Apa yang Nisa takutkan selama ini telah terjadi, hubungannya yang telah dia bangun dan pertahankan telah hancur, dan yang yang lebih menyakitkan bagi Nisa adalah mendengar calon suaminya akan di jodohkan dengan orang lain, bukan dirinya.
Sambil terus menangis tersedu-sedu, Nisa meninggalkan rumah bunda Vivi. Dia menghentikan sebuah taxi dan menaikinya.
Nisa pun tak tahu mau kemana, tidak mungkin juga dia balik ke rumahnya di Jakarta.
Nisa memberikan arahan kepada supir taxi untuk membawanya ke bandara, satu-satunya tempat yang terpikir di kepalanya adalah kembali ke Swiss.
Tempat dimana kebahagiaan dan kenangannya tertinggal, kebahagiaan yang menghantarkannya ke keterpurukan.
Tanpa dia sadari, beberapa mobil telah mengikuti taxi yang dikendarai Nisa.
Itu semua tak lain adalah anak buah Brawijaya, ayahnya.
Mereka semua diperintahkan untuk mematai-matai Nisa, terlebih untuk menjaganya apabila Nisa melakukan hal yang tidak-tidak.
Ini semua dilakukan Brawijaya karena ketakutan akan sesuatu yang terjadi pada putri semata wayangnya, anak yang sangat disayanginya.
Rupanya Brawijaya juga sedikit menyesal karena telah begitu memarahi putrinya, padahal seingatnya jangankan untuk memmarahinya, berbicara dengan nada yang keras saja tidak pernah dia lakukan pada Nisa, putrinya.
Yang lebih menyakitkan bagi Brawijaya karena ini adalah pertama kalinya dia melihat putrinya menangis tanpa membelanya, terlebih dia yang telah membuat putri yang sangat dia sayanginya itu menangis.
Padahal Nisa termasuk anak yang sangat ceria, hampir tidak pernah ada yang air mata yang keluar dari matanya.
Jika hal itu terjadi, Brawijaya menjadi orang pertama yang yang menjadi sandaran bagi Nisa.
Namun, dia juga tidak bisa diam dengan ini semua, ego yang sangat tinggi, tidak boleh ada yang melukai harga dirinya hanya dengan hubungan anaknya dan sepupunya tersebut.
Mereka yang masih bertahan di ruangan tamu bunda Vivi hanya tinggal terdiam, suasana pun mulai mencair.
Irham hanya diam tak bergeming di pelukan bunda Vivi, kakak perempuan yang dia sudah anggap seperti ibunya sendiri.
“kring…kring…kring.” Brawijaya tak hentinya mondar-mandir.
“bagaimana?” tanyanya setelah dia mengangkat benda pipih itu.
“non Nisa menuju ke Swiss, penerbangannya sejam lagi.” Sahut orang diseberang sana.
“terus ikuti dia, pastikan dia selamat sampai tujuannya. Saya akan mengirim beberapa orang lagi untuk berjaga, jaga. Mereka akan naik jet pribadi saya, mereka akan tiba duluan di Swiss. Terus awasi saja saya anak saya, jangan sampai kalian kehilangan jejak dia.” Perintahnya.
“baik tuan.” Brawijaya menghampiri istrinya yang tengah ketakutan akan kepergian Nisa.
“mama tenang yah, Nisa akan baik-baik saja.” Ujarnya seraya memeluk istrinya itu, meskipun Brawijaya juga sedang merasa ketakutan, namun dia menepis semua itu dengan berpura-pura tampak tegar.
Sementara itu, Nisa sedang duduk di kursi pemberangkatan untuk menunggu pesawat yang akan membawanya pergi jauh dari tempat ini, tempat telah yang membuat hatinya hancur tak bersisa.
Air matanya terus memaksa untuk keluar, namun dia berusaha untuk menahannya dengan menutup matanya dengan tangan yang ditopangnya di kedua lututnya.
Tanpa dia sadari beberapa orang yang berpakaian serba hitam terus saja memantaunya dari kejauhan.
Sesampainya di Swiss, Nisa menuju ke resort yang telah ditempati sebelumnya bersama dengan Irham
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta Dalam Harapan
ChickLitDunianya runtuh, Tubuhnya rapuh, Pikirannya kacau, Hatinya pedih, Dia pun goyah. Itulah yang terjadi pada An-Nisa putri Brawijaya, seorang putri konglomerat sekaligus pewaris Brawijaya Group, hingga menyebabkan dirinya harus duduk di kursi roda sela...