Part 38

797 57 7
                                    


Malam pun telah tiba. Tidak ada tanda-tanda Riddan keluar dari kamar. Sejak siang tadi Jea tiduran di sofa untuk menunggu Riddan keluar dari kamar.

Sambil menangis dalam diam, Jea mencomot keripik pedas terbungkus plastik yang ia letakkan di perutnya. Menangis juga butuh tenaga, bukan?

Jea memandang kosong ke atas sambil sesekali mengusap air matanya yang mengalir ke pelipisnya karena posisi tidurnya terlentang.

"Gue kesepian," gumamnya sambil menarik napas dengan keras untuk mencegah ingusnya keluar.

"Pedes banget sih," katanya lagi sambil mengusap air matanya. Keripik pedas dan sakit hati adalah dua faktor yang membuatnya terus menangis seperti ini.

"Haaaaa!!!" Tiba-tiba Jea menjerit terkejut karena lampu yang tiba-tiba padam dan membuat seluruh rumah gelap. Dengan cepat Jea menjilat jarinya yang terdapat remahan keripik yang ada di jari kanannya. Ia bukan takut, hanya terkejut saja.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampiri Jea. "Riddan?"

"Lo gak papa?" tanya Riddan dengan nada khawatir. Walaupun dalam keadaan gelap, Jea bisa tahu Riddan mengkhawatirkannya dari nada bicara cowok itu. Seketika Jea langsung tersenyum sumringah.

"Akhirnya lo keluar juga!" seru Jea sambil memeluk Riddan dengan erat.

Aroma alkohol yang tadi siang melekat di tubuh Riddan kini sudah menghilang dan tergantikan dengan aroma oceanic yang segar dan memabukkan itu, membuat Jea ingin lama-lama memeluk tubuh Riddan.

"Maaf," kata Riddan sembari membalas pelukan Jea dan mengusap-usap kepala cewek itu dengan lembut.

"Gue kesepian, Dan," kata Jea.

Masih dalam posisi berpelukan, tiba-tiba Riddan teringat sesuatu. Ia langsung melepaskan pelukan mereka. "Gavin, Je."

"Kenapa?"

***

Sejak tadi siang, Gavin tidur dengan nyenyak karena semalam ia begadang mengerjakan tugas kuliah. Mau bagaimana pun malasnya Gavin, tugas dosen tetaplah tugas yang harus ia kerjakan. Jika tidak, bisa-bisa nilainya dikurangi dan berakhir tidak lulus ujian.

Di samping itu, ia begadang juga karena patah hati. Padahal tugasnya hanya sedikit dan sudah selesai kemarin sekitar jam sepuluh malam. Karena terus mengingat penolakan Saza, Gavin jadi tidak bisa tidur. Untung saja ia bisa berkonsentrasi saat mengerjakan tugas walaupun sedang patah hati.

Masih dengan mata tertutup Gavin menguap lebar sambil merentangkan kedua tangannya untuk meregangkan otot-ototnya karena terlalu lama tidur.

"Eh, udah malem ya?" gumamnya saat membuka mata. Segera ia meraba-raba saklar untuk menghidupkan lampu di kamarnya yang gelap.

"Loh, kok gak mau?" jerit Gavin. Tangannya terus memencet-mencet saklar lampu yang berujung sia-sia. "Bianca! Bianca!" teriak Gavin dengan kencang. Ia berusaha bangun dari tempat tidur walaupun kakinya terasa sangat lemas. Tangannya terentang ke depan untuk meraba-raba sekitarnya.

"Bianca! Kok rumah gelap? Bianca!"
Gavin terus berteriak dan tidak ada sahutan dari Bianca. Ia mulai panik sendiri. Keringat dingin mulai membasahi wajahnya dan tubuhnya gemetaran. "Bianca! Bianca!"

Bruk!

Gavin terjatuh dari anak tangga ketiga dari bawah. Tubuhnya lemas dan napasnya sudah tidak beraturan. Gavin memandang sekeliling dan tidak melihat satupun cahaya.

Hendak berdiri, tetapi tubuhnya terlalu lemas sehingga ia tidak mampu melakukannya. Gavin tetap dalam posisi jatuhnya dan meringkuk di lantai yang dingin saat malam itu. Ia berharap ada seseorang yang datang dan menemaninya malam itu.

Impromptu Couple (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang