One month later
Sebulan sudah kepergian Revan entah kemana, Nisa mencoba mencari tahu tentang keberadaanya melalui orang-orang sewaannya, namun hasilya nihil.
Brawijaya benar-benar menyembunyikan keberadaan Revan dengan sangat baik hingga tak ada yang tahu keberadaanya!.
Meski kini sudah tak ada lagi Revan di rumah sakit, namun Nisa masih meluangkan waktunya beberapa kali untuk mengunjungi ruangan yang begitu membawa luka baginya. Ini dilakukannya sekedar untuk melepaskan rasa rindunya pada Revan. Mungkin karena Nisa yang selalu terbiasa dengan dengan kehadiran Revan disinya yang selalu saja mendampinginya kemanapun dia pergi, hingga rasanya terasa hampa disaat Revan benar-benar telah pergi meninggalkannya, entah kemana.
Dengan tindakan Brawijaya yang membawa pergi Revan, semakin membuat benteng diantara dirinya dengan putrinya semakin luas.
Hal ini terlihat dengan jarangnya Nisa pulang kerumah, dia memilih menginap di kantor atau menginap di apartemen yang baru saja dibelinya.
Tentu saja dia membeli apartemen mewah yang tak begitu jauh dari kantor agar dia dapat menghindari bertemu keluarganya, hatinya masih saja tak dapat menerima tindakan Brawijaya.
“Alan, bisa ambilkan aku air minum. Aku haus.” Nisa menghentikan jarinya yang tengah asyik menari-nari di atas keyboard miliknya, dia melepaskan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidung mancungnya seraya menorehkan pandangannya ke luar dinding yang tembus pandang.
Matanya menangkap sosok pria yang menggunakan setelan serba hitam yang tengah menempelkan ponsel pada telinganya pertanda jika dia sedang menerima panggilan telepon.
“Alan.” Rupanya suara Nisa tak terdengar oleh sang empunya nama karena dia begitu serius berbicara melalui ponselnya.
Merasa panggilannya tak dihiraukan, Nisa mengambil sebuah gelas kaca kosong yang selalu tersedia di atas meja kerjanya. Dia melangkah menuju ke balik pintu tempat Alan tengah berdiri membelakanginya.
“Alan, bisa ambilkan aku air minum. Airku sudah ….”
“ Revan telah meninggal pagi tadi, jangan sampai Nisa mengetahuinya. Pantau dia kemana pun dia pergi dan dengan siapa saja dia berkomunikasi.” Samar-samar suara dari balik ponsel Alan yang dia ketahui adalah suara milik papanya menghentikan langkahnya, kakinya serasa kaku tak dapat melangkah.
Seluruh tubuhnya tiba-tiba gemetar hingga membuat gelas yang dipegangnya jatuh menghantam lantai hingga hancur berkeping-keping.
“prang….” Alan yang menyadari keberadaan Nisa di dekatnya segera mematikan ponselnya dan menghampiri atasannya yang tengah menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“nona Nisa.” Alan segera menangkap tubuh Nisa yang tengah oleng, dia begitu terguncang hingga tak dapat menahan dirinya.
“apa itu benar, Alan?” Alan hanya terdiam membisu dengan kepala membungkuk ke bawah saat mendengar pertanyaan atasannya. Mulutnya seolah terkunci tak dapat menjawab pertanyaan atasannya yang hanya akan terluka jika mengetahui kebenarannya.
“jangan ikuti aku, atau jika kau ingin mendengar kematianku hari ini juga!” Nisa yang sadar tak akan mendapat jawaban dan informasi dari leader baru Alpha Team yang tengah berdiri menunduk dihadapanya segera merebut kunci mobil di tangan Alan seraya berlalu meninggalkannya dan menuju ke arah lift yang akan membawanya ke lantai dasar, lebih tepatnya membawanya ke kenyataan pahit yang menantinya!
Alan hanya dapat menoleh menatap punggung Nisa yang tengah memasuki lift dengan tubuh yang masih gemetar, tubuhnya yang begitu terguncang masih tak dapat menerima kenyataan pahit yang hanya akan menambah luka dihatinya yang semakin menganga karena ulah keluarganya.
“biarkan nona Nisa menyetir sendiri. Dia butuh waktu buat sendiri untuk menenangkan pikirannya. Tetap awasi kemana pun dia pergi, tapi jangan sampai ketahuan sama nona. Oh yah segera kirim data-data orang yang berkomunikasi dengan nona hari ini.” Ujarnya seraya menekan earpiece pada telinganya yang langsung diangguki oleh anggota Alpha team yang tengah tersebar untuk berjaga di perusahaan yang berlantai empat puluh tersebut.
Alan yang masih setia berdiri di depan ruangan Nisa mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku jas yang digunakannya. Dia menatap lekat-lekat benda kecil persegi yang merupakan sebuah flashdish.
“semoga nona akan menyadari ketulusan tuan Brawijaya pada nona. Dengan ini, nona akan tahu jika tuan sangat menyayangi nona dan ingin yang terbaik untuk nona dalam hal apapun.” Alan kembali memasukan benda yang dipegangnya pada saku jas hitamnya seraya melangkah menuju ke lift yang sebelumnya digunakan oleh atasannya setelah mendengar dari earpiece yang setia menempel ditelinganya jika atasannya telah meninggalkan perusahaan dan tengah mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi.
🌼🌼🌼
#cuap-cuap author
Gimana part ini?
Udah dapat feel.nya nggak?
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya?
Sebelumnya author ucapkan terima kasih kepada pembaca yang setia dengan cerita ini❤big thanks
Maapkeun yah jika kata-katanya masih banyak yang typo😁 harap dimaklumi karena masih pemula dalam dunia kepenulisan
_TO BE CONTINUE_
Jangan lupa vote dan komentarnya, dan juga saran kalian sangat membantu author dalam dalam memperbaiki tulisannya agar lebih baik lagi🌼big thank💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Serpihan Cinta Dalam Harapan
ChickLitDunianya runtuh, Tubuhnya rapuh, Pikirannya kacau, Hatinya pedih, Dia pun goyah. Itulah yang terjadi pada An-Nisa putri Brawijaya, seorang putri konglomerat sekaligus pewaris Brawijaya Group, hingga menyebabkan dirinya harus duduk di kursi roda sela...