Part 19

790 114 48
                                    

"Makasih ya, Kak. Maaf loh jadi ngerepotin padahal kita baru kenal," kata Saza karena merasa tidak enak.

"Santai aja. Ngomong-ngomong gue sering lihat lo padahal, tapi gak pernah sadar kalau lo tuh secantik ini ternyata," kata Gavin menyelipkan rambut Saza ke telinga.

Saza menjadi gugup karena perlakuan Gavin. Bukan karena ia tertarik dengan Gavin. Justru ia merasa sedikit takut karena ia tidak mengenal Gavin dan ia tidak tahu Gavin orang seperti apa. Walaupun sering mendengar gosip, Saza tidak ingin mempercayai gosip-gosip itu.

"Makasih atas pujiannya, Kak."

"Oh iya, jangan lupa save WhatsApp gue ya. Tadi gue udah chat lo, tapi lo off," kata Gavin.

"Iya, Kak," ucap Saza menurut.

"Ya udah, sana masuk. Kalau besok lo perlu tumpangan, chat gue aja. Biar gue jemput lo," tambah Gavin sambil tersenyum. Sebelum Gavin masuk ke mobilnya, Gavin mengelus rambut Saza dengan lembut.

***

"Udah mendingan?" tanya Riddan setelah Jea meminum obat beberapa jam yang lalu. Riddan bahkan belum sempat mengganti pakaiannya karena Jea merengek meminta ditemani. Jadilah Riddan hanya diam sambil memandang Jea —yang sedang bermain ponsel— dengan pandangan kesal.

"Udah hilang belum sakitnya? Gue belum ganti baju nih."

"Eh, emang mau kemana? Kok ganti baju segala? Lo mau pacaran, ya?" cecar Jea sambil bangun dari posisi tidurnya.

"Enggaklah. Siapa yang mau—" Riddan tidak melanjutkan ucapannya karena ia tiba-tiba teringat dengan Saza. Ia lupa dengan janjinya pulang bersama dengan Saza karena tadi Jea tiba-tiba menelepon dan mengeluh sakit. Tentu saja Riddan panik hingga ia lupa dengan Saza.

"Kenapa?"

"Gue lupa pulang bareng sama Saza."

"Kan rumahnya deket. Palingan dia udah sampai di rumah," kata Jea tidak peduli.

"Gue ke kamar dulu, ya," kata Riddan sambil bangkit dari duduknya.

"Mau ngapain?" tanya Jea.

"Ganti baju," jawab Riddan cepat lalu pergi dari kamar Jea tanpa menunggu persetujuan Jea.

"Ngeselin. Pasti mau teleponan sama Saza," gerutu Jea kesal.

***

Riddan mondar-mandir di kamar sambil menunggu teleponnya dijawab oleh Saza. Berkali-kali ia menelepon, tetapi Saza tidak menjawabnya. Riddan jadi khawatir.

"Halo, Za," kata Riddan saat panggilannya yang ke sekian kali dijawab oleh Saza.

"Halo, Kak."

Setelah mendengar suara Saza, Riddan tidak merasa lega sama sekali karena suara Saza terdengar serak. Seperti orang yang baru saja menangis. "Lo nangis?" tanya Riddan.

"Enggak kok," jawab Saza singkat dengan nada yang terlihat sangat jelas kalau Saza sedang menangis.

"Kenapa nangis? Karena tadi gue ninggalin lo ya? Maaf ya tadi mendadak ada urusan jadi gue lupa." Lupa. Kata itu terus terngiang-ngiang di telinga Saza dan membuat Saza melamun sesaat. "Za."

"Enggak kok. Siapa yang nangis coba?"

Kali ini nada suara Saza terdengar jauh lebih baik. Nada suara Saza sudah normal kembali. Akan tetapi, Riddan tidak tahu kalau Saza sedang menangis dalam diam dan berusaha menormalkan kembali nada bicaranya agar Riddan tidak tahu kalau ia sedang menangis.

"Lagian ngapain aku nangis cuma karena Kak Riddan gak bisa pulang bareng sama aku? Aku gak boleh egois dong. Katanya Kak Riddan ada urusan mendadak," kata Saza yang diakhiri dengan kekehan.

