C H A P T E R 25

2.2K 282 16
                                    

"Sial, pantas saja semuanya terasa aneh."

Jihoon menunduk, lalu kembali menatap kertas lusuh di tangannya. Menurut arahan yang diberikan Seungkwan, seharusnya ia sudah berada di atas ruangan Seungcheol dan suara yang barusan ia dengar adalah bukti bahwa ia tidak salah ambil jalur. Syukurlah jendela ventilasi tidak memerlukan alat seperti obeng atau semacamnya, sehingga tidak menimbulkan suara yang nyaring ketika membukanya.

Napas Jihoon tercekat ketika ia mendapati kedua bersaudara itu sedang bertarung dengan tangan kosong. Soonyoung masuk klub Taekwondo sewaktu SHS, seharusnya ia bisa mengalahkan Seungcheol dengan mudah. Tapi sayang, ternyata lelaki itu memiliki stamina dan kekuatan yang lebih besar sehingga tanpa teknik pun dia bisa mendominasi pertarungan. Kini keduanya terbaring dalam jarak beberapa meter.

Jihoon memegang pistol di tangannya erat sambil memohon pada Tuhan untuk menyelamatkan Soonyoung. Seungcheol sudah berdiri dengan tegak sedangkan pemuda yang kini bersurai hitam itu masih terbaring menetralkan napas sambil sesekali batuk dan mengeluarkan darah. Seungcheol berjalan dengan santai seakan mengejek Soonyoung yang menatapnya sayu dan Jihoon rasa mata semi sipitnya melebar sempurna ketika melihat Seungcheol mengeluarkan sebuah pisau.

Ia mengarahkan pistolnya ke arah kepala Seungcheol, namun tangannya tak bisa berhenti bergetar dan matanya memburam oleh air mata. Sedang Sang Target kini sudah menarik rambut Soonyoung, "kau mempermainkanku, bocah. Kau menggunakan rompi anti-peluru dan mengelabuhiku, mengganti warna rambutmu agar aku benar-benar kehilangan jejakmu." Soonyoung tak memberontak begitu sisi pisau membelai tipis kulit lehernya. Ia masih punya rencana meskipun ia mati disini.

"Aku berniat menghabisimu dengan pistol, tapi biarkan aku memastikan kau tidak menggunakan rompi sialan itu."

Benar saja apa yang Jihoon pikirkan, Soonyoung sama sekali tidak menggunakan rompi itu, ia membiarkan pisau itu dengan mudah menusuk perutnya dan secara reflek Jihoon menarik pelatuk. Meskipun ia sudah menargetkannya tepat di kepala Seungcheol, sayang sekali karena harus mengenai punggungnya. Jihoon melompat turun dan akibat luka di betisnya, ia tidak dapat mendarat dengan mulus dan kembali mencederai pergelangan kakinya.

Tapi pemuda itu tak ingin berhenti berlari hanya sekedar untuk meringis, ia tidak punya banyak waktu. Kalau bisa, ia akan membawa Soonyoung ke rumah sakit meski dengan luka di kakinya. Jihoon duduk dan menendang tubuh Seungcheol menjauh selagi pemuda itu tidak bisa melakukan apapun. Ia lalu bangkit dan menarik tubuh besar Soonyoung yang kini meringis kesakitan, "apa yang kau lakukan?"

Pemuda itu menepis pelan tangan Jihoon dan kembali menetralkan napas. Namun Jihoon tak menyerah dan kembali menarik tangan Soonyoung, "aku harus membawamu ke rumah sakit. Kau tidak boleh mati disini." Sahut pemuda berumur 22 tahun itu dengan air mata yang memenuhi semua bagian wajahnya. Sekali lagi Soonyoung menarik tangannya dari genggaman Jihoon, lelaki itu berkeringat dingin dan tangannya menjadi licin. "Urusanku belum selesai."

"Tapi aku tidak bisa membiarkanmu mati, Soon! Aku tidak bisa pergi untuk menyelamatkan diriku sendiri." Jihoon jatuh terduduk. Soonyoung menghela napas dalam sebelum menatap Jihoon marah, "Kau hanya menyusahkanku, bodoh! Kau pikir aku memikirkan semua ini selama berapa malam, huh? Pergilah dan jangan menghalangiku untuk membunuh bajingan itu, orang yang sudah membunuh ibuku bahkan ketika aku kecil! Meskipun kau menangis, kau tidak bisa menghentikanku!"

"Aku—aku juga kehilangan kedua orangtuaku. Sudah kukatakan aku tidak punya siapapun selain kau, Soon." Air mata benar-benar tidak bisa berhenti. Sebaiknya Soonyoung tidak menyebutkan nama Wonwoo atau yang lain, karena mereka tidak seberharga dirinya. Soonyoung berdecak menahan sakit, "jangan egois, kau pasti menemukannya."

Jihoon menggeleng cepat, "aku tak mau menemukan yang lain. Kumohon kabulkan keegoisanku ini, setidaknya mati bersamamu, aku tidak masalah." Soonyoung terkesiap, pemuda itu mengerahkan sisa kekuatannya untuk memeluk sosok yang amat teramat ia cintai itu. Salah satu tangannya merogoh saku, bersiap menekan tombol yang akan meledakkan bangunan ini.

"Bagus, dengan begini aku bisa membunuh kalian ber—"

DOR!

Satu tembakan menebus kening Seungcheol sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Seungkwan yang terbaring di ambang pintu menghela napas lega setelah ia berhasil melancarkan tembakan dari senapannya. Akhirnya ia bisa menyelesaikan tugasnya sekaligus keinginan terbesarnya. Seungkwan tersenyum lebar ke arah pemuda yang terduduk tak jauh darinya, Leonardo ikut tersenyum. Ia bangkit dan menghampiri Seungkwan, menggendong pemuda itu setelah sebelumnya menelepon Jisoo dan yang lainnya untuk membantu Soonyoung dan Jihoon.

Begitu Jisoo tiba, ia menemukan Soonyoung yang terbaring lemah dan Jihoon yang tengah berjalan sempoyongan ke arah jasad Seungcheol. Tanpa babibu lagi, ia langsung memerintahkan bawahannya untuk membawa Soonyoung ke rumah sakit. Pemuda pemilik senyum madu itu kini menatap Jihoon yang menggenggam erat pistol milik Seungkwan.

"Ja—"

DOR!

"Kau penyebab semua ini."

DOR!

"Kau membuat Soonyoung dan yang lainnya menderita, kau merenggut semua orang yang berharga bagi kami." Jihoon kembali menembak tubuh Seungcheol hingga peluru terakhir. Jisoo lalu buru-buru mendekat dan menenangkan Jihoon dan lelaki itu tidak menolak dan mengikuti Jisoo meninggalkan markas Seungcheol, "maafkan aku, Seungkwan memintaku untuk memastikan dia tidak bernapas."

"Bukan masalah besar, kau pasti kelelahan. Terlebih kau terluka, jadi ayo kita ke rumah sakit." Ujar Jisoo dan Jihoon hanya dapat mengangguk setuju.

"Perhatikan baik-baik, disini ada 167 jenis tumbuhan dan materi hewani, juga ada 43 kemungkinan ramuan yang dapat dibuat. Jadi katakan padaku, bahan apa saja yang kau gunakan dalam pembuatan racun yang diminum Kak Jeonghan." Ujar Jun dan Minghao hanya menunduk, "tidak tahu dan aku tidak peduli."

"Apa kau bilang?" Jun menarik Minghao dan berusaha untuk menjitaknya, "cepat beritahu aku agar aku bisa menemukan obat yang sesuai!" wajah Minghao memerah, "a-aku mengerti. Aku akan berusaha mengingat dari baunya." Yah, karena ia memiliki penciuman yang tajam, ia bahkan bisa merasakan aroma tubuh seorang Wen Junhui. Memalukan memang dan Minghao rasa ia menjadi gila karena menyukai hal itu.

Jun melepaskan Minghao dan membiarkan pemuda itu bekerja. "Lagipula kenapa aku harus membantu kalian? Aku kan tidak bekerja disini."

"Yah, kau tidak bekerja untuk organisasi ini, aku juga. Tapi kau seharusnya mau bekerja denganku." Ujar Jun sembari tersenyum, Minghao melirik sekilas sebelum kembali fokus mencari bahan racun yang ia buat, "kenapa?"

"Karena laboratoriummu sekarang adalah milikku dan karena aku seorang dokter, aku bisa memfasilitasi penelitianmu, termasuk surat izinnya." Jun menjelaskan dengan semangat tapi Minghao tampak tak peduli dan hanya mengangguk acuh, sehingga Jun akhirnya memutuskan untuk tidak ambil pusing, "baiklah, cari dengan teliti, kau juga harus membantuku untuk menemukan obatnya."

Minghao sekali lagi mengangguk, matanya terlihat fokus kepada bahan-bahan di hadapannya. Jun pun mendekat dan menepuk kepala Minghao pelan, lantas berjalan keluar karena ia memiliki janji dengan Seungkwan. Minghao terjatuh pelan sedetik setelah pintu tertutup. Pemuda itu kini menutup wajahnya, "astaga, jantungku."

To Be Continued

Eyo, ehe
Akhirnya konfliknya udah selese
Jadi, apa nih yang masih bingung?

Ini tinggal satu chapt lagi sampai ending, jadi klo ad yg kurang mungkin bisa aku jelasin dichapt besok.

Pokoknya makasih buat kalian^^

Monday, 4 January 2021

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang