Hai, aku cuma mau minta maaf karena aku gabisa balas komenan kalian. Aku bener-bener fokus untuk lanjutin ini cerita seperti yang kalian inginkan.
Jadi, makasih buat kalian yang sudah nungguin work ini^^
○
Jihoon membuka matanya perlahan ketika samar-samar ia mendengar alarmnya berdering. Dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul, ia bangkit dan mematikan alarmnya. Jam 9, Soonyoung pasti sudah berangkat bekerja. Pemuda itu menoleh ke arah nakas dan tak menemukan sebuah nampan disana. Mungkin Soonyoung buru-buru atau ia memang ingin Jihoon makan sendiri di ruang makan. Jihoon pun bangkit dan segera beranjak menuju ruang makan. Hari ini ia akan diam-diam keluar, tidak lucu jika tiba-tiba ia pingsan di tengah jalan.
"Oh, Jihoon. Sudah baikan?"
Pemuda itu menoleh dan menemukan sosok Yeji yang sedang makan dengan tenang, sendirian. "Kau baru makan?" tanya Jihoon dan gadis itu mengangguk, "aku kesiangan. Sejak organisasi berhenti, aku jadi banyak waktu untuk tidur dan bermalas-malasan." Ujarnya seraya tersenyum. Jihoon pun bergabung dengannya dan memakan sarapannya.
"Jadi kau tidak ada kegiatan hari ini?" tanya Jihoon sembari mengunyah roti selai cokelatnya. Akan sulit baginya untuk pergi jika Yeji berada di rumah. hmm, mungkin aku akan berbelanja. "Kau ingin ikut? Di rumah akan sangat membosankan." Jawabnya dan Jihoon menatapnya bingung, "memangnya aku boleh keluar?"
Kini giliran Yeji yang menatapnya dengan tatapan heran, "kenapa tidak boleh? Kau juga tidak akan kabur seperti yang kemarin-kemarin, kan?" Jihoon mengangguk kikuk. "Tapi tentu saja kau harus izin pada Kak Soonyoung terlebih dahulu." Imbuh Yeji dan Jihoon hanya mengangguk paham. Yang pasti, Soonyoung tidak akan mengizinkannya, percuma saja.
"Jadi kau akan ikut atau tidak?"
Jihoon menggeleng, "aku akan di rumah saja." Ucapnya berbohong. Yeji mengangguk-angguk, lantas bangkit dan hendak beranjak meninggalkan meja makan sebelum ia memberikan sebuah ponsel pada Jihoon, "Kak Soonyoung menitipkan ini padaku. Kalau ada sesautu yang kau butuhkan, kau bisa menghubungi siapapun disini." Jihoon mengerjap beberapa kali dan menerima ponsel tersebut, "terima kasih."
Yeji hanya mengangguk, "baiklah, kalau begitu aku duluan." Ujarnya seraya meninggalkan Jihoon sendirian di meja makan.
○
Jihoon hanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan datar, ia sama sekali tidak mengerti kenapa ia merindukan orangtuanya padahal ia begitu membenci mereka. Kenapa ia begitu ingin kembali ke rumah padahal ia sudah memiliki rumah disini. Lelaki itu menggeleng perlahan, ada baiknya jika ia tidak terlalu banyak berpikir untuk saat ini. Ia pun meraih ponselnya dan pergi keluar dari kamar Soonyoung. Disana sudah ada mobil yang terparkir, seakan memang menunggunya. Ia pun masuk ke dalam mobil dan memberikan alamat pada Sang Supir.
Mobil pun melesat menuju rumah Jihoon, memilih jalan lebih cepat guna dapat mengantar tuan muda ke tempat tujuan. Sampai akhirnya tiba dalam kurun waktu 20 menit. Jihoon berpesan agar Sang Supir menunggunya karena ia tidak boleh terlalu lama di sana.
Ia pun turun dari mobil dan memasuki rumahnya. Rumahnya tidak terkunci, mungkin polisi baru saja memeriksa atau kerabatnya sudah datang untuk mengambil barang-barang penting. Jihoon tidak begitu peduli, hanya berdiri di ambang pintu dengan mata yang menyapu seluruh bagian ruang tamu dan ia rasa jantungnya berdegup lebih kencang. Benar-benar sunyi dan sepi. Jihoon sering pulang dengan keadaan rumah seperti ini, tapi tentu saja kali ini dengan perasaan yang berbeda.
Setidaknya dulu ia punya pikiran bahwa mereka akan kembali dan ia akan masuk dengan santai tanpa memikirkan apapun. Namun sekarang mereka tidak akan pernah pulang, dan kini semua memori berputar di depan matanya seperti film.
Sesekali ia akan pulang dengan pemandangan Sang Ibu yang sedang memasak untuk makan malam di dapur. Kalau telat beberapa jam, akan disertai pemandangan Sang Ayah yang memainkan ponsel sembari menunggu makan malam. Dan kalau keadaannya lebih baik atau dirinya sedang beruntung, mereka akan menyambutnya dengan senyuman dan mereka bertiga akan makan malam bersama.
Kini tatapan pemuda itu menyendu, melangkahkan kakinya hanya agar dapat duduk di sofa yang tak jauh darinya. Kini dadanya sesak, kenapa kenangan menyenangkan baru terlintas di pikirannya di situasi seperti ini? Kenapa ia tidak mengingatnya lebih awal? Dengan begitu tidak akan ada kebencian dan salah paham. Jihoon memukul kepalanya lebih keras ketika air matanya mengalir begitu saja. Dalam hati mengutuk dirinya yang begitu bodoh karena telah melupakan kenangan yang begitu berharga.
Kemudian ia menoleh pada kamar orangtuanya dengan airmata yang masih mengalir. Pintu putih itu, sejak dahulu terlihat seperti gerbang besar baginya, seperti batasan untuknya. Ia tidak pernah berani masuk karena ibunya melarang ia mendekat, beberapa kali masuk hanya sekedar untuk memenuhi perintah ibunya yang memintanya untuk mengambilkan sesuatu. Tapi dengan keinginan dan rasa ingin tahu, ia tidak pernah berani.
Jihoon mengusap air matanya kasar dan berjalan ke arah pintu tersebut, memutar knopnya dengan jantung yang berdegup semakin kencang. Aroma parfum Sang Ibu pun tercium, tanpa sosok. Aroma itu melingkupinya dan Jihoon mendadak merasa seperti dalam pelukan ibunya. Aroma yang menenangkan dan hangat, tak butuh lama untuk membuat air matanya kembali mengalir. Kakinya lemas dan ia terduduk lesu dengan tangisan yang luar biasa pilu. Memori itu kembali menaunginya, membawanya kepada sosok hangat ibu yang ia lupakan. Pelukan hangat di saat ia dalam masalah atau di saat terbahagianya.
Pemuda itu meraung, dadanya seperti di remas. Begitu sakit dan sesak, hanya karena ia benar-benar merindukan sosok tersebut.
"Maafkan aku." Lirihnya pelan. Dia telah melukai hati orangtuanya dengan sikapnya. Harusnya ia ingat bahwa Sang Ibu memang tidak dapat mengungkapkan perasaannya melalui lisan, dan ia justru tak mengerti dengan perbuatan Sang Ibu yang memiliki makna tersirat. Ia terlalu bodoh, benar-benar bodoh karena menyimpulkan semuanya tanpa berpikir.
"Kumohon maafkan aku."
Dirinya telah durhaka, itulah mengapa hal-hal negatif seakan selalu menyertainya. Dirinya amat berdosa dan mungkin itu alasan Tuhan mengambil mereka dari sisinya. Dia tidak pernah melihat ke belakang sehingga tak tahu berapa orang yang mendukungnya. Jihoon masih terisak, "aku bersalah, maafkan aku. Kumohon Tuhan, kembalikan mereka padaku."
"Aku akan menjadi anak yang baik, aku janji. Jadi kumohon kembalilah." Jihoon jatuh meringkuk seperti ebi, memeluk kakinya. "Aku merindukan kalian sekarang. Kenapa kalian pergi begitu lama? Aku mohon, pulanglah, aku harus meminta maaf." Pemuda itu kembali terisak dan meraung. Orangtuanya pergi menemui Jinho, tanpa berpamitan padanya. Sial, ia terlalu banyak menangis sejak kemarin dan kepalanya sakit. Ia mengantuk berat, masih terisak sebelum akhirnya memejamkan mata.
Aku ingin menyusul kalian.
○
Soonyoung mengetuk setir kemudi dengan gelisah. Sudah 2 jam sejak Jihoon memasuki rumahnya dan ia tidak mendengar apapun setelah tangisannya tadi. Apa sesuatu terjadi padanya? Atau lelaki itu sedang tertidur karena kelelahan? Soonyoung pun kembali meraih ponselnya dan menelpon Jihoon, namun untuk kesekian kalinya pemuda itu tidak menjawab.
"Ck, kuberikan ponsel itu padamu agar aku bisa memastikan keadaanmu." Monolognya.
Ya, pemuda bersurai merah darah itu tidak pergi bekerja melainkan mengikuti Jihoon pergi. Ia bisa memahami jika Jihoon ingin pergi ke rumahnya, ia pun tak masalah jika ia tidak izin. Hanya saja untuk situasi seperti ini, cukup berbahaya membiarkan Jihoon pergi ke kota sendirian. Apalagi statusnya saat ini masih orang hilang, akan sulit baginya untuk mencari pemuda itu jika ia diculik.
Soonyoung menghela napas kasar, haruskah ia menyusul? Ia rasa ia harus segera menyusul Jihoon dan membawanya pergi ketika ia menemukan sesosok yang ia kenal. Teman sekelasnya ketika ia masih SHS dan tanpa berpikir panjang ia langsung masuk ke rumah Jihoon. Karena semua akan berakhir ketika Jihoon ditemukan oleh Jeon Wonwoo.
To Be Continued
○
Hai,
Cuman mau bilang, makasih buat kalian^^Saturday, 12 December 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]
Acak[COMPLETE] Lee Jihoon merasa ia tak pantas dicintai, ia pikir ia terlalu buruk sehingga percaya tak seorangpun yang mencintainya. Bagaimana jika ia salah? Ternyata ada seseorang yang memperhatikan ia sejak lama dan mengetahui baik buruknya. Pangeran...