“lho , Nisa. Kamu kok diam sih, lagi ngelamun yah?” Nisa tetap saja menatap dedaunan teh dihadapannya seraya bersandar di pundak Debran.
“Nisa.” Debran mengusap-usap bahu Nisa. “kamu enggak apa-apa?” lamunan Nisa buyar.
“eh kak Debran, kakak ngomong sama aku?” Nisa menoleh pada Debran seraya memperbaiki posisi duduknya.
“yah iyalah Nisa, masa aku ngajak bicara daun teh sih. Disini kan cuma ada kita berdua.” Debran mengacak-acak puncak kepala Nisa sambil tertawa.
“yah siapa tau kak Debran lagi ngomong sama penghuni daerah sini.”
“sembarang kamu Nis kalau ngomong, yah udah kita balik yuk. Sania pasti udah nungguin kita di ruma, udah sore juga.” Debran mengambil jaket rajuk yang berada di sampingnya dan memakaikannya ke Nisa.
“aku masih mau disini kak, aku masih mau nikmatin suasana disini.” Tatapan Nisa kembali menatap para pekerja daun teh yang bergegas kembali ke rumah masing-masing.
“kita harus pulang Nis, kalau kamu disini terus kamu bisa aja sakit. Udara disini tuh sangat dingin, kan masih ada hari esok. Kamu bisa kesini lagi besok yah.” Debran berdiri dari tempat duduknya seraya mengangkat tubuh Nisa ke kursi roda yang telah digunakannya selama dia berada di rumah Debran.
Semburat jingga pertanda matahari akan kembali keperaduaannya menghiasi setiap inci yang ada di muka bumi ini, tak terkecuali wajah Nisa yang terus saja menikmati indahnya matahari yang akan terbenam.
Nisa mengangkat wajahnya ke atas melihat Debran yang berada di hadapannya menghalangi cahaya matahari yang menerpa wajah pucatnya.
“tak kuizinkan cahaya matahari menerpa wajahmu sekecil apapun itu karena aku tak rela berbagi dengannya.” Debran duduk berlutut di hadapan Nisa seraya mengangkat tangannya keatas agar tak sedikit pun cahaya mengenai wajah Nisa.
“begitu pula dengan kesedihan, akan kupastikan kesedihan akan pergi meninggalkanmu. Karena aku tak rela jika kesedihan yang bersemayam di hatimu.”
Nisa hanya terdiam mendengar ucapan Debran, laki-laki yang yang beberapa bulan terakhir menghiasi hari-harinya.
“bertahanlah, meskipun itu demi diriku.” Arka menarik tubuh Nisa kedalam pelukannya.
Semenjak kepergian Nisa meninggalkan keluarganya, kondisinya semakin terpuruk sehingga mengharuskannya duduk di kursi roda.
Debran dan Sania telah mencoba berbagai cara untuk mengembalikan Nisa seperti sebelumnya, namun sampai sekarang kondisinya masih sama saja dan tidak menunjukkan perubahan berarti.
Hari-hari yang dilalui Nisa sangat menyedihkan, setiap hari dia hanya duduk dibawah pohon seperti yang dia lakukan hari ini.
Dia hanya bisa duduk dibawah pohon sambil menikmati indahnya pemandangan perkebunan daun teh dan sesekali dia berengkrama dengan pekerja kebun teh yang sering menghampirinya ketika waktu makan siang sambil ngobrol dengannya, mungkin mereka sangat kasihan melihat Nisa sehingga mereka semua berusaha menghiburnya disaat waktu istirahat mereka, Nisa pun sudah sangat akrab dengan mereka semua.
“oh yah Nis, aku ada kabar baik buat kamu.” Sahut kak Adebran seraya mendorong kursi roda.
“ada apa, kak?” Nisa mendongkakkan kepalanya menatap Debran.
“jangan bilang kalau keluarga aku tahu aku ada disini.”
“yah enggak lah, aku kan sudah janji sama kamu untuk tidak memberitahu keberadaanmu disini.”“jadi, apa kabar baiknya?” Debran menghentikan langkahnya, lalu duduk disamping Nisa.
“minggu depan novel kamu akan rilis.” Ujarnya seraya mengumbar senyum. “selamat yah.” Dia mengusap-usap kepala Nisa seraya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta Dalam Harapan
Literatura KobiecaDunianya runtuh, Tubuhnya rapuh, Pikirannya kacau, Hatinya pedih, Dia pun goyah. Itulah yang terjadi pada An-Nisa putri Brawijaya, seorang putri konglomerat sekaligus pewaris Brawijaya Group, hingga menyebabkan dirinya harus duduk di kursi roda sela...