C H A P T E R 18

2.1K 295 4
                                    

Soonyoung mengumpat dalam hati, kenapa pula Wonwoo harus berada disini di saat seperti ini? Jika Jihoon sendiri tahu bahwa Wonwoo mencarinya, pasti Jihoon akan meninggalkannya dan Soonyoung tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ya, dirinya sudah terobsesi dengan Jihoon sejak lama dan ia tidak akan melepaskannya.

Pemuda itu segera mengelilingi area lantai satu dan ia tak membutuhkan waktu lama untuk menemukan Jihoon di kamar ibunya. "Sial!" Soonyoung dengan secepat kilat berlari ke arah Jihoon ketika menemukan pemuda mungil itu tengah kesulitan bernapas karena usaha bunuh dirinya. Soonyoung meraih pistolnya dan menembak tali yang menggantung tubuh Jihoon, dengan sigap menangkap lelaki itu sebelum kepalanya membentur lantai. Ketika melihat Jihoon tak sadarkan diri, Soonyoung langsung menggendongnya dan segera keluar dari rumah itu.

"Jihoon?"

Wonwoo baru saja memasuki rumah Jihoon ketika mendengar suara tembakan dan ia menemukan pemuda itu digendong oleh Soonyoung menuju pintu belakang. Tanpa berpikir panjang ia segera mengejar pemuda sipit itu. "Jihoon!" teriaknya. Dengan kemampuan berlarinya, seharusnya ia dapat mengejar Soonyoung dan membawa Jihoon. Itu jika Soonyoung tidak menembakkan peluru yang nyaris mengenai kakinya, tembakan itu tentu saja memaksanya untuk berhenti karena kaget. Dan ia tidak bisa melakukan apapun lagi selain menatap mobil Soonyoung menjauh darinya.

"Sialan kau, Soonyoung."

Sayup-sayup Jihoon membuka matanya dan ia menemukan dirinya terbangun di kamar Soonyoung. Juga pemuda bermata sipit itu yang duduk di tepi ranjang, memperhatikan foto-foto yang Jihoon tahu adalah foto mayat kedua orangtuanya. "Kukira aku sudah mengatakan kalau kita akan pergi keluar akhir pekan ini." Ucap Soonyoung pelan, sontak membuat Jihoon bangkit dan menatap pemuda itu horor. Gawat, ia ketahuan dan kini Soonyoung menoleh, menatapnya datar, "dan kenapa kau melakukan itu?"

"Huh?"

"Kenapa kau mencoba untuk bunuh diri?"

"Aku?" Jihoon menatap Soonyoung tak percaya, "ah, aku pasti tidak bisa berpikir jernih saat itu." Ucapnya sembari menunduk. Mungkin ia terlalu banyak menangisi kedua orangtuanya, ia benar-benar menyesali kematian mereka, dan pembunuh itu berada di hadapannya, tapi ia tak bisa marah padanya. "A-aku tidak bermaksud kabur, aku hanya ingin melihat-lihat saja." Cicit Jihoon, menjelaskan kenapa ia pulang ke rumahnya. Soonyoung hanya menghela napas ketika mendengar ucapan Jihoon, "kau pasti merindukan mereka."

"Bukan aku yang membunuh orangtuamu."

Jihoon mendongak, melemparkan tatapan bingung. "Pembunuh orangtuamu adalah pembunuh ayahku." Seungcheol, kakak Soonyoung yang berniat menghancurkan hidup pemuda bersurai merah darah itu. Seperti yang telah dilakukan pada Jisoo dengan meracuni Jeonghan , Seungcheol dengan mudah menghancurkan Jihoon dengan membunuh orangtuanya. "Jujur saja, aku juga berencana membunuh orangtuamu, tapi dia melakukannya lebih cepat dariku. Karena itulah, aku tidak mengelak ketika kau bertanya padaku."

"Aku tahu mereka punya cara sendiri untuk mendidikmu dan kupikir itu baik, aku ingin memastikan perasaanmu terlebih dahulu sebelum membunuhnya. Itulah kenapa aku belum membunuh mereka." Imbuh Soonyoung. Jihoon terdiam sebentar sebelum bergerak untuk memeluk Soonyoung, dalam hati bersyukur bahwa memang bukan Soonyoung pembunuhnya, bahwa pilihannya tepat, Soonyounglah yang akan melindunginya dari segi apapun. Sedang pemuda bermata sipit itu hanya dapat tersenyum dan membalas pelukan Jihoon.

"Sekarang, apa kau bisa melupakan masalah ini dan tidur dengan nyenyak?" tanya Soonyoung tanpa melepaskan pelukannya. "Mungkin, tapi apa mereka akan tenang disana?". "Kuyakin, selama kau bisa tidur dengan nyenyak, makan dengan teratur, dan tersenyum bersamaku, mereka bisa tenang dan bahkan mungkin ikut tersenyum." Jawab pemuda itu sontak membuat Jihoon menarik kedua sudut bibirnya.

"Besok, weekend, kan?"

Soonyoung mengangguk, "kau ingin kubawa kemana?"

"Terserahmu saja, aku dibawa makan saja sudah senang." Jawab Jihoon enteng dan Soonyoung hanya bisa tertawa kecil, "bagaimana jika taman bermain?"

"Aku belum pernah kesana, soalnya." Imbuh Soonyoung. Jihoon menarik wajahnya dan menatap Soonyoung dengan mata berbinar, "aku juga belum pernah kesana." Serunya. Soonyoung kembali tertawa kecil, ia pun menggigit hidung gemas, sontak membuat pemuda mungil itu mendorong wajahnya kuat, jijik dan sakit mungkin digigit oleh Soonyoung. Kalau saja Soonyoung tidak tersenyum hangat seperti sekarang, mungkin ia akan memukul kepala pemuda tampan itu.

Boo Seungkwan memarkirkan mobilnya sembarangan di sebuah kafe yang ia tidak peduli namanya, ia sekarang hanya butuh secangkir Americano dimana pun ia bisa menemukannya. Setelah memesan minuman kesukaannya itu, Seungkwan segera duduk di meja kosong sembari melemparkan tatapannya ke luar jendela. Demi apapun ia benar-benar bosan, bos menyebalkannya itu terlalu sibuk mengatur rencana Pembalasan Kepada Sang Adiknya sehingga ia tak diberi tugas apapun.

Mau cari masalah, tapi takut dipenggal. Benar-benar membuatnya merasa seperti tunawisma, tapi ya mana ada tunawisma yang jalan-jalan menggunakan mobil mewah, kan? Lihatlah bagaimana orang-orang bahkan menyentuh mobilnya sembarangan.

"Permisi, bukankah kau pemilik mobil mewah disana?"

"Bukan." Jawab Seungkwan acuh.

"Mobilmu menghalangi mobil lainnya masuk, bisa—"

"Kubilang bukan, ya bukan!" Seru Seungkwan seraya menatap pelayan yang baru saja menegurnya. Matanya membulat dalam sekejap ketika melihat sosok pelayan yang sepertinya ia kenali itu, ditambah bahwa kunci mobilnya sudah ditangan pemuda tampan itu. Pelayan itu tersenyum, "ah, izinkan aku memarkirkan mobilmu dengan benar."

"Kau—"

Ucapan Seungkwan terpotong, tergantikan dengan raut wajah yang menahan amarah dan malu karena pelayan tersebut sudah meninggalkannya untuk memarkirkan mobilnya. Akhirnya pemuda itu hanya menghela napas dan menyeruput Americano yang tadi diantarkan oleh pelayan tersebut. Tak membutuhkan waktu lama bagi Sang Pelayan untuk memarkirkan mobil Seungkwan . Ia kembali masuk ke dalam kafe, melepaskan apron, dan berjalan santai ke arah Seungkwan dengan secangkir Cappuchino untuknya.

"Jadi kau bekerja paruh waktu juga, Vernon ?" tanya Seungkwan dengan tampang mengejek, menahan debaran halus di dadanya karena bertemu lagi dengan pemuda tampan di hadapannya. Vernon hanya mengangguk acuh, "kau sendiri tidak bekerja? Atau kau sedang libur?"

"Itu bukan urusanmu."

"Aku sekarang hanya warga biasa. Kau bisa bercerita apapun padaku karena aku tidak bisa mencampuri masalah organisasi lagi." Seungkwan nyaris saja menyemburkan Americanonya ketika mendengar ucapan Vernon . Pemuda itu menatap Vernon dengan tatapan tak percaya, "kau dipecat? Astaga, padahal kau bawahan yang baik dan pintar."

Vernon tertawa kecil, "kau tidak tahu? Organisasi kami sudah tidak beroperasi." Jawab Vernon , membuat Seungkwan nyaris menyemburkan Americanonya lagi. "Lalu untuk apa Bos Seungcheol sibuk menyiapkan rencana kalau organisasi mereka sudah berhenti?" gumamnya dan itu masih dapat didengar oleh Vernon .

"Bosmu sedang merencanakan sesuatu?" tanya Vernon dan Seungkwan hanya mengangguk, "tapi kurasa itu tidak akan berguna. Dan karena kau dan organisasimu sudah berhenti, aku ingin meminta bantuan kalian." Seungkwan tersenyum, Seungcheol sedang sibuk dengan urusannya, jadi aktifitasnya akan aman untuk sementara. Apalagi berbicara santai pada warga sipil seperti Vernon , tidak akan terdeteksi sebagai pengkhianatan.

Vernon ikut tersenyum, "kalau kau mau seperti itu, kau tetap harus membayarnya. Kau harus bergabung dengan kami suatu hari nanti."

To Be Continued

Hai, mau nanya dong, sejauh ini ada yang ga kalian pahami ga?

Sekalian, sebaiknya work ini dipublish seminggu berapa kali?

Makasih buat kalian^^

Sunday, 13 December 2020

B E S E S S E N H E I T [SOONHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang