C H A P T E R 15

2.6K 326 11
                                    

SURPRISE !!!

Iya, aku cepetin update jadi aku harap kalian suka

"Soonyoung, aku ingin jalan-jalan keluar."

Pemuda yang sedang berdiri di depan cermin itu mengalihkan pandangannya ketika mendengar suara dari Si Mungil yang duduk di atas kasur sambil menatap ke arahnya. Pemuda itu lantas menggeleng dan kembali mematut dirinya di cermin, sontak membuat Jihoon memberengut sedih. Ia tahu akan seperti ini akhirnya, pemuda itu tidak akan mengizinkan dirinya pergi meski ia rasa tubuhnya sudah lebih baik. Setelah dirasa siap, Soonyoung mengambil tasnya dan mendekat ke arah Jihoon, "tidak, kecuali ketika weekend. Aku akan menemanimu."

Pemuda bersurai merah darah itu lalu mengecup puncak kepala Jihoon yang kini tersenyum senang, dengan cepat memeluk leher Soonyoung dan mengecup pipi pemuda yang lebih tua lima bulan darinya itu, "terima kasih." Ujarnya. Ia senang, tentu saja. Pemuda itu memilih waktu akhir pekannya karena di hari-hari seperti ini Soonyoung akan sibuk. Soonyoung tersenyum tipis dan membalas mengecup pipi Jihoon, sontak membuat wajah pemuda itu merona samar.

"Lebih banyak beristirahat agar kau bisa bersenang-senang nanti." Ucap Soonyoung dan Jihoon mengangguk cepat. Melihat itu, Soonyoung pun mengusak surai coklat Jihoon dan beranjak menuju pintu, "aku pergi, jangan telat makan." Ujarnya sebelum menutup pintu, meninggalkan Jihoon yang masih terdiam di posisinya. Kalau dipikir-pikir lagi, ia rasa hidupnya lebih baik saat ini. Kalau saja Soonyoung menyadarkan dirinya lebih cepat, maka ia akan segera memutuskan untuk menikah dengan pemuda bermata sipit itu.

Jika begitu pun hubungannya dengan orangtuanya pun tidak akan memburuk. Tapi Jihoon tak bisa menyalahkan Soonyoung, meski cara yang dilakukan Soonyoung memang salah, tapi ia tahu pemuda itu juga bingung dan memilih caranya sendiri. Pemuda itu juga sudah berusaha dan yang bisa Jihoon lakukan hanyalah menerima, mengikuti alur yang diciptakan oleh Soonyoung. Jihoon percaya pada pemuda itu.

Bosan, ia pun memilih untuk menonton televisi dan ia mencebik karena tidak ada channel kartun ataupn drama. Hanya berita, berita, dan berita. "Kupikir ia akan melihat hasil kriminalnya dari berita yang tesebar." Monolog Jihoon, lalu terkekeh. Tak lama, hanya sepersekian detik karena ia sudah terpaku dengan berita orang hilang di televisi. Ia membeku, tentu saja. Rasanya napasnya juga berhenti ketika mendengar nama kedua orangtuanya disebut sebagai orang hilang, ditambah dengan video penampakan rumahnya. Hilang tanpa jejak, bahkan para tetangga tidak pernah melihat mereka lagi setelah kegiatan berkebun di rumah itu.

Tidak masuk akal, pikir Jihoon dan ia rasa kepalanya kembali berdenyut sakit. Pemuda mungil itu hanya menggeleng pelan, tidak mungkin. Mereka pasti sedang ke luar kota, ke rumah neneknya mungkin dan pergi di tengah malam. Jihoon terus menyugesti dirinya bahwa orangtuanya baik-baik saja, dengan begitu rasa sakit di kepalanya pun mereda. Ia lalu turun dari kasur, berniat pergi ke dapur untuk meminum air putih. Ia menegak 2 gelas air putih karena kerongkongannya benar-benar kering sekarang.

"Jihoon?"

Pemuda itu menoleh dan menemukan sosok Jisoo yang berdiri di belakangnya. "Kenapa kau disini dan bukannya istirahat di kamar?" tanyanya dan Jihoon hanya tersenyum, "aku kehausan, Kak." Jawabnya seadanya. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada seseorang yang terbaring di atas ranjang dengan berbagai alat medis di sekitarnya. Jisoo yang menyadari itu pun segera berbalik, "kalian bisa membawa Jeonghan terlebih dahulu, aku akan menyusul." Mendengar itu, orang-orang yang berada di sekitar pemuda itu pun segera membawanya keluar.

"Apa dia baik-baik saja?" Tanya Jihoon dan dibalas gelengan oleh Jisoo, "tidak. Dia tidak baik-baik saja. Dia sedang koma." jawabnya pelan. "Apa yang terjadi padanya?" tanya Jihoon lagi, mengalihkan pandangannya pada Jisoo setelah sosok yang terbaring itu hilang dari pandangannya. Jisoo tak bergeming, dalam kebingungan untuk menceritakan semuanya pada Jihoon atau tidak. Apa dia akan ketakutan dan memilih untuk kabur jika mendengar kisah Jeonghan?

"Apa dia kecelakaan?"

Jisoo menggeleng, "dia diracuni. Dengan racun yang tak pernah kami temui sebelumnya." Lirih Jisoo, lalu duduk di kursi meja makan tanpa melepaskan pandangannya dari Jihoon yang ikut duduk di sampingnya. Jisoo tersenyum, "dia diracuni karena berani untuk berhubungan denganku. Orang sepertiku tentu saja banyak musuhnya."

"Seungcheol, dialah yang meracuni Jeonghan ketika pemuda itu memutuskan untuk menikah denganku. Dari sekian banyak musuh yang ada, aku tidak mengerti kenapa harus dia yang membuatku tersiksa seperti ini." Senyum Jisoo semakin lebar ketika ia mendapati Jihoon tak bereaksi apapun, "mungkin karena aku bagian dari keluarga ini? Dia ingin menghancurkan semua yang dimiliki Soonyoung. Termasuk mungkin, kau."

"Bagaimana? Apa kau yakin dengan keputusanmu?"

Tanpa ragu, pemuda mungil itu mengangguk. "Aku percaya pada Soonyoung, aku yakin dia bisa melindungiku." Ucapnya mantap. Melihat itu, sontak membuat Jisoo mengusak surai coklat Jihoon yang lembut, "terima kasih. Soonyoung sudah kuanggap adikku, aku selalu berharap yang terbaik untuknya. Jadi kumohon, jangan mengecewakannya." Jihoon hanya dapat mengangguk patuh. Berbicara tentang keluarga, Jihoon jadi teringat dengan orangtuanya. "Kak, bisakah kau membantuku mencari orangtuaku?"

"Ah, kau sudah mendengar beritanya ternyata."

"Kau tahu, organisasi kami dinonaktifkan. Mencari tahu informasi apalagi orang tidak semudah saat organisasi ini berjalan. Aku sekarang orang biasa dan yang bisa kulakukan untukmu mungkin meminta polisi. Kau pun bisa melakukan itu." Ujar Jisoo dan Jihoon menggeleng, "orang-orang pasti sudah melakukannya. Lagipula statusku juga masih orang hilang, lucu sekali kalau orang hilang melaporkan orang hilang." Jihoon mempoutkan bibirnya, sontak membuat Jisoo tertawa kecil.

"Bagaimana jika kau meminta Soonyoung? Cukup mudah baginya untuk mencari orang hilang meski organisasi sudah tidak beroperasi." Lagi-lagi Jihoon menggeleng lemah ketika mendengar saran dari yang lebih tua. "Kenapa?" tanya Jisoo dan Jihoon hanya kembali menggeleng, "dia sibuk, aku takut mengganggunya." Lirih Jihoon dan Jisoo kembali dibuat tersenyum olehnya.

"Permisi, Tuan Jisoo. Kami menemukan amplop ini di depan pintu belakang."

Jisoo menoleh dan menemukan pekerja dengan sebuah amplop di tangannya. Ia pun menerimanya sembari mengangguk sopan, "terima kasih." Tidak ada nama pengirim di luar amplop tersebut, tapi nama penerima di atasnya adalah Soonyoung. Amplop berukuran folio itu untuk Soonyoung dan ia pikir ia tidak boleh membukanya. Tapi lain halnya dengan Jihoon yang sudah terlanjur penasaran. Entah apakah ia lupa bagaimana seramnya ketika Soonyoung marah atau ia memang mengabaikannya, tapi kini ia sudah beralih untuk membuka amplop tersebut. "Amplop ini berbau amis." Jisoo mengangguk setuju, merasakan hal yang sama meski baunya tidak ketara.

Mata semi sipit Jihoon sukses melotot begitu ia mengeluarkan beberapa lembar kertas di dalamnya dan napasnya tercekat. Beberapa foto mayat dalam keadaan mengenaskan dan dicetak dalam ukuran besar, membuatnya terlihat jelas dan Jihoon rasa perutnya mual ketika meihat bagaimana menjijikkannya pelaku berkreasi pada mayat tersebut. Tapi yang membuat kepalanya pusing dan air matanya menetes adalah ia dapat mengenali mayat tersebut.

Ia terduduk di lantai sambil tergugu, membiarkan semua foto mayat orangtuanya berserakan di lantai. Pikirannya kosong dan ia membeku, ia mati kutu meski air matanya tak berhenti mengalir. Ia baru akan mencari orangtuanya dan kini ia menemukannya. Menemukannya dalam foto menjijikkkan yang tidak ia ketahui pengirimnya. Matanya perlahan beralih pada selembar kertas yang terdapat pesan. Pesan tersebut ditulis dengan darah yang ia yakini darah kedua orangtuanya.

"Akhirnya kami berhasil membunuh orangtua Jihoon, Bos."

To Be Continued

Gatahan aku buat mereka manis lama-lama, rasanya pen konflik mulu

Makasih buat kalian♥

Wednesday, 25 June 2020

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang