34. Merindu

53.1K 3.5K 370
                                    

Semoga ada manfaat yang yang bisa di ambil dari cerita ini.

JANGAN LUPA JADIKAN AL-QURAN SEBAGAI BACAAN UTAMA.

.
.
.


Erina tiba dirumahnya dan Rayhan sekitar duapuluh menit lagi, walaupun Erina sementara ingin tinggal dirumahnya yang lama tapi Erina tetap harus singgah kerumah ini. Untuk membereskan sedikit barangnya dan juga menjemput Niken untuk diajaknya.

Soal pesan yang dia kirim pada Rayhan waktu itu, Rayhan hanya menjawabnya dengan singkat, pesan yang hanya terdiri dari tiga huruf "iya" itu saja balasan dari Rayhan. Bukan Erina berharap lebih tapi Erina kira Rayhan akan menanyakan apa dirinya sampai sengan selamat atau apapun itu, sekedar basa-basi atau apalah itu ternyata tidak. Erina hanya bisa menarik napasnya dalam.

"Mau minum apa mbak," tawar Bi Hani sambil berjalan kearah Erina dan Niken, Erina yang sedang duduk disamping Niken sambil mengelus lembut kepala Niken, menengok kearah Erina tersenyum.

"Nggak usah Bi," tolak Erina dengan lembut. Bi Hani mengangguk, mendekat kearah Erina dan duduk dibawah sofa tepat di karpet merah. Erina menarik napasnya melihat Bi Hani yang duduk dibawah, padahal Erina selalu mengingatkan untuk jangan seperti itu. Bagi Erina status tak penting ditambah Bi Hani jauh lebih tua darinya.

"Bi duduk disofa aja jangan dibawah." Bi Hani langsung mengangguk dan duduk disamping Erina canggung.

"Mbak pulang sendiri? Tuan dimana?" Tanya Bi Hani, Bi Hani baru tau Erina pulang sendiri, tadi Bi Hani baru saja pulang dari pasar dan baru saja mendapati Erina pulang sendiri. Bi Hani kira Rayhan ada dikamar atau dimana nyatanya Erina memang terlihat sendiri.

Erina menatap Bi Hani dengan pandangan sedihnya, tapi setelahnya Erina tersenyum, terseyum begitu tipis begitu menyiratkan ada sesutu disenyuman itu. Bi Hani yang melihat perubahan wajah Erina menggigit bibir bagian dalamnya, takut apa yang ditanyakan suatu kesalahan.

"Mbak... " panggil Bi Hani, takut Erina keberatan atau tersinggung dengan pertanyaanya karena Erina nampak sedih mendengar pertanyaan itu.

Erina terkekeh, karena Bi Hani menatapnya cemas.

"Mas Rayhan masih ada urusan, aku pulang duluan deh."  Erina terkekeh walau terdengar hambar. Bi Hani hanya mengulas senyum, setelah itu bangkit dari duduknya kembali kearah dapur.

Erina kembali mengamati Niken yang kini sedang memainkan jari-jarinya, gadis kecil itu sedang berbaring menjadikan tubuhnya sebagai sandaran. Dan entah apa yang dipikirkan gadis kecil itu tapi sesekali dirinya terkekeh.

"Niken kangen sama Ibu Niken, tapi Niken nggak tau Ibu Niken, Niken nggak pernah liat Ibu Niken." Ucap Niken dengan kekehan kecil tapi dengan suara yang terdengar pilu. Erina merasakan hatinya solah tercubit mendengar penuturan Niken. Niken seolah tenang dengan ucapanya gadis kecil yang sangat pintar itu seolah berusaha menyembunyikan sedihnya walau dirinya ingin bercerita. Erina tau bagaimana sedihnya Niken ditambah Erinapun tau bagaimana rasanya kehilangan seorang Ibu. Ditambah lagi Niken masih kecil, Niken belum pernah melihat ibunya bahkan Niken belum pernah merasakan kasih sayang orang tua. Niken tumbuh tanpa ibu yang memeluknya.

Melihat ini Erina berfikir kenapa masih ada anak yang menyakiti hati orang tuanya. Bahkan diluar banyak yang begitu mendambakan kehangatan pelukan orang tua.

Erina mengusap lembut kepala Niken lagi menggukan tangan kananya. "Doain Ibu Niken, Ibu Niken pasti sayang sama Niken juga," ucap Erina. Niken yang sedang tertunduk sambil memaikan jemari tangan kirinya mengangguk.

Erina #LMLY2 [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang