C H A P T E R 19

2K 292 20
                                    

"Apa?"

"Kau secara tidak langsung sedang membuat permintaan pada organisasi kami." Seungkwan mendelik, "kau bilang organisasimu sudah tidak beroperasi.". "Yah, setidaknya untuk saat ini. Mungkin akan beroperasi nanti di saat yang mendesak. Mungkin di bawah komando Kak Soonyoung atau keturunannya, di saat aku masih hidup atau setelah aku mati. Tentu saja jika kau masih hidup, kau harus bergabung dengan kami sebagai pembayaran."

"Cih, aku bisa bayar pakai uang."

"Kau yakin? Harganya sangat mahal, Seungcheol akan terkejut dan akan bertanya-tanya kau menggunakan uang tersebut untuk apa. Dan begitu ia mengetahuinya, aku tidak bisa menjamin nyawamu." Vernon tersenyum, "lagipula, kau berniat untuk mengkhianatinya dengan meminta kami untuk mencabut chips itu, kan? Dengan niat seperti itu saja kau bukan bagian dari organisasinya lagi, Seungkwan." Seungkwan hanya dapat menghela napas, berusaha untuk menahan emosinya. Kalau sampai chips itu mendeteksi sesuatu dalam emosinya, ia akan hilang untuk selamanya.

Seungkwan menatap Vernon yang meminum Cappuchinonya dengan santai, "kenapa kau mengatakan informasi sepenting itu padaku? Kehidupan organisasimu seharusnya kehidupanmu juga, kan? Karena kalian sudah seperti keluarga." Seungkwan merendahkan suara di akhir kalimat dan Vernon untuk kesekian kalinya hanya tersenyum tampan, "kau juga sudah mengatakan sesuatu yang tak bisa kau katakan pada oranglain."

"Jangan terlalu senang, aku mengatakan itu karena aku menginginkan sesuatu."

"Aku juga menginginkan sesuatu."

Merah sudah wajah Seungkwan dibuat Vernon dan pemuda itu dengan santainya mengatakan, "jangan terlalu senang, aku ingin orang sepertimu bergabung dengan organisasiku." Vernon bangkit dan menyerahkan ponsel Seungkwan, "hubungi aku kapanpun kau butuhkan."

"Tunggu sejak kapan kau—?"

"Mengomelnya di telpon saja, oke? Aku mau pulang soalnya. Oiya, kau tak perlu membayar." Ujar Vernon seraya berbalik meninggalkan Seungkwan. "Ck, aku tidak menerima traktiran dari orang yang bekerja paruh waktu!" Seru Seungkwan.

"Kau tenang saja, aku pemiliknya. O? Atau kau ingin sekalian kuantar?"

Dan Seungkwan benar-benar melemparkan Americanonya ke arah pintu masuk tepat sebelum Vernon membukanya, "Ya! Antarkan aku pulang sekalian!"

"Rumah hantu?"

"No." Jihoon menggeleng kuat.

"Rollercoaster?"

"Big no."

"Bagaimana jika Bungee Jump?"

"Tentu saja tidak, lagipula memangnya ada wahana itu disini?"

"Tidak, sih. Lalu kau ingin main apa?"

"Semuanya."

Soonyoung menghela napas lelah, "sudahlah kita pulang saja." Soonyoung baru saja akan beranjak meninggalkan Jihoon kalau saja pemuda mungil itu tidak buru-buru menarik lengan bajunya. "Masa pulang, sih? Katanya kau belum pernah kemari."

"Ya, aku belum pernah kemari, makanya aku mau mencoba semua wahana." Ujar Soonyoung, mendelik tajam ke arah Jihoon. "Kalau begitu ayo.". "Ck, kau sendiri tadi yang tidak mau." Ujarnya kesal, untung saja cinta.

Jihoon menyengir takut, "so-soalnya aku takut, Soon."

"Kan ada aku, Sayang." Soonyoung kini sudah menarik tangan Jihoon masuk kedalam wahana rumah hantu. Sedangkan pemuda itu hanya mengikuti dengan kepala yang tertunduk malu. Tak lama untuk mengitari seluruh bagian rumah hantu, hanya sekitar 15 menit dan mereka sudah sampai di pos terakhir. Soonyoung menatap Jihoon, "sudah kukatakan, itu tidak seram sama sekali."

"Kau benar, kau bahkan lebih ser— bercanda, Sayang." Jihoon tersenyum, mengoreksi ucapannya sebelum harimau itu benar-benar marah. Soonyoung tanpa banyak berbicara, kembali menarik tangan Jihoon ke wahana lain, sedang pemuda mungil itu hanya patuh mengikuti, seperti anak anjing. Mereka pergi ke wahana Rollercoaster dan Soonyoung membayar pengunjung lain agar ia dan Jihoon dapat duduk dibarisan paling depan.

Beberapa menit kemudian,

"Soonyoung, besok-besok kita jangan naik itu lagi, ya." Ujar Jihoon dalam gendongan Soonyoung, sibuk menangis karena bersyukur ia tidak terkena serangan jantung. Ia bahkan tak kuat berdiri dan tangannya masih bergetar ketakutan. Soonyoung hanya berdeham, "hm, jangan ngomong yang aneh-aneh lagi." Sahutnya dingin.

"Tapi, kan a—ku benar. Kau mena—kutkan." Soonyoung menghela napas, "ya baiklah, maafkan aku. Besok-besok ga naik itu, oke?" ujarnya dan Jihoon mengangguk kuat. Pemuda itu lalu mendudukkan Jihoon di salah satu bangku di dekat mereka, "kau ingin memakan sesuatu?"

Jihoon mengangguk, "sosis yang besar."

"Baiklah, kau tunggu disini. Jangan kemana-kemana, telpon aku kalau ada orang yang mengganggumu." Ucap Soonyoung dan Jihoon mencebik, "kau hanya membeli sosis, Soon. Kau tidak akan pulang meninggalkanku, kan?" tanya Jihoon, sontak membuat Soonyoung menggeleng dan itu membuat Jihoon gemas, "jangan berlebihan dan cepat beri aku makan!" titahnya. Tanpa babibu lagi, pemuda bersurai merah pergi ke stan sosis bakar.

Setelah lama menunggu antrian, ia pun kembali ke tempat dimana ia meninggalkan Jihoon, namun lelaki itu tidak disana. Ia menoleh kesana kemari, barangkali pemuda itu membeli sesuatu di stan lain. Nihil, tidak ada Jihoon dan ia kini menjadi panik, ia bahkan sampai menjatuhkan sosisnya dan meraih ponselnya.

Matanya melotot ketika seseorang mengirimkannya foto Jihoon yang sedang duduk santai menunggunya. Kau meninggalkannya di dekat gerbang 4, kau lupa? Cepatlah kemari sebelum aku mengambilnya darimu. Tanpa berpikir lagi, ia langsung melesat ke arah gerbang 4, tiba disana secepat yang ia bisa dan menghampiri Jihoon. Lelaki itu menatap Soonyoung bingung, "kau baik-baik saja?"

Soonyoung langsung menyambar Jihoon ke dalam pelukannya, "kau hampir membuatku mati." Lirihnya, sedang Jihoon hanya mengerjap bingung, "apa terjadi sesuatu? Sosisku mana?" pemuda di hadapannya tidak membalas, ia sedang sibuk menetralkan napas pasca berlari ratusan meter. Beberapa menit kemudian, Soonyoung melepaskan pelukannya dan menangkup wajah bulat Jihoon, "maafkan aku, tapi kita harus pulang sekarang. Tidak apa, ya?"

"Te-tentu saja." Bagaimana mungkin Jihoon melawan di saat wajah pemuda itu begitu pucat dan khawatir. Demi apapun, ia belum pernah melihat wajah Soonyoung yang seperti itu,. Astaga, melihatnya saja sudah membuat Jihoon ikutan takut dan khawatir. Apa sesuatu telah mengganggu Soonyoung? Soonyoung tersenyum tipis dan menarik Jihoon keluar dari taman bermain. Tanpa sadar meninggalkan Seungcheol yang tersenyum sembari menyantap sosisnya, "wah, ekspresi yang menarik."

Jihoon manatap Soonyoung bingung, "kenapa aku dibawa kesini?" tanyanya, lantas kembali menoleh pada pintu besar di depannya. "Seharusnya ini adalah tempat yang paling aman." Ruang bawah tanah yang hanya dirinya, Jisoo, dan Yeji yang memiliki kuncinya. Soonyoung lalu menoleh pada Jihoon, menangkup wajahnya dan menatapnya dengan tatapan sendu, "maafkan aku, tapi kurasa aku harus kembali mengurungmu."

Pemuda bermata sipit itu membuka pintu besar tersebut dan Jihoon menghela napasnya gelisah, "aku paham kondisimu, aku tidak masalah. Tapi, kau akan sering kemari, kan?". "Seungcheol mengawasiku, tapi aku akan menemuimu sebisaku. Yeji yang akan mengantarkan keperluanmu dan aku akan menyelesaikan semua ini. Kau tenang saja." Jihoon mengangguk lirih, "baiklah. Hati-hati, aku akan menunggumu, Soon"

"Aku mencintaimu."

To Be Continued

Hai, aku mau minta kritik dan saran dari kalian dong. terserah aja dari segi apa, tokoh kah, atau plotnya, atau tata bahasanya

karena jujur aja, aku ngetiknya juga rada aneh gitu

Tolong ya, makasih banget^^

Monday, 14 December 2020

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang