Tian POV
Dua hari sudah sejak kejadian di florist itu. Aku sangat kesal, tapi selama dua hari inilah dalam pikiranku hanya ada Maria. Dia sangat familiar, aku yakin pernah bertemu dengannya, tapi di mana?
Tok tok
"Masuk!" ucapku.
"Ada apa denganmu?" Kalimat pertama yang Paul ucapkan padaku. Aku hanya mengangkat alis.
"Lihatlah, laporan ini, datanya salah tapi kau tetap tanda tangan, untungnya aku memeriksanya kembali. Kau kenapa?" tanyanya lagi.
Kuambil laporan itu, kulihat kembali datanya. Paul benar, semua datanya salah. Aku menghembuskan napas. "Kau benar, aku salah." Aku mengakuinya.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Beberapa hari ini kau tak fokus, katakan sejujurnya padaku," ucap Paul.
"Aku memikirkan Maria," jawabku jujur.
Kulihat mulut Paul menganga. "Why?" tanyanya.
"Aku tak tahu, dia sungguh sangat familiar. Aku tahu ... oke, aku salah, tak seharusnya memikirkan istri orang," jelasku.
"Huh?"
Kenapa Paul bingung?
"Bagian mana yang tak kau pahami?" tanyaku.
"Istri orang," ucapnya.
"Benar bukan? Aku tak seharusnya memikirkan istri orang," kataku.
"Istri siapa?" tanyanya.
"Jo, Maria istrinya Jo, 'kan?" tanyaku.
Setelah diam cukup lama.
Huahahahahahahahaha ... Paul tertawa terbahak-bahak. The Hell! Aku kesal.
"Kau kira Maria istrinya Jo?" tanyanya sambil mengusap air mata di ujung matanya. Aku mengangguk.
"Dan Evan adalah anak mereka," lanjutnya. Aku mengangguk lagi.
Paul berhenti tertawa, lalu menepuk bahuku. "Dude, mereka itu bukan pasangan apalagi keluarga. Jo itu single, Maria juga, mereka berdua tidak berhubungan romantis seperti yang kau pikirkan. Menurutku Jo melihat Maria sebagai adik, sebagai penyelamat Evan. Evan itu cucu Rose, seorang yatim piatu, karena orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Jadi silsilahnya, Rose nenek Evan dan Jo seperti Paman Evan," jelas Paul.
"Evan memanggil Maria ...." Belum sempat kulanjutkan, Paul memotong pembicaraanku.
"Mama. Iya awalnya aku kaget, tapi Rose menjelaskan kalau bagi Evan, Maria adalah pahlawannya dan ingin menganggapnya seperti mamanya sendiri. Tentu saja, Maria tidak keberatan dengan itu."
Tiba-tiba senyumku mengembang dengan sangat lebar. Hatiku merasa lega luar biasa. Maria S.I.N.G.L.E!
'YEAAAYYY!' teriakku dalam hati.
"Tunggu sebentar, kau tidak fokus karena ini? Karena Maria? Kau suka Maria?" Pertanyaan beruntun Paul diakhiri dengan dia menutup mulut seolah tak percaya. Aku hanya tersenyum sambil menggaruk kepalaku. Siapa yang aku bohongi, kalau memang faktanya aku suka Maria?
"Thanks God, Tian bisa jatuh cinta pada manusia," ucap Paul.
Plaaakkk
"Akkk!" gerutu Paul.
"Sial, kau kira aku apa?" tanyaku kesal.
"Habis, dalam hidupmu yang paling cantik adalah daffodil," kata Paul sambil tertawa.
"Apa rencanamu?" lanjutnya.
"Tentu saja mendekatinya, apalagi?"
STEP 1: Minta Maaf
Pagi ini aku putuskan untuk datang ke Florist.
Criiiiing—suara pintu florist.
"Selamat datang. Oh, hi Tian," sapa Rose.
"Hai Rose, aku ke sini ingin bertemu Maria," ucapku.
Rose memandangku heran, lalu menyuruhku untuk ke meja kasir.
"Maria ada yang ingin bertemu denganmu," ucap Rose.
"Huh?" Maria bingung, lalu menatapku.
"Oh Tian, ada apa?" tanyanya.
"Aku ingin minta maaf padamu," kataku jujur.
"Untuk?" tanyanya.
"Sikapku yang kemarin."
"Oh, tak perlu minta maaf, mungkin kau sedang buru-buru," ucapnya.
Tiba-tiba ada dering telepon yang begitu kencang. "Halo Jo?" sapa Maria. "Ha, mobil mogok? Evan gimana?" tanya Maria panik.
"Belum dijemput? Ya Tuhan, oke aku jemput dia," lanjutnya.
Ini kesempatan bagus. Belum sempat aku berbicara, Maria sudah menelepon lagi. "Siang Bu Riri, iya, sepertinya Jo tidak bisa menjemput Evan, saya yang akan menjemputnya, bisakah Anda awasi Evan sebentar? Iya, terima kasih," kata Maria.
"Aku akan menjemputnya." Aku menawarkan diri.
"Huh?" Maria bingung.
"Aku akan menjemput Evan. Di mana dia bersekolah? Aku akan lebih cepat sampai."
"Aku tidak ingin merepotkanmu."
"Percayalah, aku tidak repot, sepertinya kau dan Rose sedang banyak pesanan. Biarkan aku menjemputnya," pintaku.
"Biarkan Tian yang jemput, kita banyak pekerjaan. Lagi pula dia tidak keberatan." Rose berbicara.
"Baiklah, aku akan menelepon gurunya lagi bahwa kau akan menjemputnya. Dia bersekolah di TK Bintang Bersinar," ucap Maria menyerah.
"Siap!" jawabku.
STEP 2: Dekati Evan
Aku melaju ke TK Bintang Bersinar. Kulihat Evan duduk bersama gurunya.
"Selamat Siang, saya Tian. Saya akan menjemput Evan," ucapku.
"Saya gurunya Evan, Riri. Tadi Bu Maria sudah menelepon saya. Evan, kau akan pulang bersama paman ini," ucap Bu Riri.
"Baik Bu, bye-bye," ucap Evan melambaikan tangan kepada bu gurunya. Ya Tuhan, dia sangat manis.
Aku bukakan pintu untuknya, aku pasangkan seatbelt yang memang terlalu besar untuknya. Tapi apa boleh buat, kata Maria dia tak suka carseat. Aku pun masuk ke dalam mobil dan mulai menyetir.
"Bagaimana sekolahmu?" tanyaku.
"Baik. Paman sendirian?" tanya Evan.
"Iya, kenapa?"
"Biasanya Paman sama Paman Paul," jawabnya.
"Oh, aku perlu minta maaf kepada mamamu."
"Paman punya salah apa sama mama?"
"Kemarin Paman bicara agak keras kepada mamamu, Paman takut mamamu marah," jelasku.
"Paman menyukai mama?" Pertanyaan spontan Evan yang membuatku langsung menghentikan mobilku. Untungnya tepat pada lampu merah.
"Kau bilang apa?" tanyaku lagi.
"Kalau Paman suka mama, aku akan membantu Paman," ucap Evan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kata nenek, ada tiga orang yang kemungkinan jadi papaku, yang pertama Uncle Jo, yang kedua Paman Paul, atau yang ketiga Paman Tian. Karena Paman Tian paling kaya dan suka sama mama, aku akan mendukung Paman Tian untuk jadi papaku," jelas Evan.
Ya Tuhan, apa yang dikatakan Rose pada cucunya ini? Aku tertawa.
"Baiklah, Paman akui itu, jadi kau akan membantuku, 'kan?" tanyaku. Evan mengangguk dan tersenyum lebar.
"Mulai dengan panggil aku 'Papa'."
-Selamat Membaca-
#EditedVersion
KAMU SEDANG MEMBACA
Fat Concubine [COMPLETE]
Historical FictionMaria Flora adalah gadis 21 tahun yang sedang menempuh pendidikannya di Universitas Ternama di Indonesia Pada suatu hari dia menyelamatkan anak balita yang hampir tertabrak truk Namun naas, nyawanya tak tertolong 'Aku sudah mati?' batinnya Namun ken...