"Gue lagi chatan sama Saza," ucap Jea. Seketika Riddan langsung menghentikan mobilnya dan mengambil ponselnya dan mengecek ponselnya.
"Lo kok gak bilang-bilang?" tanya Riddan sambil mematikan ponselnya lalu menaruh ponselnya di tas.
"Kenapa? Mau marah?" tanya Jea balik. Riddan pun hanya bisa diam dan melajukan kembali mobilnya menuju kafe yang sering mereka kunjungi dulu.
"Seberapa deket lo sama Saza?"
"Je, jangan bahas dia. Please," kata Riddan lembut. Jea pun tersenyum sinis lalu memalingkan wajahnya ke arah luar.
"Gak usah ke kafe. Kita balik aja. Gue gak mood," kata Jea tanpa menatap Riddan.
"Jangan gitulah. Udah hampir sampai ini," kata Riddan. Tak lama kemudian, mereka sampai di kafe. Riddan keluar dari mobil dan disusul oleh Jea. Mereka pun masuk ke dalam kafe.
Kafe Sunshine namanya. Kafe ini bernuansa terang, seperti namanya. Dulu setiap mereka pulang dari sekolah, seringkali mereka mampir di kafe ini dan nongkrong hingga malam. Selain karena tempatnya nyaman, kafe ini ada spot foto yang sangat bagus. Riddan selalu menjadi fotografer dadakan Jea hingga berjam-jam. Namanya juga perempuan, kalau berfoto itu pasti lama. Begitulah Jea.
Di kafe ini mereka selalu memesan makanan yang sama karena kesukaan mereka sama. Jus alpukat dan vanila cake. Kadang-kadang mereka memesan satu cake saat Jea bilang sedang diet.
"Mau mesen menu baru?" tanya Riddan.
"Enggak. Yang biasa aja."
Mereka duduk jauh dari jendela karena Jea tidak suka duduk di dekat jendela. Panas katanya. Setelah Riddan memesan, pesanan mereka pun datang. Jus alpukat dan vanila cake itu terlihat menggugah selera. Sebelum memakan cake itu, Jea celingak-celinguk dulu, berjaga-jaga siapa tahu ada yang memotretnya diam-diam.
Untung saja kafe sedang sepi, hanya ada beberapa orang. Ini juga alasan mereka sering ke sini. Kafe ini sepi dari pengunjung karena di sebelah kafe ini terdapat dua buah kafe yang jauh lebih bagus.
"Sepi banget," kata Jea sambil mulai memakan kuenya.
"Katanya hampir bangkrut," balas Riddan.
"Yahhh ...."
"Kalian kok gak bangunin gue sih?" tanya seseorang yang tiba-tiba datang menghampiri mereka.
"Gavin? Ngapain lo di sini?" tanya Jea heran saat melihat Gavin yang seperti orang baru bangun tidur.
"Gue tidur di mobil tadi, eh tahu-tahu udah di sini," kata Gavin polos sambil menarik kursi yang ada di samping Jea. Kemudian Gavin duduk dengan santainya.
"Mobil gue?" tanya Riddan.
"Ya iya," jawab Gavin santai.
"Apa?!" jerit Riddan sambil berdiri dan memandang Gavin dengan tatapan tajam.
"Napa sih?" tanya Gavin heran. Gavin ini benar-benar tidak tahu situasi. Sudah tahu Riddan akan meledak sebentar lagi dan ia malah bersikap santai.
"Lo ngapain di mobil gue? Gimana lo masuk?" tanya Riddan tidak santai. Ia pun kembali duduk dan berusaha menenangkan dirinya karena di sini tempat umum. Tidak mungkin ia akan marah-marah seperti orang gila pada orang gila seperti Gavin.
Gavin menyengir lebar. "Ya pas kalian masuk mobil, gue diem-diem ikut masuk dong. Tujuan gue pengin ngikutin kalian eh malah ketiduran," tuturnya.
"Pergi lo! Gue alergi lihat lo, tahu? Ganggu aja," usir Riddan sambil mengarahkan garpu pada Gavin.
"Gue mau deket-deket sama pacar gue, masa lo tega ngusir gue?"
"Pacar lo? Siapa?" tanya Jea saat ia tahu maksud pembicaraan Gavin. Itu pasti dirinya.
"Lo lah."
"Maksud lo apa?" tanya Riddan.
"Nah gue ceritain gimana gue bisa pacaran sama Jea. Jadi gini-"
"Jangan ngarang deh lo," ucap Jea sambil mencubit tangan Gavin agar menghentikan pembicaraannya.
"Jadi gini, tadi tuh gue ngasih dia minuman, tapi di botol minuman itu udah gue kasih note. Kalau dia minum minuman dari gue, berarti dia jadi pacar gue. Terus itu dia muntahin setelah dia minum semuanya. Muntahin semua sampai empedu katanya. Ngakak gak sih?" tutur Gavin yang diakhiri dengan tawa yang meledak-ledak. Hal itu membuat pengunjung di sana menoleh karena heran.
Sementara Jea dan Riddan menatap Gavin dengan tatapan datar. Mereka bingung karena melihat Gavin yang tertawa padahal tidak ada hal yang lucu sama sekali. Karena menyadari hanya dirinya yang tertawa, Gavin pun menghentikan tawanya perlahan. Kemudian seketika ia terdiam hingga keadaan menjadi hening.
"Napa lo diem? Kesambet setan?" tanya Riddan. Gavin tidak menjawab dan tetap diam. Kemudian Riddan menepuk jidatnya karena teringat sesuatu. "Oh iya, gue lupa. Lo kan setannya. Mana mungkin setan kesambet setan," tambahnya.
"Jahat banget lo, Kak," kata Gavin sambil memasang wajah cemberutnya.
"Gue bukan kakak lo. Jangan panggil gue kayak gitu, setan."
"Berisik tahu gak? Gue lagi makan ini malah kalian ribut. Buat nafsu makan gue hilang," protes Jea sambil menatap kedua cowok itu dengan tatapan tajam.
"Je, ayo pergi," ajak Riddan sambil berdiri. Kuenya belum habis dan masih tersisa setengah. Begitu juga dengan Jea. Bahkan kue milik Jea lebih banyak tersisa.
"Kuenya?"
"Nanti gue beliin yang lebih enak. Ayo pergi!" Kali ini Riddan menarik tangan Jea agar segera pergi dari kafe dan meninggalkan Gavin.
🍄🍄🍄
Saat makan malam, lagi-lagi Gavin datang ke rumah Riddan. Hal itu membuat Riddan amat kesal dengan Bianca yang mengizinkan Gavin masuk. Padahal ia sangat tidak suka melihat Gavin.
"Bisa gak sih satu hari aja gue gak ketemu setan kayak lo?" tanya Riddan memukul meja sedikit kuat hingga menimbulkan suara gebrakan. Hal itu membuat Jea dan Bianca terkejut.
"Tuan," tegur Bianca sambil menatap Riddan dengan tatapan tajam. Riddan langsung menyantap kembali makanannya sambil menggerutu dalam hati.
Mereka sedang makan tadinya dan Riddan malah tiba-tiba memancing keributan lagi. Ralat, tidak memancing keributan, tetapi ia sendiri yang ribut. Padahal Gavin santai-santai saja dengan tidak tahu malunya menyantap makanan.
"Gue takut sendirian, tahu? Bianca lama banget dateng ke rumah padahal udah malem," kata Gavin lalu memakan sesendok nasinya.
"Lo 'kan tinggal telepon. Lagian kalau lo takut tinggal sendiri, lo tinggal sana sama mama lo. Ribet banget," omel Riddan sambil mendorong piring yang sudah kosong karena ia sudah selesai memakan semua makanannya.
"Tujuan gue tuh tinggal sama lo, Kak. Biar kita bisa akur gitu," ucap Gavin dengan nada menggelikan.
"Gue bilang jangan panggil gue kayak gitu. Gue bukan kakak lo!"
"Jadi, Bianca tiap malem gak ada di sini karena dia tinggal di rumah lo, Vin?" tanya Jea.
"Iyap," jawab Gavin sambil mengangguk dan tersenyum.
"Lo takut tinggal sendiri?" tanya Jea lagi.
"Iyap," jawab Gavin lagi. Selang beberapa detik kemudian Gavin langsung tersadar dengan ucapannya. "Eh, enggaklah! Gue tuh cuma gak suka aja sendirian di rumah yang gede kayak gitu. Gue kan pengennya tinggal sama kakak gue tersayang," ralatnya.
"Gue hajar lo kalau manggil gue gitu lagi," ancam Riddan sambil menatap Gavin sinis. Kemudian ia pun beranjak dari duduknya dan pergi ke kamarnya. Kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang dulu karena Jea sudah mengambil alih kamar itu.
***
TBC …
Repost on Thursday, 11 Februari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Impromptu Couple (END)
RomanceJea adalah sahabat Riddan. Sementara Saza adalah gadis yang disukai Riddan. Jea tidak suka dengan gadis itu karena merebut Riddan darinya. Kemudian Jea bekerjasama dengan Gavin yang katanya suka pada Saza. Mereka ingin menghancurkan hubungan Riddan...