"Syukurlah kalau lo ngerti," kata Riddan lega.

"Kalau boleh tahu, urusan mendadak apa, Kak?" tanya Saza pura-pura tidak tahu.

Riddan terdiam sesaat. Ia menimang-nimang akan berkata jujur atau tidak. Kalau ia jujur, ia takut Saza akan sakit hati saat tahu ia lupa janji karena Jea. Akan tetapi, kalau ia berbohong, ia takut Saza mengetahui kebohongannya.

"Kak Riddan."

"Emmm ... tadi kakek gue tiba-tiba nelepon nyuruh gue dateng," kata Riddan. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbohong karena ia merasa tidak mungkin Saza tahu kebohongannya kalau bukan ia atau Jea yang mengungkapkan kebohongan itu.

"Oh gitu ya?" gumam Saza pelan. Hampir tidak terdengar sama sekali. Saza merasa kecewa karena Riddan telah berbohong padanya. Walaupun mereka baru pacaran, harusnya keterbukaan itu ada agar hubungan tetap terjaga.

"Eh iya, udah dulu ya. Gue mau mandi dulu," kata Riddan.

"Iya, Kak."

Riddan pun memutuskan teleponnya lalu melempar ponselnya ke kasur.

***

"Riddan mana? Dia tahu lo ke sini?" tanya Gavin saat Jea tiba-tiba masuk ke rumahnya.

"Dia lagi tidur palingan," kata Jea, lalu duduk di sofa ruang tamu.

"Lo tadi beneran sakit? Kok kayaknya sehat-sehat aja sekarang?" tanya Gavin karena ragu. Tadi ditelepon Jea seperti orang yang beneran sekarat, tetapi sekarang malah baik-baik saja.

"Ya beneranlah. Lo kira gue akting? Gak perlu kali gue akting di depan lo," kata Jea sambil memutar bola matanya.

"Terus sembuhnya kok cepet banget?"

"Heh! Lo pengin gue sakit lama? Suka lo lihat gue menderita?" tanya Jea sambil melotot kesal. Gavin bertanya seperti itu seolah-olah tidak ingin Jea cepat sembuh.

"Eh, enggak gitu. Yakali gue tega lihat lo menderita. Sayang banget kalau cewek cantik kayak lo tersakiti eaaa," kata Gavin sambil terkekeh.

"Gak usah puji-puji gue. Gue emang cantik. Ntar cantik gue ilang lagi gara-gara dipuji sama playboy kayak lo," kata Jea ketus.

"Eh, sekarang gue bukan playboy lagi," bantah Gavin.

"Terus apa? Gigolo?"

"Bukan anjir! Sadis banget ngatain gue gigolo," elak Gavin sambil memanyunkan bibirnya.

"Terus?"

"Setia boy. Keren, 'kan?" kata Gavin bangga.

"Euh ... iya keren," kata Jea sambil menatap Gavin jengah. "Iyain aja biar cepet," gumamnya yang tidak bisa didengar oleh Gavin.

"Ngomong-ngomong ngapain lo ke sini? Mau nanya reaksi Saza tadi?" tebak Gavin.

"Nah pinter lo. Peka banget," puji Jea sambil menepuk-nepuk kepala Gavin dengan bangga. Seperti perlakuan kakak ke adiknya saja.

"Sakit anjir. Kasar banget sih," gerutu Gavin kesal.

"Bodo amat. Jadi gimana? Ceritain dong. Nangis gak? Mewek gak?"

"Nah iya. Pasti mewek tuh. Tadi aja pas gue anterin dia kayak nahan tangis gitu. Gue bilang ke dia kalau Riddan pulang gara-gara lo sakit, sesuai yang lo suruh. Terus itu gue bilang juga kalau lo tinggal berdua sama Riddan. Syok dianya," tutur Gavin sambil cengar-cengir.

Jea tersenyum puas mendengar cerita Gavin. Ia harap semuanya berjalan sesuai yang ia harapkan.

"Pinter banget lo jadi kompor."

"Ini juga bukan demi lo doang. Demi gue juga. Gue tertarik buat dapetin Saza," kata Gavin sambil tersenyum.

***

TBC …

Repost on Wednesday, March 3rd 2021

Impromptu Couple (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang