Badanku mendadak jadi tidak enak. Siang ini, sehabis makan siang di kantin bersama Harim, perutku mendadak mual dan aku berakhir memuntahkan makanan ku lagi. Kepalaku juga jadi pusing sekali.
Ah, jangan bilang kalau ini berkaitan dengan masalahku dan Hyunjin itu?
"Mau ku antar ke unit kesehatan saja?"tawar Harim padaku.
Well, meski sejujurnya aku tidak terlalu suka berbaring lemah di sana, setidaknya aku bisa ijin tidak mengikuti pelajaran dan tidur dengan bebas di sana.
Aku mengiyakan tawaran Harim. Lalu kami berjalan bersama ke unit kesehatan dengan Harim yang setengah merangkul tubuhku, berjaga jaga kalau nanti aku jatuh atau pingsan.
"Aku harus kembali ke kelas. Kau tidak apa apa 'kan kalau ku tinggal sendiri?" tanya Harim setelah selesai membaringkanku di ranjang unit kesehatan.
"Gwaencanha. Pergilah."
Harim langsung pergi setelah mendengar kalimatku barusan. Sementara aku di sini, mencoba memejam untuk meminimalisir rasa mual yang terus bercokol di perutku.
Ah sialan, timing nya tidak pas sekali. Aku benci kalau harus sakit saat di sekolah seperi ini. Kalau sudah begini, bagaimana aku akan pulang ke rumah?
Jangan mengusulkan nama Renjun untuk mengurusku. Kakakku yang satu itu 'kan tidak bisa di harapkan sama sekali. Sudah pernah ku bilang 'kan, Renjun lebih seperti adikku ketimbang kakakku. Justru Justin yang lebih bersikap seperti kakakku.
Kepalaku bertambah pusing kalau mengingat teka teki penuh misteri yang belum ku pecahkan sampai sekarang. Well, awalnya aku hanya khawatir pada kehidupanku. Tapi sekarang aku juga jadi mengkhawatirkan Hyunjin. Aku yakin bocah itu juga tak ingin mati muda sia sia seperti ini.
Cklek...
Pintu ruang kesehatan terdengar di buka saat aku justru sudah nyaris memasuki alam mimpi. Sedikit demi sedikit, ku buka mataku yang jadi semakin berat.
"Hei, kau baik baik saja?"
Ah, Xiaojun sunbae.
Aku tersenyum samar, kemudian mengangguk lemah, "Aku baik baik saja, sunbae."
"Ah, syukurlah. Tadi aku ke kelasmu untuk menyerahkan urutan acara festival sekolah. Tapi kata gadis yang selalu bersamamu, kau ada di sini," Xiaojun sunbae mengeluarkan kertas berisi rentetan acara festival sekolah kami.
"Maaf sunbae. Kau jadi repot." Aku mencoba duduk, sedikit di bantu oleh Xiaojun sunbae.
Xiaojun sunbae tersenyum, "Harusnya aku yang minta maaf. Bukankah aku yang merepotkanmu?"
"Eyy, jangan merasa seperti itu. Aku tidak apa apa kok." Aku tertawa canggung seraya mengibas ngibaskan tangan di depan wajah, sementara Xiaojun sunbae hanya tersenyum.
Sembari membaca urutan acara yang di berikan Xiaojun sunbae, aku mencoba mengingat ingat, sejak kapan kami jadi dekat seperti ini ya?
"Aku rasa ini sudah bagus." Aku mengembalikan kertas tadi pada Xiaojun sunbae.
"Baguslah. Omong omong, cepat sembuh ya. Masih banyak yang harus kita diskusikan, jadi aku harap kau bisa secepatnya sehat." Xiaojun sunbae tersenyum sebelum pamit dan meninggalkanku dan ruangan ini.
Tapi kenapa rasanya ada yang aneh?
—
"Kau pernah jatuh cinta?"
Aku mendongak, menatap Hyunjin yang termenung di meja belajar ku saat ia bertanya padaku. "Tidak."
Jawaban pasti. Memang apa pentingnya jatuh cinta? Itu merepotkan. Ah, mungkin aku sudah merasakannya. Atau mungkin belum? Kalau perasaanku pada Hendery sunbae bisa di sebut cinta tidak ya?
"Wow, serius?" Hyunjin berdecak heran.
Oh, omong omong sekarang kami sedang bersantai. Belum jam dua belas malam. Malah baru jam sembilan. Ada manfaatnya juga sih, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk berdiskusi dengan si bocah berbibir tebal ini.
"Kita mau bagaimana lagi?" Tiba tiba Hyunjin membuka suara.
"Bagaimana apanya?"
"Ya bagaimana? Masalah kita. Kau sudah menemukan petunjuk apa?"
Aku tersenyum miris, "Maaf ya kawan. Aku belum dapat apa apa."
"Hey, kau bilang tidak mau mati. Masa sampai sekarang belum ada pencerahan. Bagaimana sih?!"
Aku mencebik kesal, lantas melemparkan bantalku pada Hyunjin. Sayangnya tidak kena, karena bantal itu menembus tubuh Hyunjin.
"Kau! Memang apa usahamu huh?! Membantu saja tidak!"
Hyunjin diam, akupun juga begitu. Sejenak terlintas ingatan soal mimpi buruk yang akhir akhir ini menghantuiku. Kenapa aku merasa mimpinya nyata sekali?
"Hyunjin, sebelum ini... apa kita saling kenal?" tanyaku ragu.
Hyunjin menatapku polos, "Kau lupa kalau ingatanku terhapus?"
Aku mendesis, "Lihat! Siapa yang tidak berguna di sini eoh?!"
"Iya, maafkan aku deh. Aku memang tidak berguna, merepotkan, biang masalah. Hidupku juga tidak lama lagi."
Aku melotot mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibir Hyunjin. Ah, sibal. Perasaan bersalah jadi mulai menggerogoti hatiku.
"Hei, jangan bilang begitu lagi," kataku pelan.
Kemudian kami hening. Lagi.
Tiba tiba saja Hyunjin beringsut naik ke atas kasur, memposisikan dirinya tepat di sebelahku, lalu dengan seenaknya menyandarkan kepalanya pada bahuku.
"Ah, enaknya," gumamnya pelan setelah itu.
Aku merotasikan mata malas. Tapi tetap saja kubiarkan Hyunjin menyandar. Jarang jarang 'kan kami kontak fisik seperti ini.
"Aku sebenarnya ingin tahu, kalau aku pergi nanti, adakah orang yang akan sedih?" lirihnya tiba tiba.
Aku seketika menoleh ke arahnya, "Yak! Tentu saja ada! Kau tidak lihat betapa kami semua mengkhawatirkanmu huh?!"
"Ah~ baguslah kalau begitu. Aku pasti akan pergi dengan perasaan lega." Hyunjin tersenyum tipis lalu memejam. Padahal aku tahu, Hyunjin tidak butuh istirahat karena dia 'kan bukan manusia.
Kalau di perhatikan dari dekat seperti ini, Hyunjin itu tampan sekali ya? Bibir tebal, alis tebal, mata sipit, hidung mancung, kulit seputih susu. Bagaimana bisa aku buta akan orang tampan sepertinya selama ini?
"Hyunjin, aku tiba tiba makin penasaran tentangmu. Kau tidak berniat menceritakannya padaku?" tanyaku mantap.
Hyunjin mengangkat kepalanya lantas menatapku penuh tanda tanya, "Tentang apa?"
"Ya tentangmu. Semuanya. Apa yang kau sukai dan tidak sukai, misalnya."
Hyunjin meletakkan jari telunjuk di depan dagunya, seolah sedang memikirkan jawaban yang akan ia berikan padaku. "Aku tidak suka orang yang berbohong," katanya kemudian.
"Hanya itu?"
"Tidak," Hyunjin menjeda lalu menatapku dalam dengan iris legamnya, "Aku suka seorang wanita yang ceria, jujur, cerdas dan bijak dalam menghadapi masalah. Kau contohnya," lanjutnya lalu mengedipkan sebelah matanya.
Aku berdecih, sedangkan Hyunjin terkekeh. Ternyata berinteraksi dengan Hyunjin itu menyenangkan ya. Padahal sebelumnya kami jarang berinteraksi karena aku pikir Hyunjin sosok yang dingin.
Tiba tiba dekat dengan Hyunjin seperti ini, aku jadi merasa ada yang aneh pada perasaanku? Perasaan apa yang tidak kumengerti saat ini?
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
✓ Awake | H.Hyunjin
Misterio / Suspenso"αωαĸe, αnd мeeт нιм every мιdnιgнт." Di usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Lucy mendadak dapat undangan ke sebuah tempat, sekaligus undangan yang akan merubah hidupnya dan hidup satu orang lagi-teman sekelasnya, Hwang Hyunjin. ©sugarl...