Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Siang itu, langit tiba-tiba saja menangis keras-keras di luar The Shelter. Ruangan yang semula tenang, kini jadi agak berisik oleh suara tangisnya langit dan suara lain---tangisanku. Selepas Cheonsa membuka kembali ingatanku, rasanya mustahil kalau air mataku tidak menerobos keluar begitu saja. Aku terisak-isak sejak tadi dan Cheonsa cuma menatapku dengan pandangan iba-nya.
Cheonsa benar, yang tadi itumenyakitkan sekali.
"A-aku pembunuh," lirihku gemetar. "Aku pembunuh ... aku membunuh Kak Felicia." Tangisku makin pecah. Sedari tadi aku cuma begini, tidak tahu kenapa aku jadi menyiksa diri sendiri dengan terus mengingat soal kejadian itu. Tapi rasanya memang benar-benar sakit. Semua perasaan bersalah seolah dibebankan semua padaku sampai aku tidak sanggup menampungnya.
"Aku sudah bilang 'kan, itu amat menyakitkan buat kau ketahui." Cheonsa yang semula duduk di hadapanku, kini berpindah ke sebelahku. Gadis itu merangkul bahuku dan beri elusan-elusan kecil di sana. "Tenang, Lucy-a. Pikiranmu harus jernih kalau mau tebus kesalahanmu."
Menebus kesalahan. Cheonsa memang pintar memilih kalimat. Dia benar, aku yang salah di sini. Harusnya sejak awal, aku mencegah eomma supaya tidak perlu repot-repot membawaku ke dukun dan membuatku terlibat dengan iblis cuma buat menyembuhkanku. Harusnya dari awal, aku membuat eomma membiarkanku mati saja. Harusnya dari awal, aku mati saja.
Kalau dulu aku mati, pasti Kak Felicia masih hidup sampai sekarang, Hyunjin juga tidak akan terlibat takdir sialan ini. Mereka bakal jalani hidup normal tanpa harus terlibat dengan iblis. Semuanya gara-gara aku dan keserakahanku. Yang iblis itu aku.
"Dengar, Lucy Huang," Cheonsa tiba-tiba bersuara. Kualihkan atensi padanya sampai ia bicara lagi, "Sekarang kau sudah tahu 'kan, benda apa yang harus kalian cari dan lindungi dari iblis itu? Kau harus ingat, kau dan Hyunjin tidak punya banyak waktu."
Aku menghentikan tangisku. Kutengok jam pasir penanda yang ada di pergelangan tanganku. Cheonsa benar, waktu kami tinggal sedikit. Aku tidak punya waktu buat menangisi kejadian masa lalu. Harusnya, kalau aku memang merasa bersalah, aku cepat-cepat temukan kristal itu.
"Di mana aku bisa mencari kristal itu?" tanyaku pada Cheonsa.
"Aku juga tidak tahu di mana dia disimpan. Tapi pertama-tama, kita coba telusuri satu tempat yang jadi awal mula semua ini."
----
Sekarang hari Minggu pagi, dan aku ada bersama Park Cheonsa serta Hwang Hyunjin di dalam kamarku---sedang mengepak beberapa barang buat dibawa dalam ekspedisi kami. Kali ini, kami bakal mengunjungi tempat yang sebelumnya Cheonsa bilang. Aku tidak tahu di mana itu, tapi mungkin itu adalah pedesaan tempat semua kejadian buruk di masa lalu terjadi.
"Kalungnya dipakai, jangan sampai hilang."
Hyunjin mengangguk waktu Cheonsa berikan kalung dengan liontin salib kecil padanya. Katanya, kalung itu bisa membuat Hyunjin dan aku terus terhubung meski bukan di jam dua belas malam atau jam-jam tertentu lainnya.