21. Betrayal

45 10 0
                                    

"Mungkin sepuluh hari lalu? Karena saat itu aku baru pindah ke desa ini."

Dugaanku benar. Kotak misterius yang berisi benda penting, dan jangka waktu sepuluh hari. Padahal jika melihat sepuluh hari kebelakang, itu adalah hari dimana aku pertama bertemu Cheonsa dan Hyunjin dalam wujud arwah. Hari kecelakaan Hyunjin.

Setelah kupikir lagi, semuanya jadi mulai masuk akal. Kristal itu tidak boleh lecet sedikit saja, atau nyawa kami yang jadi taruhannya. Aku dan Hyunjin seharusnya tidak terlalu lama berjauhan dengan benda itu, tapi ini sudah sebelas tahun lamanya kami tidak tahu menahu soal kristal itu. Kalau melihat jangka waktu kecelakaan Hyunjin dan jatuhnya kotak misterius itu, sepuluh hari. Misalnya kristal itu memang berada di dalam kotak yang dijatuhkan si bocah, otomatis kristal itu akan paling tidak retak sedikit, bukan? Apa mungkin karena itu Hyunjin kecelakaan?

"Sekarang kotaknya di mana?" Aku bertanya pada si bocah yang masih asik makan cokelat pemberianku.

Ia menjawab dengan mulutnya yang belepotan cokelat. "Sepertinya ada pada Pak Pendeta."

Kalau memang begitu, artinya aku harus cepat-cepat temui Cheonsa dan Hyunjin buat bersama-sama minta kotak itu ke pak pendeta.

"Kalau begitu kita kembali ke dalam, yuk?" Aku menggandeng tangan bocah tadi selepas dapat persetujuan darinya. Kaki kami baru mau melangkah kembali ke dalam gereja waktu mendadak ponselku berdering-dering rusuh dari saku celanaku.

Oh, Yoon Harim, rupanya.

"Halo?" aku buka suara waktu kuputuskan buat mengangkat telepon dari Harim.

"Kau sedang apa? Sibuk tidak?" Harim bersuara dari sebrang sana. Aku tahu, kalau Harim sudah bertanya begitu, namanya Harim mau mengajakku hang out karena ia bosan.

"Ah, maaf. Aku sedang keluar hari ini."

Harim di sebrang sana diam buat beberapa saat. "Yah, sayang sekali. Kalau begitu lain kali saja, deh, jalan-jalannya."

Kuhela napas, untung saja Harim tidak mengoceh seperti biasanya. "Oke, kalau begitu. Aku tutup, ya?"

Sambungan teleponku langsung kuputus waktu Harim sudah setuju buat mengakhirinya. Kulanjutkan langkahku menuju dalam gereja dengan masih menggandeng bocah tadi.

"Ya ampun, kamu dari mana saja, sih." Waktu aku kembali ke tempat tadi, ibu bocah itu langsung menghambur memeluk si bocah. Air mukanya kelihatan panik, mungkin karena takut anaknya kenapa-napa.

Sementara aku langsung menghampiri Cheonsa dan Hyunjin untuk wartakan perihal kotak yang dijatuhkan si bocah.

"Aku rasa aku tahu kristalnya di mana," kataku begitu sampai di depan mereka.

Hyunjin langsung merespon, "Serius? Ada di mana?"

Aku mendekat ke arah mereka berdua, menghapus jarak di antara kami supaya percakapan kami tidaj bisa didengar orang lain. "Di kotak yang dijatuhkan bocah itu. Sekarang kotaknya disimpan Pendeta."

"Kalau begitu ngapain kita masih di sini? Kita dikejar waktu, loh," kata Cheonsa.

Cheonsa benar, aku dan Hyunjin tidak punya banyak waktu. Jam pasir di pergelangan tanganku bilang, waktu terakhir kami cuma sampai malam ini, jam dua belas malam. Kami harus cepat-cepat menemukan kristal itu sebelum si iblis, atau kami bakal mati konyol bersama. Ugh---itu opsi yang buruk.

Jadi kami putuskan buat buru-buru temui pendeta di gereja itu. Cuma satu orang yang boleh masuk ke dalam, jadi Cheonsa menunggu di luar, sementara Hyunjin juga memilih mengikuti gadis itu. Ruangan bernuansa maroon langsung menyambut netraku waktu aku dipersilahkan masuk bertemu pendeta. Pria paruh baya itu langsung menyambutku dengan ramah.

✓ Awake | H.HyunjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang