Mu Lan POV
Entah berapa lama aku di sini, aku tak tahu. Dua minggu lagi akan diadakan turnamen antar wanita—lebih tepatnya untuk selir—yang tinggal di kerajaan, katanya ini adalah agenda tahunan dari kerajaan.
"Melukis, menari, main alat musik? Yang benar saja Ling Ling, aku tak bisa semuanya," ucapku.
"Kau harus bisa memenangkan satu, hadiahnya adalah tinggal bersama pangeran selama satu bulan," ucap Ling Ling antusias.
"Setelah kau beri tahu tentang hadiahnya aku semakin tak tertarik," jawabku.
"Ayolah Mu Lan! Ah iya, aku baru ingat ... ada memanah, kau ahli dalam memanah. Kita latihan itu saja," Ling Ling antusias.
Yang benar saja, tinggal bersama Hu An sama saja bunuh diri. Aku takut diapa-apakan.
Ling Ling menarikku dan kami berdua duduk bersama di kursi.
"Ada satu hal yang ingin kuceritakan padamu, kau tahu 'kan aku menikah dengan Hu An sudah berapa lama?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kau tau alasan kenapa aku belum punya anak?" tanya Ling Ling lagi.
"Karena kalian hanya ingin hubungan yang berkaitan tentang politik, bukan membangun keluarga?" tebakanku.
Ling Ling menggeleng, "Walau kami tidak saling cinta, bukan berarti kami tidak melakukan itu. Hu An adalah lelaki yang sehat baik jasmani maupun seksual, jadi wajar bila dia ingin istrinya. Masalahnya adalah aku. Aku tak bisa memberinya keturunan, aku mandul," ucap Ling Ling.
Mataku membulat. Aku tak percaya ini.
"Karena sekarang Hu An hanyalah pangeran, makanya belum banyak yang menyerang. Tapi begitu Hu An dinobatkan jadi raja, maka aku yakin aku akan dilengserkan. Untuk itu Mu Lan, aku mohon padamu, menangkan ini, tidur dengan Hu An dan punya keturunan. Aku rela bila dirimu yang jadi ratu," jelas Ling Ling.
Aku tak bisa memprosesnya. Aku harus apa? Tidak mungkin terjadi! Tapi ini permintaan Ling Ling.
Ling Ling menggenggam tanganku. "Aku mohon, demi aku," pintanya.
Aku menghela napas, "Baiklah, akan kulakukan."
"Kau yang terbaik!" teriak Ling Ling.
Setiap hari kuhabiskan dengan latihan memanah. Aku hanya perlu memenangkan satu cabang, jadi aku memilih memanah.
Pertandingan memanah.
Aku berhasil sampai di babak final. Siapa sangka lawanku adalah si Gong. Poin kami hanya terpaut satu angka dan ini adalah anak panah terakhir.
Gong membidik panahnya, wuuuush, poinnya 9.
WOW! Anak manja ini boleh juga. Bila aku tak menjanjikan Ling Ling kemenangan, aku sudah asal-asalan sejak awal memanah.
Tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Aku menggeleng untuk menghilangkan pusing ini.
Jangan sampai mengganggu bidikanku.Kuarahkan panahku ke angka 10, aku bidikan anak panahku
Bruuukkkkk
Aku terjatuh. Semua tampak gelap. Aku hilang kesadaran.
Beep ... beep ... beep ... beep ....
Suara apa itu? Tubuhku sakit semua. Apa aku pingsan karena terlalu lama terkena matahari? Tapi rasanya tubuhku remuk. Aku tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku.
Lalu kemudian aku bisa menggerakkan jari tanganku. Pelan-pelan aku membuka mata.
Ruangan ini semuanya putih, modern, bukan istana. Tunggu, ini di mana?
Beep ... beep ....
Suara itu ....
"Oh, Anda sadar? Ya Tuhan ...." Ucap seorang wanita berpakaian ... perawat.
Aku di rumah sakit? Bagaimana bisa? Aku belum mati? Aku bisa hidup di dua dunia?
Aakkkhh! Kepalaku pusing lagi.
Aku terbangun lagi. Kali ini tanganku bisa bergerak. Aku pegang kepalaku karena masih pusing.
"Lady Lan, syukurlah Anda bangun," ucap Qi Wei.
Panggilan itu lagi. Aku kembali ke istana lagi.
"Ada apa denganku?" tanyaku.
"Setelah memanah, Lady Lan tak sadarkan diri," jelas Qi Wei.
"Oh."
Tunggu dulu! Kasur ini terasa lebih empuk dari kasurku.
"Aku di mana?" tanyaku lagi.
"Di paviliun Yang Mulia Pangeran Tian." Dengan bangga Qi Wei menjelaskan itu.
"Apa?" Aku berteriak dan langsung duduk.
Sepertinya tindakanku salah karena kepalaku langsung pusing. "Awwww!" keluhku sambil memegang kepala.
"Kalau pusing kenapa bangun?" Suara Hu An.
"Salam Pangeran," ucapku.
"Qi Wei, bawakan air dan makanan untuk Lady Xiao!" perintah Hu An, lalu dia duduk di samping tempat tidur.
"Kanapa aku di sini?" tanyaku.
"Kau pingsan setelah memanah dan panahmu menang, jadi kau tinggal denganku," ucap Hu An santai.
Aku terdiam tak percaya. Banyak yang aku pikirkan, terlebih lagi kejadian aku di rumah sakit tadi.
Qi Wei masuk membawa makanan, Hu An mengambil makanannya dan hendak menyuapiku. "Aku bisa sendiri," ucapku.
"Apa aku tak boleh menyuapi istriku?" jawabnya.
Aku tertegun, pria ini benar-benar pintar membuatku kehilangan kata-kata. "Makanlah," ucapnya menyodorkan sendok.
Sore harinya, aku keluar ke taman paviliun. Di sini sungguh indah dan lebih luas dari taman paviliunku.
"Kalau aku hidup di sini, berarti tubuhku yang di sana akan koma?" ucapku pelan.
Wow, ini seperti Webtoon Lookism. Apa aku harus mati dulu di sini, baru aku akan kembali? Atau aku akan hilang begitu saja? Berapa banyak waktuku tersisa? Bagaimana dengan rencana membantu Ling Ling? Akkhhhhhhh! Aku sungguh frustasi.
"Apa yang kau pikirkan?" Suara Hu An memecahkan lamunanku. Aku tak sadar mondar-mandir dari tadi.
"Salam Pangeran Tian," ucapku sambil membungkuk.
"Sedang apa kau di sini?" tanyanya.
"Sedang mencari udara segar," ucapku sambil memutar arah menatap danau.
Kurasakan tangan Hu An melingkar di pinggangku. "Pa-Pangeran. Apa yang Anda lakukan? Di sini banyak orang," ucapku sembari melepaskan pelukannya yang sangat kuat.
"Kenapa? Mereka tak melihat," jawab Hu An. Benar saja, semua pelayan menundukkan kepala. Aku menghela napas, pasrah terkunci dalam pelukan Hu An.
"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya sekali lagi.
"Tidak ada," jawabku. Aku tak bisa menceritakan ini pada siapa pun.
"Baiklah kalau kau tak mau mengatakannya. Ayo kembali, ini hampir malam!" ucap Hu An.
Kami kembali ke paviliun. Aku sudah mengganti pakaianku dengan piyama, aku duduk di tepi tempat tidur, aku gugup. Demi Tuhan, aku akan tidur berdua dengan Hu An.
Aku terus meremas tanganku. Hu An masuk ke dalam kamar, sudah dengan piyama.
Dia melihat ke arahku, Aku menunduk dan tetap meremas tanganku
Hu An duduk di sampingku, memelukku dari samping. "Tidurlah, aku tak akan melakukan apa-apa padamu. Aku janji." Setelah mengucapkan itu Hu An melepaskan pelukannya.
Kami pun tidur bersama, satu ranjang, berdampingan.
-Selamat Membaca-
#EditedVersion

KAMU SEDANG MEMBACA
Fat Concubine [COMPLETE]
Исторические романыMaria Flora adalah gadis 21 tahun yang sedang menempuh pendidikannya di Universitas Ternama di Indonesia Pada suatu hari dia menyelamatkan anak balita yang hampir tertabrak truk Namun naas, nyawanya tak tertolong 'Aku sudah mati?' batinnya Namun ken...