C H A P T E R 14

2.6K 335 9
                                    

Wajah mereka sama sekali tidak terlihat terkejut dan jujur saja, itu membuat Jihoon sedikit bingung. Mereka berempat menatap Jihoon sekilas dan tersenyum hangat. Jisoo menatap Soonyoung, "jadi kita harus segera menyiapkan aset yang diperlukan untuk ini?" tanyanya pada Soonyoung dan dijawab anggukan oleh pemuda bermata sipit itu, "rumah, uang, dan pekerjaan, kita sudah menyiapkan semua itu sejak mereka semua menjadi anggota kita. Jadi kalian tinggal memberikan sertifikatnya saja. Mereka punya bakat yang cocok dengan pekerjaan yang kita siapkan." Soonyoung kembali menyuapkan sesuap salad ke mulut Jihoon dan langsung diterima oleh pemuda yang masih kebingungan itu.

Jisoo menyilangkan kakinya dan menyamankan posisi duduknya, "kalau begitu kita pun harus pergi dari rumah ini." Jihoon masih mengerjap bingung, apa yang sebenarnya terjadi? Mereka benar-benar menerimanya? Apa karena ini keputusan mutlak dari Soonyoung? "Kak, kau bisa tinggal disini dan bisa bekerja menjadi sekretaris atau bahkan direktur." Ujar Soonyoung dan dibalas gelengan oleh Jisoo, "aku sudah membeli rumah untukku dan Jeonghan, kami akan tinggal disana dan aku akan membuka restoran kecil-kecilan. Wah, Soonyoung, kau tahu? Jujur saja, aku sudah punya rencana untuk hal-hal seperti ini."

Ah, Jihoon paham sekarang dan kini ia membuka mulutnya lagi, bersiap menerima sesuap salad dari pemuda di sampingnya. Tapi pemuda itu entah sibuk memikirkan apa sehingga lupa untuk menyuapkan salad di tangannya. Entah dapat keberanian dari mana, pemuda mungil itu memukul lengan Soonyoung dan pemuda itu tersadar dari lamunannya. Ia menatap Jihoon yang kini mempoutkan bibirnya kesal sebelum kembali membuka mulutnya lebar, dengan telaten, Soonyoung kembali menyuapi Jihoon yang kini tersenyum senang.

Yah, keempat orang itu sarapan disini bukan sebagai bawahan Soonyoung lagi, tapi sebagai keluarga. Dilihat dari cara Soonyoung yang memanggil Jisoo dengan embel-embel 'kak' dan bagaimana Jisoo berbicara informal pada Soonyoung. "Lalu bagaimana denganmu, Vernon? Aku tak yakin kembali ke New York adalah keputusan yang baik." Ucap Soonyoung dan Jihoon menatap bingung ke arah pemuda itu. Dalam hati bertanya, apa pemuda sipit itu sedang membujuk mereka untuk tetap disini? Untuk apa? Bukankah sekarang ada dirinya? Ia tidak membutuhkan yang lain.

"Kau benar, entahlah. Kupikir ada bagusnya aku tidak kembali ke New York, tapi aku tidak berniat tinggal di rumah ini. Mungkin aku akan segera membeli apartment." Ucapnya sembari menatap Soonyoung yang kini melemparkan tatapan bingung ke arahnya, "kau tidak menerima aset yang sudah organisasi siapkan?" Vernon menggeleng sembari tersenyum tipis dan Soonyoung menghela napas. "Kalau begitu, pastikan bawahan kalian menerimanya. Aku tidak suka penolakan seperti ini."

Soonyoung mengalihkan pandangannya pada mangkuk di tangannya, sudah kosong dan ia pun menatap Jihoon yang melemparkan tatapan polos ke arahnya. Ah, dia bahkan tak sadar bahwa sarapan Jihoon sudah habis dan kini ia harus kembali mengantarkan pemuda manis itu kembali ke kamar untuk beristirahat. "Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kamar. Semuanya bisa pergi hari ini juga." Ucap Soonyoung final dan ia mengangkat Jihoon ala bridal style menuju kamar Jihoon.

Meninggalkan keempat orang yang sibuk dengan pikirannya masing-masing di meja makan. Tak lama berselang setelah kepergian Soonyoung, Jisoo pun bangkit, "aku akan menyiapkan keperluan pribadiku juga Jeonghan dan berangkat siang ini." Ia pun menepuk bahu Hyunjin dan Vernon, "sampai betemu lagi." Pemuda pemilik senyum madu itu tersenyum singkat sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang makan, menuju sebuah ruangan di lantai 2. Ruangan yang Soonyoung siapkan khusus untuk Jisoo dan tidak ada yang boleh masuk selain Jisoo dan Jun.

Jisoo memasuki ruangan tersebut tanpa membuat suara, ia mendekat dan menarik kursi guna dapat duduk di samping ranjang, matanya tak lepas dari pahatan indah pada wajah orang tersebut, kesedihan yang menghantuinya sejak 6 tahun yang lalu semakin memporak porandakan hatinya ketika melihat peralatan medis di sekitar tubuh seseorang yang amat ia cintai. Haruskah ia menangis? Tidak, ia tidak ingin menangis lagi. Ia sudah cukup lelah karena menangis hanya menguras tenaga dan menyiksa batinnya, menangis tak dapat mengubah apapun.

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang