengar tawa Soonyoung. "Apa yang lucu?" tanyanya.

"Kau." Jawab Soonyoung, kini ia tersenyum tampan dan berjalan mendekat, lantas duduk di sisi ranjang, menatap Jihoon dalam. "Kenapa kau merasa sedih padahal mereka telah membuangmu?"

"Kau membunuh mereka?"

Soonyoung tak menjawab, hanya memberi usapan lembut guna dapat menghapus air mata di wajah Jihoon. Jihoon menggeleng pelan, meraih tangan besar Soonyoung, "tolong katakan bahwa kau bukan pembunuhnya." Soonyoung mengedikkan bahunya, "tidak ada yang rugi disini dengan kematian mereka. Baik aku maupun kau." Mendengar itu sontak membuat air mata Jihoon kembali turun. Tidak, ia tidak percaya.

"Kau sekarang milikku, Jihoon. Mereka sudah membuangmu, kau tak perlu memikirkan mereka lagi. Kau tak akan kesulitan lagi, karena kau menginginkan ini sejak dulu. Kau sudah lama membenci mereka, lantas kenapa kau bersedih?" tanya Soonyoung sembari menatap sendu wajah pemuda di hadapannya yang masih menatapnya dengan tatapan kosong.

Ya, itu benar. Soonyoung mengawasinya selama ini, ia tidak salah tentang Jihoon yang membenci kedua orangtuanya. Bukan sekali atau dua kali terlintas di otaknya untuk membunuh mereka, berbagai cara dan rencana sudah ia siapkan. Tapi pada akhirnya ia tidak bisa, ia tidak mampu. Air matanya mengalir setiap kali ia merancang pembunuhan orantuanya dan rencananya itu harus berakhir di tempat sampah. Harapannya lebih besar dari pada rasa bencinya, harapan bahwa orangtuanya akan berubah.

Tapi sampai akhir pun, harapan itu tak terwujud. Hari itu orangtuanya telah membuangnya, ia marah serta benci. Tak dapat membunuh mereka, memilih untuk membunuh diri sendiri. Bukankah kebencian itu masih ada? Lantas kenapa ia menangisi kematian mereka?

Jihoon meremat surai coklatnya, air matanya terus mengalir dan kepalanya benar-benar pusing. Mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri nyaris membuat kepalanya meledak. "Aku tidak tahu." Lirihnya, ia tidak dapat menemukan jawabannya. Soonyoung mendorong bahu Jihoon pelan, membaringkan pemuda yang terus mengerang kesakitan teersebut. "Jangan terlalu kau pikirkan, Jihoon. Kau harus beristirahat." Ujar Soonyoung dan Jihoon hanya dapat mengangguk lemah.

Soonyoung mengecup dahi Jihoon yang masih terbaring sebelum berangkat ke kantor, hanya itu yang bisa ia lakukan karena kondisi lelaki itu benar-benar buruk. Tatapannya kosong tanpa semangat dan Soonyoung tahu, pemuda itu sedang melanjutkan agenda berpikirnya. Ia pun berpesan pada para pelayan untuk memastikan Jihoon memakan makanannya.

Jihoon bangkit beberapa menit setelah mobil Soonyoung terdengar menjauh, pemuda itu menoleh ke arah nakas dan menemukan senampan sarapan. Jihoon menghela napas, kepalanya pusing dan perutnya lapar, tapi ia benar-benar tidak memiliki nafsu untuk makan. Lelaki mungil itu kembali menjatuhkan dirinya dan menatap sendu langit-langit.

Ia ingin pulang.

Kembali ke rumah, setidaknya untuk berkunjung meski orangtuanya sudah tak lagi disana. Tapi Soonyoung pasti tak akan mengizinkannya. Tak ada cara lain selain kabur, ia akan kembali sebelum Soonyoung pulang kerja. Jihoon lalu menoleh pada sarapan di atas nakas. Karena kondisinya tak memungkinkan untuk berpergian jauh, ia harus makan agar ia memiliki tenaga yang cukup. "Besok, aku akan pulang." Lirihnya sembari meraih mangkuk bubur yang Soonyoung siapkan.

Kau harus memiliki tenaga agar dapat menghukum – Soon

Jihoon mengernyit begitu ia menemukan selembar kertas di bawah mangkuk dengan tulisan tangan Soonyoung. Pemuda itu bergeming, dalam hati mempertanyakan surat dari Soonyoung tersebut. "Kau ingin aku menghukummu?" tidak aneh jika Soonyoung memang membunuh orangtuanya, mungkin karena mewakilkan keinginan terpendam Jihoon. Tapi entah bagaimana, Jihoon tidak percaya bahwa Soonyoung pembunuhnya.

Soonyoung sebelumnya adalah bos besar dari sebuah organisasi mafia, pekerjaan yang kotor dan barbar meski cukup rapi dalam penanganannya. Dia adalah orang yang paling berbahaya diantara orang-orang berbahaya, setidaknya di mata orang. Tapi bagi Jihoon, Soonyoung adalah orang yang akan selalu melindunginya dari segi fisik maupun perasaan, dia adalah tempat teraman.



To Be Continued

Hai

Maaf ya ane ilang, liat dulu deh siapa yang masih ingat

Ehe^^

Friday, 11 Desember 2020

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang