C H A P T E R 3

4.2K 548 34
                                    

Perlahan pemuda bersurai coklat itu bangkit dari kasur untuk berkeliling kamar setelah mengambil sebuah apel dan memakannya. Kamar itu berukuran tujuh kali delapan meter, luas namun terasa mati. Tidak aada lukisan, dinding berwarna abu - abu; senada dengan warna selimut dan bantal, serta kapret coklat yg menutupi seluruh permukaan lantai sehingga lembut di kaki. Terkesan suram meskipun mewah. Entah apa yang dipikirkan Soonyoung dengan memberinya fasilitas seperti televisi, sofa, serta pendingin ruangan. Bukankah seharusnya ia berada di penjara yang gelap karena telah membunuh ayahnya?

Jihoon mengedikkan bahu, lantas berjalan menuju pintu. Terkunci dan ia sudah menduganya. Soonyoung pasti sangat berhati-hati, tidak mungkin ceroboh seperti yang Jihoon harapkan. Jihoon lalu berjalan menuju kamar mandi objek kedua pelarian mainstream. Luas namun tak ada jendela, hanya ventilasi yang hanya dapat dibuka dengan alat bantu, seperti obeng. Beranjak dari kamar mandi dan menuju balkon. Balkon kamarnya adalah satu-satunya balkon yang menghadap ke kolam renang indoor dengan lubang besar di atap sehingga air hujan langsung jatuh ke kolam. Jihoon mendesah kecewa, meskipun bisa melihat bintang-bintang di malam hari, ia tidak bisa melihat dunia luar. Dimanakah rumah ini berada?

CKLEK!

"Kau sudah makan, Jihoon?"

Jihoon berbalik dan menemukan seseorang yang ia kenal sebagai Yeji, adik Soonyoung. Ia dekat dengan Jihoon, meskipun gadis itu merupakan adik kelasnya sewaktu mereka SHS. Jihoon menggeleng, "aku tidak lapar, lagipula siapa yang bernafsu maakan saat dihadapkan dengan dua pilihan yang tidak ia inginkan? Ah, kurasa mati kelaparan lebih terdengar lucu daripada dieksekusi atas tuduhan yang tidak keperbuat, hahaha." Jihoon tertawa hambar. Ia duduk di atas sofa seraya menghidupkan televisi, "ada perlu apa?" Tanyanya pada Yeji yang sudah duduk di sampingnya. Yeji tersenyum, "aku yang akan mengurusmu disini. Kak Soonyoung yang memintaku." Jihoon berdeham pelan. Mata Jihoon melirik sudut-sudut di kamar, mengernyit kemudian tatkala tak ia temukan CCTV.

"Tak ada CCTV disini." Ujar Yeji membuat Jihoon menatapnya heran. "Kami tidak perlu CCTV, kami hanya perlu memggunakan insting untuk merasakan sekitar dan mengingatnya. Bos kami yang menerapkan sistem tersebut, agar tidak bisa diretas katanya." Jelasnya panjang. Jihoon hanya mengangguk acuh. "Meskipun ayah adalah bos yang tegas dan tanpa ampun, ayah tetap seorang ayah yang baik bagi kami. Aku sangat terkejut saat mendengar berita kematiannya, terlebih dibunuh o..."

"Bisakah kau tidak membicarakan hal yang membuatku semakin tertekan?" Potong Jihoon ketus sebelum menghela napas lelah, "baiklah, itu salahku. Jadi berhenti mengungkitnya." Imbuhnya. "Jadi sekarang kau mengakuinya? Bahwa kau memang membunuhnya?" Tanya Yeji sontak membuat Jihoon menoleh ke arahnya sembari berdecak, "lalu apa kau akan percaya jika aku mengatakan bahwa aku tidak membunuhnya? Lagipula, siapa lagi yang bisa disalahkan selain aku? Semua orang terus mengatakan bahwa aku salah. Aku bisa apa, Yeji? Inikah yang kalian sebut sebagai insting? Huh?" Pertanyaan yang terdengar frustasi itu seakan menyuruh Yeji diam. Ia tahu semua ini terasa salah, insting yang ayahnya latih mengatakan bahwa Jihoon tidak bersalah, tapi apa buktinya?

"Menikah saja dengan Kak Soonyoung. Kau salah atau tidak, menikah dengannya akan membuatmu terbebas dari pengeksekusian." Yeji sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Jihoon menyeringai, "kau pikir itu perkara mudah? Masalahnya bukan pengeksekusian. Banyak alasan mengapa aku menolak pernikahan ini, Yeji. Kau tahu, ini tidak masuk akal. Pertama, aku tidak bersalah. Kedua, pernikahan itu tradisi sakral, harus dilandasi dengan cinta. Pertanyaannya, apa kita saling mencintai?" Pemuda itu menggeleng pelan, "tidak."

Yeji menatap manik Jihoon dalam dan ia dapat melihatnya, sorot kesedihan di mata sendunya. "Aku tahu kau tertekan atas semua ini. Aku ingin membantumu, tapi aku tak tahu apa yang bisa kulakukan untukmu." Ucapnya pelan. Mendengar itu sontak membuat mata Jihoon berbinar. Meraih jemari Yeji sembari menatap penuh harap, "kau hanya perlu membantuku pergi dari sini." Yeji menghela napas, seperti yang ia duga. "Maaf, Jihoon. Kau tahu, Kak Soon..."

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang