10

1K 63 7
                                    

Sesampainya dihalaman rumah, Aura langsung turun dari motor hitam nya dan menarik Azka kedalam rumahnya. Azka kira Aura akan menyuruhnya duduk di kursi yang ada dirumah itu. Ternyata tidak, Aura menariknya kesebuah ruangan yang Azka sendiri tidak tahu itu tempat apa.

"Kemana Ra?" Azka bertanya  saat Aura sedang sibuk membuka kunci pintu itu.

"Kamar gue"

"D-disini aja Ra" Sial! Kenapa ia jadi gugup seperti ini.

Aura menutar badan, menatap onjek didepannya dengan tatapam datar setelah itu menarik tangan Azka memasuki kamarnya. Hal yang pertama Azka liat dalam ruangan ini adalah sebuah ranjang. Ruangan ini hanya berisi sebuah ranjang kecil tanpa ada Lemari ataupun meja rias di dalamnya.

"Sebelum itu, lo harus janji. Cukup lo sendiri yang tahu tentang ini"

Azka menganggukkan kepalanya walaupun tidak paham apa maksud Aura.

Aura menekan sebuah tombol berwarma biru, ranjang kecil tadi terbelah, setelah itu membuka kekanan dan kekiri. Belum selesai rasa takjubnya, Aura kembali menekan tombol berwarna hijau hingga keramik putih itu terbuka. Menampakkan sebuah pintu besi. Aura kembali menekan tombol berwarna hitam, pintu itu terbuka sempurna, memperlihatkan tangga yang menghubungkan ruangan ini dengan ruangan bawah.

Aura mengajak Azka menuruni tangga itu. Dengan sedikit parno, Azka mengikuti aura walaupun penglihatannya tidak jelas karena hanya ada cahaya remang disini.

Azka menutup matanya ketika sampai ditangga paling bawah karena cahaya lampu yang menyilaukan matanya. Mulutnya sedikit terbuka, sangat takjub melihat interior di ruangan ini. Tampak elegan dan mewah dalam waktu bersamaan. Ditambah dengan perladuan cat putih dan abu yang memberi kesan elegan.

"Ini rumah gue" Ucap Aura, ia tahu bahwa Azka sedang bertanya-tanya saat ini.

Sebelum Azka bicara, Aura lebih dulu menarik Azka untuk duduk di sofa berwarna abu yang terletak diruangan itu. Dari sini, Azka bisa melihat banyaknya pintu yang ia yakini adalah kamar. Didepan sofa ini ada sebuah tv besar, bagian belakang sofa terdapat meja makan. Berjarak sekitar lima meter dari meja makan terdapat kaca pembatas ruangan ini dengan dapur.

Aura menarik laci kecil yang ada dimeja didepannya. Ia mengeluarkan alkohol, kapas dan obat merah untuk mengobati luka Azka

"Sssst" Ringisan Azka langsung terdengar ketika Aura mulai menyapu kapas ditangannya kewajah Azka. Aura meniup luka yang baru diobatinya itu. Ia tahu Azka merasa perih, karena itu ia meniupnya untuk mengurangi perih yang dirasakan Azka.

Setelah selesai Aura kembali menyimpan obat otu ditempat semula. Salah satu Art Aura datang menyuguhkan minuman dan cemilan untuk mereka berdua.

"Kenapa lo sembunyiin rumah lo?"

Aura menyerngitkan dahinya mendengar ucapan Azka " Tanpa gue sembunyiin rumah gue emang sembunyi"

"Bukan. Maksud gue, kenapa rumah diatas kayak gitu? Lo mau orang-orang mikir kalau lo itu orang biasa?"

"Oh nggak. Rumah diatas cuma buat penanda aja kalau gue punya rumah. Gue emang orang biasa Ka"

"Makasih udah nolongin gue" Ucap Azka , tulus.

"Iya sama-sama"

"Aroon itu bos nya Wira"

"Maksud lo Ka?"

Azka menghela napasnya " Wira itu mata-matanya Aroon. Dia nyuruh Aroon buat mata-matain geng gue"

Azka menoleh menatap Aura yang juga menatapnya "Kalau masalah lo sama Wira apa?"

"Gue juga nggak tahu. Dua minggu lalu, dalam satu minggu itu dia selalu nyari gara-gara sama gue"

"Nyari gara-gara gimana?"

"Ngempesin ban motor gue"

"Mulai sekarang lo harus hati-hati sama Wira. Gue yakin dia bakal kembali nanti"

"Iya"

"Satu lagi, Aroon itu lebih berbahaya dari apa yang lo pikirin. Mulai sekarang, kalau Aroon ganggu lo, bilang aja ke gue atau ke temen gue. Intinya lo harus jaga-jaga"

Aura mengangguk "Iya"

Tanpa lo sadari, gue jauh lebih berbahaya dari Aroon Ka.

***

Saat mengantar Azka pulang, sinar senja yang memikat membuat mereka lebih memilih menikmati matahari yang hampir terbenam. Azka bukan penyuka senja begitu juga Aura. Tapi, untuk saat ini mereka ingin menikmati keindahan sesaat itu.

Aura duduk di pembatas jembatan yang di bawah nya terdapat aliran sungai deras. Azka lebih memilih berdiri di sampingnya. Tangan kanan cowok itu memegang baju Aura untuk berjaga-jaga.

Azka yang memang dasarnya cuek dan Aura yang pendiam menjadikan suasana canggung saat ini.

"Lo pernah ngerasa sepi ditengah keramaian?"

Pandangan mereka sama-sama lurus kedepan, sama-sama menerawang tentang hal yang membebani pundak mereka masing-masing.

Aura menoleh. Mereka saling bertatapan seolah saling menyampaikan kegundahan hati mereka. "Gue selalu di posisi itu"

"Kenapa?"

"Gue nggak cocok di tempat yang ramai. Mungkin, kalau sekolah itu nggak terlalu penting gue lebih milih diam dirumah dari pada sekolah. Lo sendiri?"

"Ngerasa sepi di keramaian dan pengen sendiri kalau ramai. Itu gue ra" Ucap Azka. "Ada kalanya gue memang gak pengen sendiri dan ada waktunya gue emang mau sendiri"

"Kayanya lo punya banyak masalah" Cetus Aura membuat Azka menatapnya kembali.

"Keliatan banget?"

Aura mengangguk. "Gue yang nggak bisa baca isyarat tubuh aja ngerti pancaran dari mata lo"

"Lo butuh tempat cerita. Ceritain semua yang lo rasain ke siapapun dia. Kadang, gak semua masalah harus disimpan sendiri. Seberat apapun masalahnya kalau lo emang udah ga tahan ya udah, ungkapin aja. Siapa tau beban lo sedikit berkurang karna itu"

______________________________________________________________________________________

My Psyco GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang