#1

223 16 0
                                    

Semenjak kepindahan Nisa ke rumah Sania dan Debran, dia hanya terus-terusan berada di kamar.

Debran sengaja melarangnya untuk keluar rumah karena dia takut terjadi sesuatu pada Nisa, wanita yang telah dianggapnya sebagai adiknya sendiri.

“tok…tok…tok.”

“tok…tok…tok” sekali lagi Debran mengetuk pintu Nisa, namun masih taka da respon.

“Nis.” Debran langsung bergegas masuk ke dalam kamar karena takut tejadi apa-apa pada Nisa karena dia tak menyahut panggilan Debran.

Padahal biasanya dia selalu menjawab panggilan orang-orang yang akan memasuki kamarnya meskipun dengan suara yang tak jelas.

Debran masuk ke dalam kamar seraya melihat ke sekelilingnya, ruangan begitu dingin dan nampak sangat gelap karena tak sedikit pun caya masuk ke dalam ruangan ini.

Gorden yang menutupi lapisan jendela masih saja tertutup sehingga menghalangi cahaya matahari masuk.

Sontak mata Debran langsung menangkap sosok perempuan yang sedang duduk di pojok ruangan dengan kursi roda yang tengah terbalik di sampingnya.

“Nisa.” Debran langsung menghampiri Nisa, namun langkahnya terhenti saat melihat dengan jelas beberapa serpihan kaca berhamburan di hadapan Nisa.

“Sania.” Teriak Debran dengan nyaringnya.

Debran pun langsung menghampiri Nisa dengan memperhatikan langkahnya agar tak menginjak serpihan kaca yang bertebaran.

“kamu kenapa Nis.” Dia langsung memeluk Nisa dengan eratnya, dilihatnya jari manis Nisa terdapat bercak darah.

Nisa hanya terdiam membisu dengan berurai air mata.

“kamu tidak bisa tidur lagi.” Debran mengusap wajah Nisa yang dipenuhi air mata, ditatapnya wajah Nisa yang semakin pucak dengan kantung mata yang terlihat dengan jelas.

“maafkan aku Nis, aku belum bisa menjagamu dengan baik.” Debran menggenggam kedua tangan Nisa dan menciumnya seraya menagis tersedu-sedu.

“maafkan aku.”

Betapa terkejutnya Sania ketika memasuki kamar Nisa, terlebih lagi saat melihat kakak satu-satunya menangis seraya menggenggam tangan sahabatnya Nisa.

Padahal setaunya, Debran adalah laki-laki yang tak pernah sekalipun namanya menangis, namun berbeda dengan apa yang dilihatnya saat ini, Debran terlihat sangat rapuh melihat kondisi Nisa yang begitu menyedihkan.

Sementara itu para asisten rumah tangga mereka langsung membersihkan pecahan-pecahan kaca yang masih berserakah di lantai.

“Nisa.” Sania langsung berhambur memeluk sahabat yang sangat disayanginya.

“kamu enggak apa-apa kan Nis?” Nisa hanya dapat tertunduk.

“San, tolong ambilkan sarapan Nisa yah. Sekalian dengan obatnya. Setelah itu hubungi dokter pribadi kita.” Mendengar perintah dari sang kakak, Sania langsung bergegas keluar dari kamar.

Sementara itu, Debran mengangkat tubuh Nisa ke atas tempat tidur, tak lupa dia mengobati jari Nisa yang tengah terluka.

“maafkan aku kak.” Nisa akhirnya membuka suaranya.

“shut, kamu jangan ngomong kayak begitu, kakak ikhlas nolong kamu karena kakak sayang sama kamu. Kamu itu sudah seperti Sania bagi kakak.” Nisa hanya dapat menahan isak tangisnya mendengar ucapan Debran.

Bagaimana pun dia sudah sangat merepotkan Sania dan kakaknya.
Tak berselang lama, Sania datang bersama dengan seorang laki-laki ber-name tage dr. Chandra.

Setelah memeriksa dan memberi obat pada Nisa, Nisa pun tertidur.

Terdengar dari dengkuran-dengkuran halus pertanda dia telah tertidur dengan nyenyak.

Semenjak kepindahan Nisa ke rumah Sania, selain kondisi tubuh yang semakin memburuk, hampir tiap malam kesulitan untuk tidur karena selalu mimpi buruk tentang keluarganya.

Kejadian-kejadian bersama dengan sang mantan tunangannya selalu menjadi mimpi buruk baginya.

Sehingga membuat Nisa harus terbangun ketika tengah malam dan membuatnya menderita karena terus-terusan duduk di pojok kamar dalam keheningan malam.

Sejak kejadian itu, akhirnya Sania dan Debran mengetahui mimpi-mimpi yang selalu mendatangi Nisa hampir tiap malamnya hingga membuatnya sulit tidur dan hanya dapat duduk sambil terus-terusan menangis.

Nisa pun tak pernah menceritakan apa yang dialaminya pada Sania dan Debran karena dia merasa telah terlalu banyak merepotkan keduanya.

Oleh karena itu tanpa diketahui Nisa, Debran selalu tidur di kamar Nisa tanpa sepengetahuannya.

Ini semua dia lakukan untuk jaga-jaga jangan sampai terulang kembali kejadian yang sama yang sangat mengkhawatirkan bagi Sania dan Debran.

Agar tak diketahui oleh Nisa, Debran sengaja masuk ke kamar Nisa pada saat tengah malam sehingga Nisa sudah tertidur dan keluar dari kamar Nisa menjelang subuh sehingga Nisa tak mengetahui keberadaan Debran di kamarnya.

Debran pun meletakkan sofa yang lebih besar untuk tempat dia tidur selama di kamar Nisa, tentu saja dia dan Sania mengarang cerita agar Nisa tak curiga.

“kak.” Perlaha-lahan Sania masuk ke kamar Nisa dengan mengendap-endap agar tak membangunkan Nisa.

“gimana keadaan Nisa kak?” sania menghampiri Debran yang tengah duduk di samping kasur Nisa seraya terus memandangi wajah Nisa tanpa berkedip sedikit pun.

“yah kamu bias lihat sendiri, kondisinya masih sama dek.”

“yah sudah kak, kalau begitu aku turun ke kamar yah. Jaga Nisa baik-baik, kakak juga jangan lupa istirahat.” Sania mengelus-elus pundak Debran sebelum pergi meninggalkan kamar Nisa.

Sepeninggal Sania, Debran masih saja setia duduk seraya menatap wajah Nisa yang tengah tertidur pulas.

Tak lama kemudian, Debran melihat wajah Nisa yang merasa ketakutan, tubuhnya pun memberikan respon yang sama.

Langsung saja Debran menggenggam sebelah tangan Nisa dan tangan yang satunya mengusap-usap puncak kepala Nisa, sesaat kemudian Nisa kembali damai dalam tidurnya.

Hal itu yang terus menerus dilakukan oleh Debran ketika melihat wajah Nisa yang seolah mendapatkan mimpi buruk yang terkadang membuatnya menangis terisak-isak dalam tidurnya.

Suara azan subuh berkumandang membuat Debran bangun dari tidurnya, sambil mengucek matanya dia memperhatikan Nisa yang masih bergelut di dalam selimut menikmati tidur nyenyaknya.

Debran berdiri dari sofa tempatnya tidur seraya mengangkat bantal yang telah digunakannya dan menyimpannya ke kasur Nisa.

Sebelum keluar dari kamar Nisa, Debran memperbaiki selimut yang menutupi tubuh Nisa yang melorot ke perutnya dan menariknya hingga ke lehernya.

“morning Nisa.” Gumamnya saat melihat raut wajah Nisa yang seolah-olah tersenyum dalam tidurnya.

“mimpi indah dek, lupakan semuanya yang membuatmu menderita, bahagiakan hatimu.” Bisiknya seraya membungkuk dan mengecuk singkat puncak kepala Nisa seraya berlalu keluar dari kamar.


🌼🌼🌼

#cuap-cuap author

Gimana part ini?

Udah dapat feel.nya nggak?

Penasaran dengan kelanjutan ceritanya?

_TO BE CONTINUE_

Jangan lupa vote dan komentarnya, dan juga saran kalian sangat membantu author dalam dalam memperbaiki tulisannya agar lebih baik lagi🌼big thank💚

Serpihan Cinta Dalam HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang