Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Noona...."
Aku buru-buru menyembunyikan barang temuanku tadi pagi di balik bantal saat Justin mengetuk pelan pintu kamarku.
"Masuklah!" seruku dari dalam, disusul dengan presensi Justin yang mulai memasuki kamarku.
"Kenapa? Bukannya kau harus tidur?"
Justin hanya diam saat kutanya. Wajahnya terlihat kebingungan. Mulutnya juga beberapa kali terbuka, namun ia katupkan lagi seolah ragu ingin mengatakan sesuatu.
Aih bocah ini, sebentar lagi jam dua belas dan aku rasa Hyunjin bahkan sudah muncul sekarang. Aku tidak mau Justin tahu masalahku dan Hyunjin lalu malah ikut campur.
"Justin, noona tidak punya waktu untuk melihatmu bertingkah tidak jelas seperti ini," ucapku sedikit kesal.
Justin mengusap tengkuknya, pandangannya berubah seperti merasa bersalah. "Mian... aku hanya ingin memastikan noona baik baik saja. Belakangan ini noona terlihat seperti banyak masalah."
Aku tersenyum tipis menanggapi ucapan Justin. "Aku baik-baik saja kok. Jangan khawatir, noona hanya kelelahan karena tugas sekolah."
"Jeongmal?"
Aku mengangguk yakin, kemudian beralih mengelus pelan surainya. "Jangan cemas, sekarang kembalilah ke kamarmu."
"Baiklah." Justin mulai melangkahkan kakinya pergi, namun sepersekian sekon kemudian bocah itu kembali berbalik. "Omong-omong noona, apa kebetulan kau bertemu teman lamamu baru-baru ini?"
Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Justin. "Maksudmu?"
"Bukan apa-apa, hanya saja aku seperti melihat teman lamamu baru-baru ini." Justin meletakkan telunjuknya di dagu seolah sedang berpikir. "Sudahlah lupakan, aku akan pergi tidur sekarang," katanya sambil tersenyum lalu menghilang di balik pintu kamarku yang tertutup.
"Luce!"
Aku terperanjat kaget saat Hyunjin muncul mendadak dari balik punggungku. "Yak! Kenapa muncul tiba-tiba seperti itu sih, membuat kaget saja."
Sepersekian sekon kemudian, lelaki itu merangsek duduk di sebelahku. "Apa kau menemukan sesuatu hari ini?" tanyanya.
Aku mengangguk pelan, "Aku tidak tahu kalau sakit bisa membawaku pada sebuah petunjuk," kataku kemudian sambil merogoh bantal untuk mengambil foto yang tadi pagi kutemukan.
"Mwoya?" Hyunjin meraih foto dari tanganku, kemudian membolak-baliknya dengan ekspresi bingung.
Aku memutar mata jengah mengamati pergerakannya. "Hey hey, lihat gambarnya bukan hanya di bolak-balik eoh!"
"Ah... bukankah ini aku? Kenapa kau punya fotoku saat masih kecil? Aih lihatlah, bukankah aku imut sekali, hmmm?" Hyunjin lagi-lagi menyengir sambil menunjuk-nunjuk wajahnya di foto.
Aku berdecak malas, "Lihat siapa anak yang ada di sebelahmu."
Lelaki itu menurut, menengok kembali lembaran foto itu sebelum terperanjat kaget. "Ini... mirip denganmu, Lucy-a."
"Makannya. Bagaimana bisa aku ada dalam satu frame foto denganmu?" Aku mendengus kesal. Sejak kapan kecepatan otak Hyunjin jadi nol koma nol nol nol satu kilometer per sekon?
"Aneh. Apa sebelumnya kita saling kenal?"
"Aish, kenapa juga ingatanmu harus hilang sih," ucapku kesal. "Pokoknya ayo tanyakan ini pada ibuku."
Hyunjin mengerutkan dahi. "Apa ibumu akan mengatakan rahasia ini? Foto ini saja disembunyikan darimu."
Aku terdiam sejenak memikirkan ucapan Hyunjin. Eomma sengaja menyembunyikan foto ini dariku, jadi mungkinkah ia akan mengatakan yang sebenarnya?
"Apa mungkin ia akan mengaku kalau kutunjukkan foto ini?" aku menerka-nerka.
Hyunjin menggedikkan bahunya. "Entah. Bagaimanapun kita harus tetap mencoba."
----
Pagi selalu punya hal yang kubenci. Udara dingin bukan main yang membuatku harus membungkus erat-erat tubuh dalam selimut, suara melengking eomma yang meneriakkan perintah bangun, serta sayup-sayup cahaya baskara yang masuk kedalam kamar temaramku.
Ugh, aku ingin sakit lagi saja supaya tidak perlu sekolah.
"Bangun. Sudah jam berapa sekarang hah? Cepat mandi dan turun untuk sarapan!" Kalimat itu yang terakhir kudengar sebelum gebrakan pintu menyusulnya.
Aku mengerang pelan, masih dalam kukungan selimut lilac tebal kesayanganku. Mengucek mata sebentar, lantas duduk sambil kumpulkan kesadaran.
Lima belas menit usai bersiap, aku turun ke bawah untuk sarapan. Ada sesuatu yang mengganjal saat melihat eomma. Aku ingin menanyakan soal foto yang kutemukan, tapi hey, aku tahu eomma tak akan semudah itu beri tahu. Apa dicoba dulu saja? Kalau bukan sekarang, mungkin aku tidak akan tahu kebenarannya sampai kapan pun. Tidak ada yang tahu kalau-kalau iblis itu datang lagi dan membunuhku.
"Eomma...." Suaraku pelan saat memanggil eomma, tapi Justin juga ikut-ikutan menoleh padaku.
Ada jeda beberapa detik sebelum aku benar-benar menanyakan soal foto itu pada eomma. "Apa dulu aku pernah punya teman lelaki?"
Dahi eomma mengerut samar. "Kau ini bicara apa sih? Tentu saja punya 'kan?"
"Aniya, bukan itu. Maksudku, seorang teman yang dulu pernah dekat sekali denganku dan tiba-tiba hilang. Seorang teman masa kecil. Apa aku pernah punya yang seperti itu?"
Aku tahu eomma tidak suka mendengar pertanyaanku, alisnya juga menukik tajam saat menjawab, "Jangan tanya aneh-aneh. Sekarang cepat siap-siap ke sekolah. Apa kau tidak lihat sekarang sudah jam berapa, eoh?!"
Benar 'kan kataku. Eomma pasti akan mengelak dan kembali menutup-nutupi sesuatu dariku. "Eommeoni," panggilku tegas. Rasanya hampir tidak pernah kugunakan panggilan itu untuk memanggil eomma, terlalu formal. Tanganku merogoh saku seragam sekolah lantas menunjukkan foto yang kemarin kutemukan pada eomma.
"L-lucy Huang?!" Eomma melotot. Kalau dalam situasi biasa mungkin aku akan takut. Tapi hey, saat ini aku lebih takut mati diserang iblis. Apalagi hidup Hyunjin juga dipertaruhkan disini.
"Jelaskan foto ini padaku, eomma," kataku tajam.
"Lucy Huang! Eomma tidak pernah mengajari kamu lancang, mengerti?! Berikan foto itu pada eomma dan cepat berangkat ke sekolah!"
Aku tersenyum kecut, "Memang benar ternyata. Selama ini ada hal besar yang eomma sembunyikan dariku 'kan? Apapun itu, aku rasa aku kecewa padamu."