#1

170 13 0
                                    

Sejenak mata mereka saling berpandangan, tatapan nanar yang terpancar jelas dari sorot mata Nisa bak mata pisau yang memancap di dada Brawijaya dan Farah, orangtua Nisa.

“aku kembali kesini untuk mengambil apa yang sudah menjadi hak aku dan sekali lagi aku tegaskan pada kalian.” Nisa menatap seluruh anggota keluarganya yang terus saja menatap Nisa dengan iba.

“aku bukanlah Nisa yang yang dulu, bukan Nisa anak kalian, bukan Nisa kemenakan kalian, dan bukan Nisa keluarga kalian. Karena bagiku, kalian semua orang asing yang hanya ditakdirkan sedarah dan berada di sekelilingku.”

“Nisa.” Farah melangkah mendekati Nisa dan berniat untuk memeluk putri yang sangat disayanginya itu namun bukannya pelukan hangat yang diterimanya, justru Nisa pergi meninggalkannya dan berjalan menuju ke lift yang akan digunakannya untuk sampai ke kamarnya.

Brawijaya langsung meraih tubuh istrinya itu ke dalam pelukannya, Farah hanya pasrah dengan tetesan bening jatuh dari pelupuk matanya dan membasahi kemeja suaminya.

“Nisa telah berubah mas, dia bukan Nisa kita yang dulu.” Gumamnya.

“aku tahu, ini kesalahan kita semua. Kita berikan saja waktu untuk Nisa, dia juga tidak bisa menerima kita secepat itu.” Brawijaya mencoba menenangkan istri yang sangat dicintainya.

“kasihan Nisa, dia pasti sangat menderita. Semua itu sangat jelas terpancar dari sorot matanya, dia seolah telah berubah menjadi orang lain. kembalikan Nisaku yang dulu ya tuhan, kembalikan putri kecilku, penyemangat hidupku” Ujar Brawijaya dalam hati.

Sementara itu, semua orang nampak syok dengan perubahan Nisa. Padahal mereka semua berharap bisa memberikan pelukan hangatnya pada Nisa yang selama ini terpendam, namun rupanya reaksi yang diberikan oleh Nisa rupanya berbeda dengan yang diharapkannya.

“memang tak mudah bagi Nisa untk menerima ini semua, tapi kita harus memperbaiki hubungan yang telah diputuskan olehnya. Bagaimana pun dia adalah cucuku.” Sahut papa Irham seraya pergi meninggalkan meja makan.

Semua orang pun melakukan hal yang sama, nafsu makan tiba-tiba hilang.

Sementara itu Nisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam suatu ruangan yang sangat dirindukannya.

Sebuah kamar yang begitu besar dengan nuansa abu-abu dengan ornamen klasik menambah kemewahan kamar Nisa.

“ruangannya masih saja sama.” Gumam Nisa seraya menyusuri tiap inci yang berada di ruangannya tersebut.

Nisa menjatuhkan tubuhnya di atas kasur king size miliknya seraya memejamkan matanya.

“aku benar-benar telah kembali.” Gumamnya seolah tak percaya jika dirinya benar-benar telah kembali ke rumah tempat dimana dirinya tumbuh besar.

Sementara itu di ruangan yang berbeda, nampak dua orang tengah mengotak atik keyboard computer dan mengawasi gerak-gerik Nisa.

“rupanya kesedihan masih bersemayam di hati kamu.” Revan hanya menepuk-nepuk bahu seorang pria yang tengah menatap wanita yang terpampang jelas dihadapannya, dia sedang memutar kembali saat Nisa mulai bertemu kembali dengan keluarganya.

“raganya memang telah kembali, tapi aku rasa hatinya belum seutuhnya kembali.” Arka hanya mengusap gusar wajahnya, namun Revan terus saja menyemangatinya dengan menepuk-nepuk bahunya.

“memang sangat sulit untuk mengembalikan Nisa tapi aku percayakan itu padamu Arka, aku percaya hanya kamu yang bisa mengembalikan Nisa dan hanya kamu yang dibutuhkan Nisa saat ini. Meskipun butuh waktu untuk mendekati dia, namun percayalah dia akan melihatmu setelah mengetahui segala perjuanganmu untuk dia.” Revan melangkahkan kakinya pergi keluar dari ruangan yang di penuhi oleh computer yang semuanya memperlihatkan segala penjuru ruangan di kediaman Brawijaya.

Serpihan Cinta Dalam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang